Bab 12. Perkara Kopi

1089 Words
Hampir saja centong sayur yang Nina pegang melayang ke wajah Rafa saking terkejutnya mendengar dan melihat pria itu sudah berdiri di sampingnya. Dan yang lebih anehnya lagi Rafa sudah mengatakan jika kopi buatan Nina tidak enak pada Gusti, tapi sekarang malah ia minta dibuatkan kopi, aneh sekali Rafa! “Cepat buatkan saya kopi sekarang! Kenapa kamu malah bengong begitu!” tegur Rafa agak memaksa seraya menatap garang pada Nina yang masih dalam keadaan terkejut. “Eh ... kopi.” Nina langsung menyadarkan dirinya sendiri, kemudian bola matanya mengerjap-ngerjap. “Aduh, maaf Tuan Rafa jujur saya gak bisa bikin kopi. Kata kakek saya kopi bikinan saya itu rasanya aneh, bisa bikin perut mules dan diare. Jadi sebaiknya saya cari Pak Gusti atau Bik Yuni saja yang bikinkan kopi buat Tuan,” tolak Nina secara halus, lalu ia bergerak mematikan kompor. Pria itu berdecak kesal disangkanya ia tidak mengetahui siapa yang buatkan kopi tadi siang. Kaleng minuman yang masih ia pegang di hentakannya di atas top table, untung saja Nina tidak kembali terkejut, hanya saja sempat mengedikkan kedua bahunya. “Gak usah banyak alasan kamu! Yang saya suruh itu kamu bukannya Pak Gusti atau Bik Yuni! Cepat bikinkan sana!” Suara Rafa meninggi, ekspresinya menunjukkan amarahnya. Ya, ia memang sedang marah dengan masalahnya yang datang bertubi-tubi hari ini, ditambah pesan dari nomor yang tidak dikenalnya bikin kepalanya tambah sakit. Nina menolehkan wajahnya kembali dengan sedikit memicingkan matanya. “Tuan yakin mau saya buatkan kopi? Apakah tidak takut jika dalam kopi buatan saya itu ada sianidanya atau racun tikus, atau gulanya saya ganti dengan garam? Soalnya saya tidak mau ujung-ujungnya kena salah, saya menghindar hal itu?” tanya Nina agak sedikit berkelit. Dalam keadaan sedang emosi, malah di tambah bikin hatinya memanas, ibarat kata sudah gerah disiram air panas jadilah wajah pria itu memerah, rahangnya mengetat hingga nadi pembuluh darahnya terlihat berdenyut. Nina menyunggingkan senyum miringnya sembari menggeser mangkok yang sudah ia siapkan di sisi kompor. Dengan tenangnya ia menuangkan mienya yang sudah matang ke dalam mangkok menghiraukan sorot tajam suami alias majikannya. “Jadi kamu berniat ingin meracuni saya! Hebat sekali pembantu baru ini!” sentak Rafa meluapkan amarahnya, tatapannya semakin menajam pada gadis itu. “Saya tidak berniat untuk meracuni Tuan kok, beli racunnya saja belum. Hanya saja saya berandaikan ... agar Tuan lebih waspada saja, apalagi saya maid baru yang belum mengetahui selera kesukaan Tuan seperti apa. Dan, saya juga teringat tadi siang Tuan bilang jika keperluan Tuan yang mengurus adalah Pak Gusti, jadi Tuan sangat salah jika meminta saya yang membuatkan. Oh iya, saya juga diminta untuk jaga jarak beberapa meter ya, takutnya saya menggoda tuan, padahal saya juga tidak suka dengan tuan kok,” jawab Nina dengan tenangnya, lalu ia mengangkat mangkok mie untuk ia santap di luar mansion. Namun, apa yang terjadi ... Mangkok yang ada ditangannya lepas begitu saja dan tidak terselamatkan beserta isinya. Nina terdiam saat makan miliknya sudah berserakan di atas lantai, dan ini adalah perbuatan Rafa. Tadi pria itu dengan sengajanya mendorong mangkok yang ada di tangan Nina dengan sekali hentakan dan tak bisa terelakkan. “Dasar pembantu pembangkang! Berani kamu ya melawan majikanmu ini!” maki Rafa dengan suaranya meninggi dua oktaf. “Kalau ada pelamar yang lain sudah bisa saya pastikan tidak akan menerimamu bekerja di sini!” lanjut Rafa menghardiknya dengan rasa penyesalannya. Nina menarik napasnya dalam-dalam, kemudian mengangkat wajahnya kembali usai ia melihat lantai. Jika orang luar melihat sikap Nina yang tidak sopan pada Rafa pasti akan berpikir ia adalah pembantu pembangkang dan tidak hormat pada majikannya, seharusnya ia jangan diterima. Padahal sikap Nina ada sebabnya bukan hanya sekedar sikap dibuat-buat begitu saja. Bayangkan hidupnya selama empat tahun dinikahi oleh Rafa tanpa ada kejelasan, digantung statusnya. Dan satu lagi karena pria itulah ia mengalami luka yang begitu luar biasa dan butuh sekali support serta mental yang kuat usai ia siuman dari komanya, agar benar-benar pulih. Jika waktu itu ia tidak memiliki mental dan tekad yang kuat untuk sembuh, mungkin saat ini Nina tenggelam dalam kerapuhan tubuhnya sendiri, atau kemungkinan besar ia tak ingin hidup kembali. “Setelah tadi siang Nyonya menamparku, sekarang bergantian Tuan yang bersikap kasar seperti ini. Apakah setiap maid di sini selalu diperlakukan kasar seperti ini?” tanya Nina tanpa meninggikan suaranya, lantas aura wajahnya terkesan begitu dingin. “Itu semua karena kamu sendiri, Nina! Jika kamu seperti maid yang lain patuh dan tidak menantang, mungkin saya dan istri saya tidak akan bersikap kasar!” seru Rafa masih meninggi suaranya. Rafa yang tampak dadanya naik turun karena masih terbawa emosi marahnya menyugarkan rambutnya ke belakang. “Saya ini lagi pusing, banyak pikiran dan saya hanya minta dibuatkan kopi saja sama kamu, tapi kamu ini banyak tingkahnya ... huh!” “Jangan samakan saya dengan yang lain. Saya adalah saya, mereka adalah mereka! Jika sekiranya Tuan menyesal telah menerima saya bekerja di sini, saya siap dipecat saat ini juga! ” tegas Nina. Gadis itu lantas bergerak mundur tanpa menunggu balasan dari Rafa, lalu bergegas menuju ke dapur kering. “Hey, mau pergi kemana kamu!?” Rafa semakin kesal, langkah kakinya bergerak mengikuti Nina, sementara gadis itu memilih diam tidak menyahut, akan tetapi tangannya bergerak lincah menyiapkan kopi yang Rafa minta begitu tiba di dapur kering. Rafa pun akhirnya diam saat memperhatikan gadis itu, sampai permintaan kopi yang diinginkannya telah terhidang di meja bar yang ada di dapur. Setelah itu, Nina ingin melangkah keluar dari dapur kering. “Tunggu dulu!” Rafa mencegah gadis itu keluar dari sana, dan Nina menghentikan langkahnya tanpa menolehkan wajahnya ke pria itu. “Saya coba dulu kopinya, kalau tidak enak kamu buang kopi ini!” seru Rafa, sejak tadi ia sudah menghina dina istri pertama yang ia tidak kenali. Nina yang sejak tadi diam menolehkan wajahnya, lalu melihat pria itu menyesap kopi buatannya perlahan-lahan. Diam-diam Rafa sangat menikmati kopi buatan Nina dalam raut wajah datarnya. Dan ketika cangkir kopi itu telah ditaruh kembali di atas piring tatakan, Nina mendekati meja bar lalu meraih cangkir kopi tersebut dan membuang isi cangkir itu ke wastafel, Rafa terkesiap. “Loh, kenapa dibuang kopi saya?” tanya Rafa tidak terima. Nina kembali menoleh dan menatap dingin pada pria itu. “Sebelum Tuan sendiri yang membuang atau memecahkan cangkir itu, sebaiknya saya yang terlebih dahulu yang membuangnya. Bukankah sama saja? Tadi Tuan bilang sendiri jika tidak enak ... ya kopinya dibuang,” balas Nina pelan, lalu ia mencuci gelas tersebut. “Nina, habis sudah kesabaran saya ya!!” teriak Rafa, baru kali ini hatinya selalu di buat panas oleh seorang wanita dan wanita itu adalah Nina!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD