D U A

1660 Words
Jangan pernah berpikir bahwa Sas hanya berpasrah pada perasaan dan keadaan. Tercerai berai hatinya menjadi kepingan-kepinganpun tidak mempermudah Sas dalam menghilangkan perasaan itu. Berulang kali, dia mencoba membuang satu per satu keping hati yang dipenuhi oleh sebuah rasa untuk Aidan. Cinta pertama memang jarang berjalan sesuai kehendak hati. Sas mempercayai itu. Dia telah mengalaminya sendiri. Cinta pertamanya membawa Sas pada kenyataan bahwa dia hanya bisa berakhir dengan mendamba. "Kamu yakin enggak ikut PPKN, Sas?" Pertanyaan Hani, teman sebangku Sas, hanya memperburuk suasana hatinya. Sebuah event rutin tahunan untuk membudayakan kembali budaya berkirim surat selalu diadakan oleh para pengurus OSIS di SMA Pelangi Bangsa. Pekan Peka-Pekaan atau yang lebih dikenal sebagai PPKN menjadi ajang bagi para pengagum rahasia dari kalangan siswa untuk mengirimkan perasaannya melalui kata-kata di atas kertas. Tidak hanya kekaguman, semua bebas menuliskan apa saja di dalam surat mereka. Mereka bebas menujukannya kepada siapa saja. Selain itu, event tersebut sekaligus menjadi sebuah ajang perlombaan. Bagi mereka yang tidak hanya ingin menjadi pengagum rahasia, mereka dapat mencantumkan identitas asli. Apabila surat yang mereka kirimkan berkualitas menurut para juri, mereka akan memenangkan hadiah yang cukup menarik. Tahun lalu, selama tujuh hari, ribuan surat terkumpul. Akan tetapi, banyaknya jumlah surat yang terkumpul tidak menjamin para siswa memang tertarik dalam urusan surat-menyurat. Sering kali, surat itu hanya berisikan sesuatu yang tidak penting. Pada tahun lalu pula, seorang siswa badung di SMA tersebut mendapatkan dua puluh surat. Dia sempat merasa tinggi hati. Memperkirakan banyak siswi yang menyatakan perasaan mereka melalui surat-surat. Namun, hal yang tidak terduga terjadi. Surat-surat yang siswa itu terima berisikan hal yang sama. Berbuah-buah amplop itu hanya berisi brosur bimbingan belajar untuk menghadapi ujian nasional dan seleksi bersama masuk perguruan tinggi. "Enggak. Aku enggak tau mau nulis apa dan untuk siapa." Sas beralih mengeluarkan sebuah n****+ dari dalam tasnya. Ia tidak merasa tertarik untuk mengobrol bersama Hani yang sedari tadi sibuk merapikan surat beramplop biru muda. Amplop itu sedikit terlipat di bagian sudut kiri bawah. Menjatuhkan fokus pada n****+ akan lebih baik dilakukan Sas sambil menunggu kedatangan Bu Ina, guru Biologi yang akan mengawali kegiatan belajar bagi para murid kelas 12 IPA 3 hari ini. "Yakin enggak ikut? Tulis aja ngasal buat siapa gitu. Denger-denger hadiah tahun ini 500 ribu plus 5 kupon makan Ayam Geprek Pak Budi gratis." Gerakan tangan Sas membolak-balik halaman n****+ untuk mencari titik terakhir yang ditangkap matanya kemarin malam terhenti. "500 ribu? Kamu tau dari siapa?" Nominal yang disebutkan oleh Hani bukan jumlah yang sedikit bagi Sas. Gadis itu dapat membayangkan kehadiran 8 buah n****+ yang akan menjadi penghuni baru rak bukunya. "Kamu diam-diam aja. Aku denger dari Ilham." Hani membisikkan kalimat itu dengan nada penyesalan yang kental. Hani lupa. Seharusnya, dia tidak membeberkan fakta dari pacarnya yang menjabat sebagai bendahara OSIS itu. Untuk tahun ini, pengurus OSIS memang sepakat merahasiakan hadiah yang diperoleh pemenang. Mereka hanya menuliskan "Akan ada hadiah menarik" di dalam poster PPKN. "Anak Bu Ina lagi wisuda jadi kelas kosong. Kerjain LKS halaman 45 sampai 47." Pemberitahuan dari ketua kelas sontak saja menggerakkan ambisi Sas. Dia harus bisa memenangkan PPKN tahun ini. *** Ruang serba putih ini merupakan tempat favorit Sas menghabiskan waktu ketika ia sedang membenci kegaduhan di kelas. Sebagai mantan sekretaris organisasi Palang Merah Remaja di SMA ini, bukan hal yang sulit bagi Sas untuk mendapatkan akses berbaring di salah satu ranjang UKS. Hanya dengan meyakinkan adik kelasnya, pejabat PMR periode saat ini, bahwa ia akan berada di dalam UKS seorang diri dan akan mampu berpura-pura sakit apabila salah satu guru piket memeriksa ruangan itu, Sas berhasil memperoleh tempat untuk menenangkan pikiran. Namun, jemari Sas tetap saja terasa kaku untuk membubuhkan tinta pena di atas selembar kertas putih tanpa garis itu. Sas masih belum sepenuhnya yakin untuk menulis surat yang akan ditujukannya kepada Aidan. Apabila Sas ingin memenangkan perlombaan ini, dia harus mencantumkan identitasnya. Hal yang sangat gila apabila tindakan itu dia lakukan pada surat yang hendak ditujukan kepada Aidan. Kini, hanya ada dua pilihan yang tersisa. Menulis surat untuk mengungkapkan perasaan demi mengeluarkan sesak yang muncul akibat bertahun-tahun penantian, atau menulis surat kepada orang lain untuk memenangkan lomba. Sas mengacak rambut, menahan geram atas ketidakberdayaan dirinya untuk mengambil keputusan dengan cepat. Di saat belum memutuskan hal apa yang dia pilih, suara decit pintu yang terbuka mengakibatkan Sas menutupi seluruh alat tulis dan perlengkapan menulis surat lainnya dengan selimut bergaris hitam-putih. Dengan gerakan tidak kalah cepat, Sas telah menyempurnakan posisinya agar terlihat sedang terbaring lemas. Sas memilih untuk menutup mata dan berpura-pura tertidur. Dia merasa belum siap untuk berbohong apabila derap langkah kaki yang terdengar semakin mendekat itu adalah kepunyaan salah satu guru piket. Dia belum menyisihkan waktunya untuk bertukar pendapat dengan pikirannya sendiri mengenai alasan yang tepat baginya untuk membaringkan diri di sini. Lagi-lagi, Sas adalah tipikal orang yang terkadang mengalami kesulitan dalam membuat keputusan. Dia tidak yakin mana pilihan jenis penyakit yang paling tepat di antara demam, sakit perut, flu, radang tenggorokan atau alergi, yang dapat meyakinkan guru piket atas keberadaannya di uks saat jam pelajaran tengah berlangsung. Hormon adrenalin gadis itu telah memicu detak jantungnya berdegup cepat saat derap langkah semakin terdengar mendekat. Bahkan saat ini, Sas bisa pula mendengar embusan nafas yang cukup tidak teratur dari siapapun sang pemilik derap langkah itu. "Eh, misi dong, ini kasur favorit aku." Sas tidak bisa menahan diri untuk memaksimalkan sandiwara tertidur pulas itu. Suara yang terdengar mengalun dengan santai di telinganya itu berhasil memenangkan kejujuran di atas segalanya. "Dasar d**a ayam. Aku kira kamu guru piket." Pilihan Sas untuk berhenti berpura-pura tertidur bukan merupakan keputusan yang sulit untuk dibuatnya saat ini. Suara itu memang sangat tidak asing bagi Sas. Bahkan, dia telah diakrabkan dengan suara itu sejak berusia delapan tahun. Meskipun sekarang suara itu lebih terdengar berat dari tahun-tahun sebelumnya, Sas akan tetap yakin siapa sang pemilik suara. "Eh, paha ayam. Dalam sejarah pergantian cita-cita di dalam hidup aku sekalipun, jadi guru itu enggak pernah jadi cita-cita yang cukup menarik." Sas sangat paham, berdebat dengan Rendra hanya akan semakin membuntukan pikirannya. Sudah cukup dia dibuat merasa bimbang atas pilihan terkait ajang PPKN, Sas tidak ingin menghabiskan waktu dengan berdebat. "Kamu kan enggak lagi sakit. Ngapain di sini?" Pertanyaan Rendra kali ini menyadarkan kembali Sas pada hal penting yang menantinya. "Aku mau ikut PPKN." Jawab Sas sembari menyibak selimut, dilanjutkan dengan menata kembali kertas dan pensil. Lalu, hal yang selanjutnya dilakukan adalah menutup mata erat-erat untuk membayangkan rekaan adegan dari setiap pilihan yang kelak harus Sas tentukan. "Nulis itu di atas meja, Sas. Bukan di atas kasur. Paling juga nih, kamu berakhir dengan nulis puisi cengeng." Teman-temannya sangat mengetahui kecemerlangan Sas dalam menyusun kata hingga menjadi sebuah puisi yang seakan-akan memiliki jiwa. Sangat sering, kaum hawa dari kalangan teman-temannya itu terbawa perasaan dalam setiap puisi yang biasa diciptakan Sas untuk mengisi buletin sekolah. Akan tetapi, Rendra memiliki pandangannya sendiri. Pertemanan mereka sejak keduanya berusia delapan tahun sudah sangat cukup bagi Rendra untuk mengenal Sas tanpa gadis itu harus berkisah secara panjang-lebar untuk memperkenalkan dirinya. Rendra sangat memahami bahwa puisi itu dapat diibaratkan obat yang bagi Sas akan berguna dalam menyembuhkannya. Namun tetap saja, obat yang dikonsumsi secara berlebihan tanpa memperlihatkan sedikitpun dampak pada sebuah kesembuhan hanya akan meninggalkan sebuah ketergantungan. Itulah hal yang ditakuti Rendra terjadi pada Sas. Rendra mengenal Sas lebih dari gadis itu mengenali dirinya sendiri. Bermain dengan puisi hanya akan memperangkap Sas pada sosok yang tidak berani menyuarakan segala perasaan. Rendra paham bahwa Sas memiliki dunianya sendiri, yang tentunya dipenuhi oleh puisi-puisi. Gadis yang terlihat pendiam di tengah keramaian itu adalah tipikal orang yang lebih memilih memendam semua perasaannya. Namun, lambat laun gadis itu lupa bahwa memendam lebih cenderung melukai dirinya sendiri. "Nih ya, Sas. Aku kasih tau. Di zaman sekarang, akan lebih baik kamu berhenti berjiwa melankolis. Negeri ini lebih membutuhkan penerus bangsa yang berjiwa revolusioner untuk membangun bangsa." Kesabaran Sas benar-benar diuji melalui kehadiran Rendra. Lelaki satu itu sudah dapat dipastikan tengah kembali dipusingkan dalam menentukan jurusan yang akan dia tempuh di jenjang pendidikan selanjutnya, bangku kuliah. Sehingga, bisa dipastikan pula, dia mengunjungi UKS untuk melelapkan diri sejenak. Sas sangat hafal, kegiatan satu itu adalah hal terbaik untuk dilakukan oleh Rendra apabila dia sedang tidak berada dalam keadaan hati ataupun pikiran yang tenang. Dalam beberapa bulan terakhir, Rendra menyatakan kepada Sas bahwa dia terjebak di antara dua pilihan jurusan yang menurutnya sangat menarik. Akuntansi dan Ilmu Pemerintahan. Sas berulang kali merekomendasikan Ilmu Pemerintahan sebagai pilihan yang paling tepat untuk Rendra. Karena bukan lagi menjadi rahasia di antara mereka, memilih Akuntansi hanya akan memperburuk hubungan Rendra dengan angka-angka. Namun, untuk sosok yang bersifat keras kepala, Rendra tidak akan mudah menerima rekomendasi Sas begitu saja. Sas hanya bisa memilih diam dan bangkit dari salah satu kasur UKS itu untuk menuju ke arah sepasang meja dan kursi yang berjarak tidak jauh dari pintu masuk. Rendra tidak lebih penting dari hadiah lomba yang menanti di depan mata, pikirnya. Pemahamannya tentang sikap Sas sekarang yang menunjukan bahwa dia butuh waktu untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, ikut pula menggerakkan Rendra untuk berhenti mengganggu Sas. Rendra melanjutkan tujuan awalnya untuk melelapkan diri demi melepas kerumitan yang memenuhi isi hati dan kepalanya. Dia bahkan lebih memilih tidur dibandingkan mengikuti pelajaran favoritnya, Penjaskes, yang tengah berlangsung di lapangan itu. Dalam beberapa menit berharga yang telah berlalu, Sas berhasil menemukan keputusan terbaik menurutnya, menulis untuk memenangkan perlombaan. Untuk Aidan, dia bisa melakukan hal seperti biasanya, menulis puisi di dalam sebuah buku yang memang ditujukan untuk menuangkan perasaannya. Pada detik selanjutnya setelah keputusan itu dia mantapkan, Sas telah menggerakkan jemari indahnya untuk menuangkan kata-kata ke dalam selembar kertas. Gadis itu memang mendapatkan anugerah dari Tuhan berupa kemampuan mengakrabkan diri dengan kata-kata yang indah. Sementara itu pada lain sisi, menit-menit berharga yang telah berlalu tidak kunjung bisa melelapkan Rendra. Lelaki itu masih disibukkan dengan kegelisahan hati dan kerumitan pikiran yang mengganggu dirinya pada hari ini. "Sas?" "Hm?" "Lelaki b*****t itu kembali." Gerakan jemari Sas terhenti. Dia salah. Kegelisahan yang sedang mengusik hati dan pikiran Rendra bukan mengenai pilihan jurusan. Ini tentang kehidupan dan mimpi-mimpi lelaki itu selanjutnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD