Emma yang beberapa jam lalu sudah berpamitan pada suaminya untuk ke studio, terpaksa harus kembali ke mansion karena ada beberapa aksesoris yang harus dikenakannya tertinggal. Lantas, begitu ia ke ruang walk ini closet hatinya memanas melihat suaminya yang bertelanjang d**a sedang memegang tangan Nina. Hati istri mana yang tidak sakit hati melihatnya.
Apalagi ia sempat membaca berita yang viral di mana seorang owner kosmetik mendapati suaminya sedang berhubungan intim sama pembantunya. Maka dari itu Emma parnoan sama para maid yang bekerja di mansionnya, eh bukan mansionnya lebih tepatnya milik Rafa.
Hal barusan yang terjadi sangat mengejutkan buat Nina yang tiba-tiba saja mendapatkan tamparan yang begitu keras di salah satu pipinya.
“Kamu benar-benar lancang ya! Baru mulai kerja sudah berani menggoda suamiku ya!” hardik Emma penuh emosi, tangannya kembali ke udara ingin menerjang pipi Nina yang belum kena tamparan. Namun, dengan gesitnya Nina mencekal tangan Emma.
“Apakah seperti ini kelakukan Nyonya pada para maid di sini, begitu sangat ringan tangan menghajar, memukul atau menjambak rambutnya tanpa bertanya terlebih dahulu duduk permasalahannya!” tegur Nina dengan tegasnya, dan masih menahan tangan Emma yang masih terasa kekuatan untuk memberontak dari cekalannya.
Wanita itu berdecak kesal sembari tangan yang lain mendorong bahu Nina hingga membentur pintu lemari.
Nina menahan rasa sakit di bagian punggungnya dengan memejamkan matanya sejenak, lalu dia menarik napasnya dalam-dalam.
“Berani sekali kamu belaga ingin menegurku ya! Kamu itu hanya pembantu di sini dan hari ini aku bisa saja memecatmu!” sentak Emma meninggikan suaranya, lalu tangannya yang dicekal oleh Nina dihentakan sekuat mungkin agar terlepas.
“Benar Nyonya, saya hanya pembantu di sini yang setiap saat bisa dipecat oleh majikannya. Tapi bukan berarti Nyonya bisa seenaknya main tangan dan merendahkan saya di sini. Jika Nyonya cerdas sebelum melakukan kekerasan pada maid sebaiknya cari bukti terlebih dahulu, jangan langsung menuding begitu saja. Ketimbang saya yang akan menggiring Nyonya ke pihak kepolisian atas kasus penganiayaan asisten rumah tangga, pasti reputasi Nyonya akan tercemar sebagai model terkenal.
“Saya di dalam ruangan ini sedang tidak menggoda suami Nyonya, kecuali Tuan ikutan ingin memfitnah saya yang telah menggoda beliau hingga main buka-bukaan, kalau begitu Tuan dan Nyonya pasangan satu paket—“
Wajah Emma sudah memerah menahan gejolak amarahnya yang semakin membumbung tinggi hingga ke ubun-ubun. “Mulut kamu ini sangat lancang ya, masih tidak tahu diri. Kalau kodratnya pembantu ya pembantu saja, gak usah pakai sok pintar bicara di sini!” bentak Emma menyela ucapan Nina, tangannya tampak gagal ingin menggaruk wajah Nina yang begitu putih mulus tak ada luka atau bintik, bikin iri hati siapa pun.
Rafa yang sejak tadi diam, agak menggeser posisi berdirinya, menjaga istrinya untuk menahan agar tidak melakukan kekerasan fisik pada Nina, bukan berarti ia melindungi Nina justru menjaga nama baik istrinya.
Nina menarik napasnya dalam-dalam, percuma saja ia bicara panjang dengan orang yang memiliki tingkat kecemburuan sangat tinggi. Akal sehatnya tidak ada gunanya, yang ada hanya ingin membalas rasa sakit dan amarahnya itu dengan berbagai cara demi kepuasan hatinya.
“Baiklah Nyonya, sepertinya di sini saya pihak yang sangat salah. Padahal Tuan Rafa'lah yang memulainya.”
Nina mengalihkan pandangan pada Rafa dengan tatapan tegasnya. “Benarkan Tuan apa yang saya katakan barusan, jika hal ini dilihat Nyonya pasti akan beranggapan saya sedang menggoda Tuan. Padahal saya ke sini untuk merapikan baju dari ruang laundry! Dan sekarang Tuan hanya diam tidak mengatakan apa pun. Oh iya pasti di ruangan ini pasang CCTV’kan, setidaknya ada bukti nyata yang tidak bisa dielakkan akan kenyataan. Tapi ... ya kayaknya tidak ada gunanya, karena saya hanyalah pembantu yang bisa seenaknya diinjak dan ditindas begitu saja!” ucap Nina dengan tegasnya.
“Dan perlu diingat Nyonya, roda kehidupan berputar. Tidak selamanya di atas dan tidak selamanya juga berada di bawah—"
“Stop, mulutmu itu!” teriak Emma sudah meradang amarahnya.
Sejak tadi diam-diam Rafa tersentak dengan tutur kata yang diucapkan Nina yang begitu teratur intonasinya layak seperti orang berpendidikan tinggi, serta tidak terkesan seperti orang kampung. Namun, pemikiran itu langsung ia hempaskan karena termakan dengan ucapan istrinya, jika Nina, adalah seorang pembantu.
“Nina, keluarlah dari sini sekarang juga!” perintah Rafa dengan tegasnya demi bisa mengakhiri kesalahpahaman serat keributan yang terjadi.
Nina mendesah pelan sembari memutar malas bola mata jengah nya pada suaminya itu. “Kenapa menyuruh saya keluar Tuan? Saya ingin menyelesaikan masalah ini tanpa harus menundanya hingga berlarut-larut?” tanya Nina penasaran.
“Saya bilang kamu keluar ya keluar, jangan banyak bertanya lagi!” Kini bergantian Rafa yang menyentak istri pertamanya yang tidak ia ketahui itu.
“Pecat dia sekarang juga Mas, aku tidak butuh pembantu model dia!” pinta Emma sembari melayangkan tatapan sinisnya pada Nina.
Rafa meraup wajahnya dengan kasar, lalu menatap tegas pada Emma. “Stop memberhentikan maid, Emma! Cari pembantu itu susah, baru minggu kemarin kamu memecat 3 orang pekerja! Dan tadi itu hanya kesalahpahaman, tidak ada yang terjadi antar aku dengan dia. Aku itu barusan sedang memarahinya,” jelas Rafa mulai pusing kalau sudah main pecat saja.
Wajah Emma tertekuk, masam. “Jadi Mas Rafa sekarang sedang membela pembantu itu, begitu!” Emma meninggikan suaranya saking kesalnya dengan keputusan Rafa. Dan Nina dengan senang hati melihat keributan kedua pasangan suami istri tersebut tanpa merasa bersalah.
“Bukan masalah aku sedang membelanya, Emma! Tolong pahami aku dan jangan salah paham lagi,” balas Rafa memelas sembari mengalihkan pandangannya pada Nina.
Rafa yang masih melihat keberadaan Nina yang belum juga keluar dari ruang walk in closet terpaksa mencekal tangan Nina dan menyeretnya keluar dari kamarnya secara kasar dan paksa.
“Aauuww!” Nina meringis kesakitan karena punggungnya terasa sakit saat Rafa menarik tangannya secara kasar.
“Gak usah belaga sakit, sejak tadi sudah saya suruh keluar ya keluar!” tegas Rafa sembari membuka pintu kamar dan membawa gadis itu keluar dari sana.
Nina tersenyum getir ketika tubuhnya dihempaskan dengan kasar. “Buat apa saya pura-pura sakit, jika nyatanya sakitnya itu cukup menyayat hati. Semoga saja Tuan Rafa tidak pernah merasakan sakit ini, karena tidak ada obatnya,” balas Nina begitu pelan, lalu tanpa menatap tuannya ia berjalan menelusur lorong.
Rafa tercenung mendengar kata-kata yang begitu ambigu menurutnya, lalu secepat mungkin dia menyadarkan dirinya, dan kembali masuk ke kamar.
Nina menarik napasnya dalam-dalam seraya mengusap pipinya yang masih terasa sakit, kemudian sudut bibirnya mengembang ke atas berusaha untuk tetap tersenyum. “Aku pasti baik-baik saja dan bisa melewati semuanya. Ya Allah kuatkan mentalku ini.”