Bab 1

1088 Words
Sepasang kaki jenjang dilapisi rok selutut berwarna hitam menjalankan kakinya dengan terburu-buru. Sepatu tinggi yang senada dengan warna roknya tanpa takut mengikuti langkah sang pemilik. Hawa dingin pendingin ruangan mererpa kedua pipinya hanya saja tidak dapat memadamkan amarah yang sedari tadi di pendamnya. Airin, meletakkan laptop dan beberapa berkas laporan miliknya, lalu mendaratkan bokongnya dikursi empuk yang sudah tiga tahun menemaninya di perusahaan ini mengabaikan beberapa pasang mata yang sedari tadi memperhatikannya. Tidak ada yang berani bertanya. Mereka tidak mau menjadi tempat amukkan seorang Airin. Sudah tiga tahun bekerja dengannya membuat semua orang yang ada di sana tahu bagaimana cara menghadapinya ketika sedang marah. Akan tetapi hanya ada satu orang yang berani menggangu macan sedang tidur. Dehaman serak terdengar, diikuti dengan sentuhan hangat di punggung Airin. “Lo marah karena nggak jadi rapat? Lo memang cewek aneh Rin, orang lain kalau nggak jadi rapat bahagia, lo malah sebaliknya,” ucap Revan menenangkan Airin. Revan berjalan menuju tempatnya yang persis di hadapan Airin, tidak ada sekat membuat Revan mudah menatap sahabatnya dari sini. Ia kembali mengerjakan laporannya yang belum selesai walaupun sesekali kedua matanya kembali menatap sahabatnya itu. “Rin, gue tahu lo marah tapi jangan kayak gini dong. Lebih baik lo telepon Tendi, kayaknya dia belum berangkat. Kira-kira lagi duduk di ruang tunggu.” Airin mengagkat kepalanya yang sedari ia sembunyikan kedalam kedua lengannya. “Kalau gue telepon Tendi malah jadi pengen ikut Van,” balasnya yang kemudian mengundang tawa kecil dari Revan. Melihat hal itu Airin cemberut. Lelaki itu tidak enak dan kembali berbicara. “Daripada nyesel nggak bisa Telepon. Udah sana! Mumpung bos belum keliling.” “Kuota!” tukas Airin. “Kuota gue habis!” Tidak segera menjawab Revan terdiam menatap sahabatnya itu dengan wajah kesal. “WIFI! Ada WIFI Airin!” “Tapi gue harus bantu lo kerjain laporan. Harus selesai nanti siang kan?” Airin masih tidak paham dengan kelakuan sahabatnya itu padahal laporan itu harus segera selesai, dan itu tugas Airin dan Revan. Rapat tadi pagi tidak jadi juga karena laporan harus di revisi kembali dan itu membuat suasana hati Airin menjadi kacau. “Nggal usah. Gue nggak butuh bantuan lo,” jawab Revan sambil kembali mengetik data-data ke dalam komputer. “Gue nggak mau lo curhat dan nangis karena nggak bisa telepon ya. Inget nggak waktu itu lo nangis kejer karena nggak bisa VC pas Tendi mau berangkat ke Singapur?” Melihat Airin yang berdiri dan membawa gadget membuat Revan tersenyum senang. Wanita itu berjalan dengan menghentakkan kakinya menuju ke luar ruangan. Dia hanya terkekeh karena sudah terbiasa dengan siikapnya. Revan kembali melanjutkan mengerjakan laporan dengan ditemani tatapan kagum karena berani menghadapi Airin yang sedang dalam suasana buruk. “Pak mau saya bantu?” tanya seorang karyawan perempuan yang mendatangi Revan sambil tersenyum tipis. Lelaki itu terkenal dengan kebaikannya, ia tidak segan membingbing para juniornya. Bahkan jika mereka melakukan kesalahan lelaki itu hanya tersenyum dan memakluminya kemudian mengajarkan mereka sampai mengerti. “Terima kasih, tapi kayaknya nggak dulu deh. Laporan ini biar saya yang mengerjakannya.” Karyawan perempuan itu tersenyum dan mengangguk mengerti. Revan itu baik sayangnya masih lajang, tidak ada yang tahu dengan asmara lelaki itu yang mereka tahu Revan adalah sahabat dekatnya Airin kemana pun Airin berada di sana ada Revan. Kedua kaki Airin melangkah menuju ruang belakang perusahaan. Di sana tempat yang paling aman dari bos-bos. Biasanya bos Airin akan berada di kantin, atau atap gedung. Malas jika sudah berurusan dengan mereka karena rata-rata dari mereka kenal baik dengan Tendi. Wanita itu duduk di kursi panjang yang berada di belakang dapur, ia akan tersenyum dan salah tingkah jika bertemu dengan Ofiice Boy yang tidak sengaja berpapasan dengannya. Gadget miliknya ia keluarkan dari tas kecil berwarna pink, kemudian mencari kontak panggilan suaminya dan segera menghubunginya. Airin mengerutkan kedua halisnya ketika layar di depannya berwarna hitam, kedua telinganya juga mendengar suara-suara yang sangat menggagu pendengarannya. “Mas! Mas Tendi!” “Iya sayang, bentar. Tadi pindah dulu karena di sana banyak orang, nggak enak.” Wajah soarang lelaki muncul di layar gadgetnya. Lelaki itu menggunakan kemeja kotak-kotak berwarna hitam dan abu yang dibiarkan terbuka dan menampilkan kaos berwarna putih. Tidak lupa rambutnya yang seperti orang korea pada umumnya yaitu ada poni yang menutup dahi lebarnya. “Belum berangkat?” “Belum, kayaknya bakal telat. Cuaca buruk. Di sini hujan, di sana nggak hujan?” “Nggak.” Hanya saja beberapa menit kemudian turun hujan yang sangat deras. Membuat Airin bergegas ke dalam dapur dan duduk di kursi yang ada di sana. “Alhamdulillah hujan. Hujannya baru sampai.” “Alhamdulilah.” Suara petir menggelegar membuat Airin tercengang yang membuat lelaki di dalam layar gadget menatapnya dengan tatapan khawatir. “Kamu nggak apa-apa? Kaget ya?” Airin mengangguk. Ia sangat takut terhadap petir. Biasanya jika di rumah Airin akan segera lompat ke dalam pelukan Tendi dan memintanya untuk mengusap punggungnya. Setelah itu ia akan tertidur dengan lelap. Tendi menghela napasnya berat. “Mas jadi khawatir, kalau misalnya mas nggak ada. Nanti siapa yang usap dan peluk kamu? Kalau ada petir kamu kan selalu begitu Rin.” “Memangnya kamu mau kemana mas. Cuma beberapa hari aja kan di Medan?” “Kalau aku meninggal Rin.” Nyaris saja u*****n kasar meluncur dari bibir merah milik Airin. “Astagfirullah. Mas tuh kenapa bilang kayak gitu. Cepat bilang mit-amit biar nggak dikabulin sama malaikat!” “Semua manusia pasti mati Rin. Kamu juga suatu hari nanti pasti bakal dipanggil sama Tuhan. “Oh, jadi Mas mau Airin cepat meninggal begitu?” Airin sekarang sangat jengkel kepada suaminya. Ia paling benci jika membicarakan tentang kematian. Ia tidak mau ditinggalkan oleh keluarganya terutama oleh Tendi. Dari SMA sampai kuliah dan akhirnya kerja lalu menikah ia dan Tendi selalu bersama. Membayangkan putus saja tidak pernah apalagi membayangkan laki-laki itu meninggal. Mit-amit deh. Ia tidak bisa hidup jika Tendi meninggalkannya. “Jangan marah dong sayang. Kan misalnya.” “Tetap saja nggak boleh! Pokoknya dari sekarang haram membicarakan tentang kematian,” ujar Airin kepada Tendi dengan suara kencang berusaha mengalahkan nyaringnya deras hujan yang ada di luar. Kemudian air mata meluncur karena sedih membayangkan jika suaminya benar-benar meninggal. “Eh? Jangan nangis dong sayang. Mas kan cuma bercanda aja. Janji nggak akan bahas tentang kematian.” Jujur saja melihat Airin menangis membuat hatinya ngilu dan sedih. Hanya saja entah kenapa Tendi ingin sekali membahas tentang kematian. Ia ingin mengatakan bahwa Airin harus kuat jika suatu hari nanti ia meninggalkannya. Akan tetapi melihat kesedihan yang dirasakan istrinya membuatnya berjanji akan berusaha menjaga kesehatannya untuk menua bersama dengannya.    ***          
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD