"Kita di ciptakan dengan rasa sakit yang sama. Kita dipertemukan untuk dua alasan. Untuk saling menyayangi, dan saling menyembuhkan"
***
"Tolong sakiiittt ... Mamah ... tolonggg!"
Teriakkan pilu seorang anak perempuan berumur sepuluh tahun, mencoba melepaskan rambut dari jambakan perempuan yang dipanggilnya Mamah.
"Ampun Mamaaahhh ... ampuunnn ...."
Ada hal yang aneh, karena perempuan yang menyiksanya itu sama sekali tidak terenyuh oleh jeritan pilunya. Seolah hatinya beku, kala airmata yang menetes lirih dari si gadis kecil membasahi kedua pipi cabinya.
"Anak pembawa s**l! Saya benci kamu! Dasar pembawa s**l!" Tangannya tetap kuat menjambak rambut gadis itu, tak terganggu oleh rintihannya.
"Kamu telah membuat laki - laki yang saya cinta, pergi meninggalkan saya. Kamu pembawa s**l!"
Lagi, pukulan dirasakan oleh si anak kecil itu. Ia sesekali menangkis tangan perempuan yang dipanggilnya 'Ibu' itu. Namun tentu saja, itu tidak akan cukup untuk menahan tangan manusia dewasa yang tengah memukulinya. Tenaga mereka jelas jauh berbeda.
"Ampun Mamah ... sakit Mamah ... ampuuunn ...."
Mamah! Ampunnnn!
Ampuuunn!
"Gledys!"
Tok! Tok! Tok!
Dengan napas yang memburu dan keringat yang perlahan membasahi kedua sisi pelipisnya, Gledys terbangun. Kedua matanya mengerjap beberapa kali. Mencoba mencerna, apa yang barusan ia lihat di dalam tidurnya.
"Gledys! Dek!"
Tok! Tok! Tok!
Menatap ke arah pintu yang diketuk. Perlahan gadis cantik berusia enam belas tahun, yang memiliki kedua bola mata berwarna coklat itu, turun dari atas ranjangnya. Berjalan ke arah pintu, kemudian membukanya. Menghadirkan laki - laki berusia dua puluh tahun. Dia Glen, Kakak sepupunya.
"Iya, kak."
Melihat gadis yang baru saja keluar dari pintu kamarnya, dengan wajah pucat. Glen terlihat panik. Lalu meraih kedua sisi wajahnya, dan menelitinya dengan seksama. "Are you ok?"
Tatapan panik laki - laki di depannya menghadirkan perasaan hangat. Tidak pernah ada yang memerhatikannya sebaik itu. "Iya, Kak," Jawabnya dengan kedua mata yang perlahan memanas.
Menarik napas lega, Glen merapikan rambut Gledys yang memang terlihat sangat berantakan. "Kamu mandi gih, kita jalan - jalan ya?"
"Kemana Kak?" Gledys tampak ragu. Dia memang sangat jarang keluar rumah. Apalagi, setelah Ibunya meninggal. Gledys terus saja mengurung diri di kamar. Membuat Glen dan Ayahnya amat cemas. Dari itu, kali ini Glen akan membawa Gledys keluar. Meski gadis itu akan menolaknya. Glen tidak mau, sepupu satu - satunya itu, terus murung dan membuatnya tidak tenang.
Menarik napas pelan, Glen mengusap kepala Gledys lembut. Ia amat mengerti dengan ke khawatiran yang dirasakan gadis kecil itu, tapi ini tidak boleh terus berlanjut. Gledys harus move on. Dan memulai hidup barunya.
"Tempatnya bagus, kamu pasti bakal suka."
"Tapi Kaa ...."
"Ayolah Dek. Kali ini aja ya?"
Glen terlihat amat memohon. Membuat Gledys merasa tidak enak. Hingga Gledys mengangguk, dan memutar dirinya kembali ke kamarnya untuk bersiap - siap.
Paris Van Java Bandung. Di sinilah Gledys berada saat ini. Di taman Sky Field, yang terkenal indah dengan bunga - bunga cantiknya, dan juga unik karena taman indah itu berada di rooftop sebuah Mall. Yaitu Mall Paris Van Java.
Cekrek!
Terdengar suara dan blitz kamera. Membuat Gledys menatap ke arah laki - laki yang tidak jauh darinya, "Ikhh! Ko di poto?" rengek Gledys. Ia kesal, karena Glen mengambil photonya ketika ia sedang tidak siap. Kan kalau tahu Kakaknya itu mau mengambil photonya. Gledys bisa berpose yang lebih keren lagi.
"Cantik tahu," Glen memperlihatkan photo Gledys sedang menyentuh bunga - bunga cantik itu.
"Hehe ... tapi bibirnya lagi gak keren." Gledys merenggut lucu, membuat Glen mengusap kepalanya lembut. "Itu keren tahu. Eh, Kakak ada urusan sebentar, kamu mau nunggu di sini? Atau nunggu di mobil?"
Sepertinya Gledys sudah merasa agak lama berdiri di sana. Sehingga ia memutuskan untuk menunggu di mobil saja. "Di mobil aja, Kak. Tapi kayanya Gledys mau ke toilet dulu."
"Ya udah, hati - hati ya? Ini kuncinya." Gledys mengangguk. Setelah meraih kunci dari Glen. Ia pun memutar dirinya, dan segera beranjak menuju toilet.
***
"Hay Sean?"
"Hay love!"
Dia Sean Alexy. Pemilik wajah tampan yang amat menawan. Kedua mata yang hitam gelap. Lalu hidung yang mancung proposional. Kedua bibir tipis namun berisi, merah alami tanpa ulasan apa pun. Lalu rahang tegas mempesona. Membuat tangan perempuan mana pun gatal ingin menyentuhnya. Saat ini si cowok tampan itu sedang berada di sebuah club. Jangan heran, kenapa dia berada di sana. Karena kadang cowok tampan, kelakuannya tidak setampan wajahnya.
"Apa kabar Sean?" seorang perempuan yang mengenakan dress mini jauh di atas lutut. Tiba - tiba duduk dipangkuannya, mengusap rahang laki - laki itu penuh kelembutan. Si tampan hanya menatapnya saja. Ini biasa, para gadis nakal itu memang akan menawarkan dirinya, hanya untuk seorang Sean Alexy.
"Kamu sekarang jarang datang Sean?" Dia perlahan melingkarkan kedua lengan lembutnya di leher Sean.
"Aku sibuk!" Sean menjawab sekenanya.
"Iya, aku tau. Tapikan setidaknya kamu harus kabari aku?" dia terlihat protes, seolah apa yang dilakukan Sean adalah sebuah bentuk kesalahan.
"Kenapa aku harus ngabari kamu?" dan pertanyaan itu membuat si gadis merenggut.
"Minggir deh, aku ada urusan!" Sean perlahan mendorong gadis itu, hendak beranjak dari sana. Tapi si gadis malah memeluk dadanya posesif. "Aku masih kangen, Sean. Kamu jarang banget ke sini."
Merengek menyebalkan, seolah Sean adalah suaminya, cukup membuat laki - laki tampan itu merasa jengah. Sean menggeleng kesal, ia hampir saja mengumpat. Ketika ...
"Lepas!"
Sean melihat ke sudut lain bagian ruangan itu. Seorang gadis yang dikenalnya, sedang dikerubungi laki - laki para hidung belang.
"Niken ...." ia bergumam. Merasa penasaran, Sean mengangkat gadis di pangkuannya, dengan berdesis risih. Hingga detik berikutnya gadis itu mengaduh, kala Sean menjatuhkannya di atas lantai tanpa belas kasih.
"AWAS KAMU SEAN ALEXY!"
Serapahan si gadis sexy itu, tak membuat si tampan menoleh barang sedetik pun. Kedua mata elang dan langkah jenjangnya tetap terfokus pada Niken di sana.
Bugh!
Sebuah pukulan pun melayang, kala jarak mendekat. Membuat Niken kaget.
"Sean?" ia bergumam dengan kedua matanya yang terlihat semringah.
Bugh!
Sean kembali memukul tanpa ampun satu-persatu sampai tumbang. Menghadirkan tatapan kagum dan haru dari Niken.
Untuk kali pertamanya, ada seseorang yang mau repot - repot melindunginya. Jangan tanya kenapa?
Pekerjaan Niken bisa membuat siapa saja menatapnya jijik dan enggak untuk ikut campur.
"Ayo!"
Mengerjap kala tangan kokoh pemilik wajah menawan itu, menggenggam tangannya erat. Lantas menerobos mereka yang sedang berjoget ria bersama para pasangannya, di dalam ruangan bising dan remang - remang.
Membawanya keluar melewati jalan kecil di antara beberapa bangunan, Sean tetap memegang tangannya Niken, tak ayal membuat pemiliknya tersenyum, menatap manis pada laki - laki yang telah menyelamatkannya itu.
Kalau di Sekolah, Niken hanya bisa menatap laki - laki tampan itu dari kejauhan. Sean seperti bintang yang menjadi pusat perhatian setiap murid perempuan di sana. Namun laki - laki itu tidak pernah tahu, atau bahkan tidak mau tahu siapa saja yang menjadi pengagumnya.
"Stop! Natapin gue!"
"Hah!" Niken terperanjat, sepertinya si tampan mengetahui ulahnya.
"Fokus ke jalan. Karena kita sedang dikejar!"
Karena Sean terlihat serius. Mau tidak mau, Niken mengalihkan tatapannya dengan enggan.
"WOYY! BERHENTI!"
Teriakan dari arah belakang mereka. Membuat keduanya saling melirik panik. Kemudian berlari semakin cepat. Mereka pasti para bodyguard club tadi. Karena Sean mengacaukan pestanya.
Keduanya terus berlari, sampai berakhir di pemberhentian bus. Sean menyuruh Niken menaiki bus yang kebetulan hampir berangkat, membiarkan gadis itu pergi bersamanya. Dan ia terus berlari untuk mengecoh para laki - laki tinggi hitam itu, agar terus mengejarnya dan melupakan Niken.
***
"Permisi!" Sean menabrak siapa pun yang berlalu lalang mengahalangi jalannya saat itu, di sana. Menimbulkan dengusan dan serapahan yang cukup menjengkelkan. Belum lagi Bapak - Bapak yang membentaknya.
"Jalan pake mata!"
Dan Sean hanya bisa menyatukan kedua tangan dengan cengiran bersalah. Kemudian kembali berlari, ketika teriakan dari arah belakangnya. Lima laki - laki berseragam serba hitam sudah menanti dengan masing - masing tatapan geramnya.
"Shittt!"
Bergumam frustrasi, memilih berlari ke arah eskalator yang sedang bergerak naik. Dengan lagi - lagi menyenggol siapa pun yang berada di sana. Lalu jeritan seorang perempuan yang ia tabrak, kali ini Sean sudah tidak lagi mengatakan maaf, karena kelima laki - laki itu sudah berada di belakangnya.
Karena jarak terlalu dekat, membuat Sean mau tak mau mengeluarkan tendangan mautnya. Berhasil membuat salah satu bodyguard itu berbalik kemudian menggelinding seperti bola jatuh di bawah tangga. Dan tentu saja aktivitas gila itu membuat suasana Mall menjadi kacau. Ibu - ibu segera mengambil dan menyelamatkan anaknya, kemudian bapak - bapak yang mengetahui istri dan anaknya tersenggol, ia ikut - ikutan mengejar Sean, karena dialah sang biang keroknya.
Mampus!
Sean seperti sudah kehilangan arah, dia kini dikepung dari berbagai arah. Belum lagi satpam dari Mall itu yang mulai bergerak. Membuat Sean semakin panik dan kacau. Memilih berhenti sejenak di depan toilet perempuan, Sean melirik kanan dan kiri. Tidak ada pilihan, dan ia yakin inilah cara satu - satunya untuk menyelamatkan diri, sebelum bantuan dari sang ayah datang.
Sementara ini, dari dalam Gledys sedang merapikan rambutnya. Suasana di toilet sepi, hanya ada dirinya saja. Sampai tiba - tiba pintu terbuka, menghadirkan seorang laki - laki yang tidak dikenalnya.
"Lo..."
Gledys hampir berteriak, ketika gerakan cepat laki - laki itu, mendorongnya ke dinding tembok, mendekapnya erat di sana. Dengan satu tangan menutup mulutnya. Lalu...
"Jangan berisik! Atau pistol ini bakal meledak diperut lo!" Bisik Sean di telinga Gledys, dengan ujung pistol ia tekankan di perutnya. Membuat gadis itu menegang dengan kedua bola mata cantiknya yang membulat.
Dalam radius dekat ini, Sean dapat melihat bagaimana sempurnanya rupa gadis itu. dia memiliki kedua bola mata berwarna coklat safir yang indah. Lalu dihiasi bulu mata yang panjang dan lentik, kemudian hidung yang mancung proposional, menambah menawannya rupa gadis itu. lantas kedua alis yang hitam dan tebal, namun rapi. Seolah kedua bola mata itu adalah berlian, karena dilindungi oleh bulu mata yang panjang dan kedua alis yang tebal.
Perlahan Sean menjauhkan tangan yang menutupi mulut itu, ia ingin melihat keindahan lainnya yang dimiliki gadis itu. Dan benar saja, kedua bibir tipis merah jambu itu, seolah benar - benar laga madu yang amat manis dan menakjubkan.
Dan Sean terlena, perlahan ia mendekat, menghadirkan ringisan dari si pemilik rupa menawan itu. bagaimana tidak takut, kalau tiba - tiba ada laki - laki yang tidak dikenal, namun malah berbuat tidak sopan seperti itu. Dan parahnya, Gledys sama sekali tidak bisa melakukan apa pun untuk melindungi dirinya sendiri.
Jarak yang sudah tidak bisa dijabarkan seperti apa bahayanya. Tiba - tiba...
Tok! Tok! Tok!
Ketukan dari luar, Membuat Sean tersadar, akan kelakukan gila yang akan dilakukannya. Ia mengerjap beberapa kali.
Shittt!
Sean menjauhkan wajahnya. Bersamaan dengan itu, si gadis hampir saja berteriak, namun pistol di perutnya itu, Sean tekankan lebih kuat.
"Teriak aja, gue enggak maen - maen! Perut lo bakal meledak!"
Benar - benar keadaan yang menakutkan, tidak ada pilihan untuk Gledys, selain menutup rapat kembali mulutnya.
"Halo! Ada orang di dalam?" suara dari luar lagi, sean melirik sekilas kearah pintu, kemudian kembali fokus pada mahluk cantik di depannya, "Bilang kalau lo lagi pup! Ayo bilang!"
Bisik Sean lagi, dengan ujung pistol yang semakin ia tekankan ke perut gadis itu. Dan berhasil membuat Gledys mengangguk pasrah, dengan kedua matanya yang memerah dan basah. Tentu saja ia amat ketakutan.
Dan hal itu menghadirkan sejuta sesal dalam hati Sean. Ia bahkan mengutuk dirinya berkali - kali.
Tok! Tok! Tok!
Karena tidak ada jawaban, dari luar sepertinya penasaran dengan keadaan di dalam. Dan kalau tidak ada jawaban lebih lama lagi, Sean yakin pintunya akan didobrak. Lalu dia akan tertangkap. Maka dari itu, Sean memberikan tatapan isyarat, agar Gledys segera bersuara.
"Cepet!"
"Ba-baik," gadis itu sejenak menarik napas dalam, lalu...
"Ada pak, saya lagi anu ... maaf ya pak!"
"Ok, tidak apa - apa. Maaf saya sudah mengganggu aktivitasnya," sepertinya para satpam itu yakin, pada apa yang didengarnya. Karena menit berikutnya, di luar tidak ada lagi yang bertanya.
Perlahan Sean menghela napas lega, Ia segera mundur, dan melepaskan si cantik. Sambil memasukan pistol ke balik bajunya, "Maaf, gue--"
Plakkk!
Tamparan kuat menyapa pipinya. Tangan lembut nan lentik itu yang melakukannya. Sean terkejut, tentu saja. Mulutnya menganga sempurna.
"Tidak sopan!"
Si cantik segera beranjak. Namun sebelum itu, ia menginjak kakinya Sean dengan kuat. "Masalah kita belum selesai!" ancamnya. Dan Sean kehilangan kata - kata, ia terdiam menatap punggung ramping yang menghilang di balik pintu. Mengusap pipinya yang panas, ia perlahan tersenyum.
I wish like that too ... beautiful. Kita akan bertemu lagi.