Bab 2. Wawancara Kerja

1146 Words
Seperti penerimaan maid sebelumnya, tetap ada sesi wawancara langsung dengan sang pemilik mansion. Siapa lagi jika bukan dengan Rafa. Dengan menjinjing tas kecil yang menyimpan beberapa helai baju ganti serta curriculum vitae, Nina mengikuti langkah Gusti setelah mereka berdua sempat berbincang sebentar bersama Bik Yuni, barulah setelahnya bersama-sama menuju ruang kerja Rafa yang ada di lantai bawah sebelah sayap kanan. “Saya ingatkan sekali lagi sehubungan kamu referensi dari Bik Yuni jangan sampai salah bicara saat ditanya oleh Tuan Rafa, dan jangan banyak bertanya hal yang tidak penting,” ucap Gusti mewanti-wanti padanya. Gadis itu hanya mengulum senyum tipisnya seakan mematuhinya padahal bisa saja tidak seperti itu. “Permisi Tuan, maid baru sudah tiba,” ucap Gusti ketika membuka pintu. Rafa hanya sebentar mendongakkan wajahnya, lalu kembali menunduk menatap tabletnya. “Suruh masuk,” balas Rafa terdengar dingin, sedingin hawa yang menyelimuti ruang kerjanya. Gadis itu lantas dipersilakan masuk ke dalam oleh Gusti, dengan santainya ia melangkah mendekati pria itu duduk, lalu tanpa izin pemilik ruangan ia menjatuhkan bobot tubuhnya di kursi berseberangan dengan meja kerja Rafa, spontan saja pria itu mendongakkan wajahnya kembali. “Eh ... saya boleh duduk di sini'kan Tuan Rafa? Atau tempat duduk ini tidak boleh diduduki?” tanya Nina pura-pura tampak terlihat bodoh, pandangannya juga turut ikut turun melihat kursi yang ia duduki tersebut. Ia tahu jika pria itu tidak suka akan tingkahnya yang tidak sopan sebagai orang baru. Pertemuan pertama yang sudah membuat Rafa ilfill dengan maid barunya. “Oh maaf, saya baru ingat kalau sebagai maid itu tidak boleh duduk ya. Kalau begitu saya berdiri,” lanjut Nina berkata sembari beringsut, kemudian menepuk dudukan bekas dia duduki seolah-olah ada debu di sana, setelahnya ia berdiri tegap di hadapan pria itu. Rafa menarik napas dalam-dalam, lirikan matanya agak menajam melihat tingkah gadis itu, lalu menelisik penampilan Nina dari ujung kaki hingga ujung kepala. Menurutnya tidak ada yang spesial khususnya dari wajah Nina yang dari penilaian matanya bernilai standar sesuai dengan pilihan Emma. Berarti penyamaran Nina sangat sempurna menutupi wajahnya yang sangat cantik itu. “Siapa nama kamu? Asalnya dari mana? Lulusan SMP atau SMA?” tanya Rafa dengan tegasnya. “Sebentar Tuan Rafa, sebelum Tuan bertanya sebaiknya saya memberikan sesuatu terlebih dahulu untuk Tuan,” balas Nina, ia mengambil CV-nya dari dalam tasnya. Kemudian memberikannya pada Rafa. “Ini CV saya, Tuan. Semua yang ingin Tuan tanyakan ada di sana, dan tidak perlu bertanya lagi pada saya, cukup dibaca saja,” ucap Nina dengan santainya, lalu tersenyum lebar ketika pria itu melotot padanya. Rafa mendengkus kesal ketika meraih CV milik Nina dengan kasarnya, hingga gadis itu berjengit. “Oh, ternyata arogan juga dia,” gerutu batin Nina. “Saya bertanya sama kamu! Bukan saya yang harus membaca CV kamu ini. Sebenarnya kamu itu berniat kerja di sini atau tidak ... huh!” sentak Rafa sembari melempar CV milik Nina ke sembarang arah. Nina melihat berkasnya yang sudah terjatuh dengan senyuman getir melukis wajahnya. “Kalau kamu memang tidak berniat kerja di sini, silakan keluar dari sini!” Rafa menunjuk ke arah pintu. Gadis itu berdecak sembari memutar malas bola matanya. “Pantas saja rumor di luar sana banyak yang cerita jika pemilik mansion ini sangat arogan, hingga banyak maid yang mengundurkan diri dari sini. Baiklah, kalau begitu saya tidak jadi bekerja di sini. Setidaknya saya bisa menambahkan bumbu penyebab rasa di luar sana biar tambah susah dapat orang yang mau bekerja di sini,” balas Nina santai dan pura-pura tidak melihat Rafa, lalu mengangkat tas jinjingnya dari atas kursi. Apa yang dikatakan oleh Nina ada benarnya, maid yang baru saja bekerja paling tahan lama tinggal di mansion selama tiga bulan, selepas itu mengundurkan diri. Sebenarnya bukan karena kearoganan Rafa tetapi lebih kepada Emma yang terlalu tidak memanusiawikan maid serta cemburunya yang sangat berlebihan. Ada maid yang berani menggoda dan mendekati suaminya, maka siap ditendang. Rafa memijat pangkal hidungnya, jadi serba salah sendiri, ia juga pusing jika setiap bulan harus rekrut maid baru untuk menggantikan maid yang keluar. Sementara itu, Nina sudah berjalan menuju pintu, hatinya berharap jangan sampai dia tidak bekerja di mansion suaminya sendiri. Dia merutuki dirinya sendiri yang tidak bisa mengerem sikap barbarnya tersebut, seharusnya dia bisa berperan sebagai gadis kampung yang penurut, kalem, lalu cukup berkata ‘Iya Tuan, Baik Tuan.’ “Errrgh, sialan nih mulut,” rutuk Nina dalam hatinya “Berhenti di situ!” seru Rafa. Berhentilah langkah kaki gadis itu sesuai perintah Rafa, tangannya yang baru ingin menarik handle pintu pun turun. “Kenapa diam saja di sana, kembali ke sini!” Rafa kembali meninggikan suaranya setelah melihat gadis itu tidak bergerak, hanya diam di depan pintu. “Lah, tadi Tuan hanya minta saya berhenti. Ya, saya berhenti.” Nina menarik napasnya, lalu menunjukkan raut polos dan sedikit bingung, lalu melanjutkan. “Kecuali Tuan bilang suruh ke sana kembali, ya saya ke sana’lah.” Rafa mengepalkan salah satu tangannya, kesal harus menghadapi sosok maid dalam wujud Nina, bikin naik darah di siang hari, sebelumnya tidak ada bentukan kayak gadis itu yang melamar jadi maid di mansionnya. Semuanya sopan. Dengan ekspresi wajah keheranan, ia berkata, “Kamu itu sebenarnya bodoh atau pintar ... huh!” Hardikannya terasa menyakitkan bagi Nina. Rafa tidak habis pikir dengan perlakuan gadis tersebut. Nina melangkah kembali. “Kalau saya pintar pasti saya jadi CEO dong Tuan, atau setidaknya jadi istri CEO'lah, tapi karena saya gak pintar itu makanya cuma bisa ngelamar jadi babu. Harusnya Tuan bisa berpikir ke sana juga dong ... atau saya boleh melamar jadi istri atau selir CEO di sini?” tanya Nina santai, tanpa beban. Padahal hatinya sedang mencaci maki suaminya itu. Bisa panjang kali lebar menurut Rafa jika ia terus bertanya dengan Nina yang tidak berkesudahan, alur wawancara harus kembali on the track, lantas pria itu kembali menunjukkan wibawanya dengan mengangkat dagu angkuhnya. “Pungut CV kamu itu sekarang!” perintah Rafa. Nina melirik ke arah beberapa kertas yang tergeletak di lantai dekat sisi meja kerja Rafa, lalu dia kembali menatap pria itu. “Yang melemparkan kertas barusan bukan saya tapi Tuan sendiri, jadi silakan ambil sendiri,” jawab Nina menolak secara halus, aura wajahnya mulai terlihat dingin. “Ka-Kamu!” seru Rafa jadi terpancing emosinya. “Maaf Tuan, saya belum resmi menjadi maid di sini. Kontrak kerja saja belum saya tanda tangani jadi belum waktunya saya menuruti perintah Tuan,” ucap Nina dengan menyunggingkan senyum tipisnya. Pria itu berdecak kesal, bisa-bisanya ada calon maid berkata seperti itu terdengar tidak sopan, akhirnya mau tidak mau dirinya beringsut dari duduknya untuk mengutip CV yang telah dia lempar sendiri. “Di sini aku tidak sepenuhnya akan menuruti perintahmu, Tuan Rafa. Aku datang ke sini ingin membalas rasa kecewaku ini! Dan, ingin menarik dirimu ke penjara!” batin Nina berseru. Rafa akhirnya membaca CV gadis itu, lalu menyebut nama. “Nina Amara.” “Apakah Tuan mengingat nama itu? Atau sudah melupakannya?” batin Nina bertanya-tanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD