Akhirnya Nina bisa bernapas lega usai menerima caci maki dari Rafa, setibanya di dalam mobilnya barulah gadis itu sedikit berteriak kesal. Sontak saja Didi sempat terperanjat.
“Are you ok, Nin?” tanya Didi penasaran sembari melajukan mobil.
Nina menarik napasnya dalam-dalam, tangannya mulai membuka kacamata, wig rambut pendek, serta tahi lalat palsunya.
“Aku gak bisa bilang sedang fine-fine saja, atau aku capek, aku lelah!” tukas Nina dengan tatapan kesalnya memandang ke arah luar mobil. “Yang jelas sungguh aku ingin sekali membawa pria itu ke penjara secepatnya, tapi sebelumnya aku harus bertahan untuk menghancurkan hatinya!” lanjut kata Nina masih dengan perasaan jengkelnya.
Didi menggeleng-geleng dalam keadaan fokus mengemudi. “Nina ... Nina'kan sudah aku bilang kalau kamu memutuskan untuk ke sana ya harus menyiapkan segalanya. Kalau kamu merasa tidak kuat dan nyatanya tidak siap ya mundur saja. Kita pakai cara yang lain,” saran Didi.
“No, aku udah terlanjur masuk ke sana dan harus diselesaikan sampai selesai,” tolak Nina masih teguh pendiriannya.
Didi mendesah pelan. “Ya sudah terserah kamu saja kalau begitu. Oh iya, tadi dari pihak majalah mode menghubungi aku tadi siang.”
Gadis itu menolehkan wajahnya menatap penasaran pada Didi. “Ada sesuatu?” tanya Nina, langsung mengaitkan dengan telepon Rafa bersama asisten pribadinya.
“Ada seorang pengusaha fashion ingin bertemu denganmu langsung. Kata Mbak Stella dia mengagumi hasil rancangan gaun milikmu. Kamu tertarik gak ingin bertemu dengannya, kebetulan aku belum kasih jawaban?” balik bertanya Didi.
Sudut bibir gadis itu miring sebelah. “Kak Didi tahu siapa pengusaha yang ingin bertemu denganku itu?” tanya Nina seraya kembali menatap ke depan.
“Aku sih belum tanya siapa namanya? Apa perlu aku tanyakan terlebih dahulu dengan Mbak Stella?”
“Tanyakan saja dulu Kak Didi, kalau perlu minta kontak personnya dulu.”
Didi mengangguk paham. “Oke, kalau begitu tiba di butik aku segera hubungi Mbak Stella,” putus Didi.
Sekitar 45 menit kemudian mereka berdua tiba di butik mewah milik Nina, lantas gadis itu langsung masuk ke ruang kerjanya di lantai dua, dan Didi menghubungi pihak majalah modenya.
Seperti hari-hari yang selama ini Nina jalani ia mengerjakan design untuk costumernya dan menyelesaikan beberapa gaun mewah pesanan beberapa costumer butiknya.
“Nin, aku sudah tahu siapa yang ingin bertemu denganmu.” Tiba-tiba saja Didi masuk ke dalam tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu dan langsung berbicara dengan wajahnya yang nampak terkejut.
Nina yang sedang membuat pola langsung mendongakkan wajahnya. “Kak Didi kayaknya sangat terkejut?” tanya Nina dengan santainya.
Pria itu lantas semakin mendekat dengan tatapan curiga melihat Nina yang tampak tenang. “Kamu sudah tahu ya siapa pengusaha itu?” Gantian Didi yang bertanya.
Nina menegakkan tubuhnya, kemudian memutari meja polanya, lalu tubuhnya bersandar di tepi meja tersebut. “Nama pengusaha itu Rafa, ‘kan?”
Didi mengangguk membenarkan tebakan Nina. “Suamimu yang ingin bertemu denganmu. Kamu mau bertemu gak?” tanya Didi penasaran.
Nina tersenyum sinis dengan melihat kedua tangannya ke d**a. “Kak Didi sudah dapat nomor telepon untuk menghubunginya?”
“Mbak Stella hanya kasih nomor telepon asprinya namanya Pak Cakra. Jika kamu berminat ingin menunjukkan dirimu yang sebenarnya akan aku atur jadwalmu, dan menghubunginya,” jawab Didi.
Nina menggeleng pelan seakan tidak menyetujui ide kakak sepupunya. “Persulit mereka dulu, dia yang butuh aku bukan aku yang butuh dia. Bilang saja aku lagi di London, dan Kak Didi coba minta nomor telepon Rafa. Aku ingin menerornya,” pinta Nina dengan senyum sinisnya.
Alis mata Didi saling bertautan, sepertinya Nina benar-benar denda kesumat dengan suaminya.
“Dan Kak Didi jangan sebut Rafa suamiku lagi, dia tidak pantas disebut sebagai suamiku!” tegas Nina, matanya begitu tajam.
“Oh, oke.” Sebaiknya Didi mematuhi saja, walau hatinya tersimpan keraguan serta ketakutan akan hal-hal buruk yang mungkin saja terjadi pada adik sepupunya tersebut.
“Jadi malam ini kamu pulang ke rumah atau ke mansion pria berengsek itu?” tanya Didi sebelum ia kembali menyelesaikan laporan penjualan di bawah.
“Aku pulang ke mansion itu, tapi jika aku tidak betah ... ya balik pulang ke rumah. Kalau nanti Kak Didi mau pulang ... pulang saja duluan nanti aku pakai ojek online saja,” jawab Nina.
Pria itu mengulum senyum tipis. “Aku akan mengantarkan kamu kembali ke sana, gak perlu kamu pakai ojek online. Kalau begitu silakan lanjutan kerjanya, nanti aku pesankan makanan untukmu,” balas Didi penuh perhatian karena ia sudah diamanatkan oleh Basri untuk menjaganya.
“Makasih banyak Kak Didi.”
***
Waktu sudah menunjukkan jam sembilan malam, pada jam tersebut barulah Nina memutuskan untuk pulang ke mansion Rafa dan kembali menyamar sebagai maid. Didi pun mengantarnya kembali ke sana.
Sementara itu di mansion Rafa, Emma sepertinya merajuk pada suaminya dengan tidak pulang ke mansion, ia lebih memilih untuk menginap di rumah orang tuanya.
“Maaf Tuan Rafa saya belum berhasil mendapatkan nomor telepon Karenina, saat saya menghubungi redaksi majalah mode hanya menyampaikan jika mereka yang akan menghubungi Karenina,” lapor Cakra saat memberikan beberapa laporan produksi garment milik Rafa di ruang kerja.
Rafa yang masih membaca laporan tersebut mendesah pelan, lalu menyandarkan punggungnya di kursi kebesarannya.
“Apa perlu kita mendatangi majalah mode tersebut biar bisa bertemu dengan Karenina?” tanya Rafa sembari berpikir.
Dari sore hari kepala Rafa sudah pusing dengan persoalan sama istrinya, belum lagi ia dapat info jika rival bisnisnya juga ingin menggandeng Karenina untuk memegang berapa produk fashion di perusahaannya dan sudah tentu membuat ia kegerahan.
“Kamu tahukan perusahaan Asteria ingin menggaet Karenina, saya tidak mau keduluan sama mereka. Jadi atur jadwal saya untuk menemui redaksi majalah mode, jangan sampai kita keduluan sama mereka! Kalau perlu besok kamu kosongkan jadwal meeting saya, biar kita bisa ke sana,” tegas Rafa.
“Baik Tuan, saya akan mengatur ulang,” jawab Cakra patuh, ketimbang nanti tuannya mengamuk-ngamuk persis kaya Brata saat muda.
Baru saja Rafa meminta Cakra mengatur jadwal, ponsel Cakra terdengar notif pesan terbaru. Pria itu lantas mengeceknya.
“Selamat Malam Pak Cakra mohon maaf jika mengganggu waktu istirahatnya. Perkenalkan saya Didi asisten nona Karenina, kebetulan saya dapat info dari mbak Stella jika Bos Pak Cakra ingin bertemu dengan nona Karenina. Di sini saya ingin menyampaikan jika beliau masih berada di London, jika tidak keberatan bisa saya meminta nomor telepon Bosnya?” Beginilah pesan yang Cakra baca dan langsung ia sampaikan.
Kening Rafa mengernyit saat membaca pesan Didi melalui ponsel asistennya.
“Bagaimana Tuan, boleh saya kasih tahu nomor teleponnya pada asisten Karenina?” tanya Cakra sangat hati-hati.
Pria itu menatap datar. “Kamu kasih nomor saya, dan saya minta nomor asistennya itu,” jawab Rafa sembari menunjukkan ponselnya.
“Baik Tuan.”
Tak lama kemudian Nina tersenyum melihat jawaban dari Cakra di ponsel Didi.
“Kena kau, Tuan Rafa! Sekarang sudah saatnya kamu mengingat kejadian empat tahun yang lalu!” gumam Nina tersenyum devil, lalu mengiring pandangannya ke ponsel yang sudah ia siapkan.