Kehilangan Lagi

1279 Words
Untuk pertama kalinya Algren menunggangi Eldron dengan tenang. Dia duduk di punggung sang wyvern tanpa perlu berteriak ketakutan. Sebenarnya rasa takut itu masih ada, tapi Algren mencoba bersikap dewasa. Menyadari tugasnya memang seperti ini yaitu menunggangi makhluk besar yang bisa terbang di udara dan menyemburkan api dari mulutnya. Pria itu berpegangan dengan sangat kuat pada duri di punggung Eldron sehingga meyakini dirinya tak mungkin terjatuh. Tatapan Algren yang awalnya lurus ke depan, kini beralih menatap ke bawah. Di bawah sana merupakan kampung halamannya yang hancur karena terbakar api. Ada rasa ingin turun sejenak ke sana untuk memeriksa kondisi orang tuanya. Setelah mendengar kabar menyedihkan tentang kematian sahabatnya, Drew, Algren berharap akan mendengar kabar baik bahwa orang tuanya selamat kali ini. "Eldron, kita turun sebentar di sini. Aku ingin memeriksa kondisi orang tuaku," ucap Algren, berharap sang wyvern memahami bahasanya. Di luar dugaan seolah sang wyvern memahami bahasa penunggangnya, dia pun menukik turun dan benar-benar mendarat di pemukiman orang tua Algren tinggal. Elmara dan Edrea melakukan hal yang sama. Mereka pun mendarat tak jauh dari Eldron dan Algren. Edrea bergegas turun dari wyvern-nya dan menghampiri Algren. "Kau ingin memastikan kondisi orang tuamu?" tanya gadis itu. "Ya, tidak masalah kan kita mampir sebentar di sini?" "Tentu saja tidak. Aku justru berniat mengajakmu ke sini dulu tadi, untunglah kita sepemikiran karena kau juga ingat untuk memeriksa kondisi orang tuamu. Jadi, di mana rumahmu?" Algren mengedarkan pandangan ke sekeliling. Kampung halamannya yang indah kini benar-benar porak poranda. Sama halnya dengan kastil RKA dan juga istana, di pemukiman itu juga banyak rumah yang hancur dan rata dengan tanah. Ada pun yang masih berdiri kokoh, bangunannya sudah tak layak huni karena hangus terbakar. Tak ada warga yang mereka lihat hilir mudik di sana, padahal awalnya kampung halaman Algren merupakan desa yang sangat ramai. Algren berjalan menuju bangunan yang dia yakini merupakan rumahnya. Rumah itu sudah ambruk, hanya menyisakan puing-puing bekas reruntuhan. "Ini rumahmu?" tanya Edrea seraya menatap bangunan yang sudah tak berbentuk sebagai sebuah rumah lagi karena Algren yang berdiri di sana. Kepala pria itu pun terangguk. "Ya, ini rumah orang tuaku. Ternyata kondisinya hancur seperti kastil RKA." "Kita harus berkeliling di sekitar sini karena mungkin orang tuamu selamat dan sedang bersembunyi di suatu tempat bersama warga lain seperti halnya teman-teman kita di RKA." Karena Algren tak mengatakan apa pun, Edrea menepuk punggungnya pelan sehingga pria itu refleks menoleh ke arahnya. "Jangan menyerah, Algren. Kita cari dulu orang tuamu karena mungkin saja mereka selamat." Algren mengangguk. "Ya, kau benar. Terima kasih sudah mau membantuku mencari." "Ck, sudahlah. Tidak perlu berterima kasih, kita ini kan satu tim jadi harus saling membantu. Aku akan mencari di sebelah sana," ucap Edrea seraya menunjuk ke arah sebelah kiri. "Ya, aku akan mencari di sebelah sini." Sedangkan Algren akan mencari di sebelah kanan. Pencarian mereka pun dimulai. Algren dan Edrea mencari orang-orang yang mungkin masih berkeliaran di area perkampungan itu, tapi pencarian mereka berakhir sia-sia karena mereka tak menemukan seorang pun di sana. "Aku tidak menemukan siapa pun di sekitar sini, padahal aku sudah berkeliling," ucap Edrea seraya mengatur napasnya yang terengah-engah karena dia terlalu banyak berlari. "Apa kau menemukan sesuatu?" tanya gadis itu karena Algren yang diam saja. Kepala pria itu pun menggeleng. "Aku juga tidak menemukan siapa pun di sekitar sini." "Menurutku orang-orang yang selamat mungkin sedang bersembunyi di suatu tempat seperti yang dilakukan teman-teman kita di ruang bawah tanah istana. Apa kau tahu tempat di sekitar sini yang mungkin dijadikan tempat persembunyian?" Namun, Algren tak menyahut karena tatapannya tertuju pada reruntuhan bangunan yang dulu merupakan rumahnya. Dia pun menyingkirkan beberapa reruntuhan seolah sedang mencari sesuatu. Bergegas Edrea menghampiri dan berniat membantu jika tenaganya dibutuhkan pria itu. "Apa yang kau cari?" "Mungkin ada benda milikku yang masih bisa diselamatkan karena di sini seharusnya kamarku." "Oh, begitu. Aku akan membantumu mencari." Mereka berdua pun menyingkirkan reruntuhan kecil yang bisa mereka angkat untuk mencari benda milik Algren yang masih bisa diselamatkan. "Algren, aku menemukan ini!" teriak Edrea. "Sepertinya ini sebuah buku. Ah, benar ini memang buku bergambar. Apa ini milik adikmu?" Ditanya seperti itu oleh Edrea, Algren mendengus. Dia lalu mengambil buku di tangan gadis itu. "Ini buku milikku. Aku tidak memiliki adik." "Oh, aku pikir itu buku milik adikmu karena isinya bergambar." "Dulu aku tidak bisa menulis dan membaca jadi buku yang aku baca ya buku seperti ini, ada gambarnya. Aku senang membaca buku untuk menghilangkan rasa bosan saat berada di rumah." "Memangnya dulu kau tidak pernah sekolah?" Algren mendengus. "Bagaimana aku bisa sekolah jika untuk sekolah biayanya sangat mahal? Jangankan untuk sekolah, untuk makan saja kami kesulitan. Jadi uang yang kami miliki digunakan untuk membeli makanan. Orang tuaku hanya seorang petani, itu pun mereka menggarap persawahan milik orang lain." Algren mengerutkan kening melihat Edrea yang memasang raut sendu setelah mendengar pengakuannya ini. "Hei, kenapa kau terlihat bersedih?" "Aku tak menyangka hidupmu sesulit itu di masa lalu." "Huh, kehidupan rakyat kecil seperti kami memang seperti itu, jangan disamakan dengan kehidupan mewah keluarga bangsawan seperti keluargamu." Giliran Edrea yang mendengus karena menyadari Algren sedang menyindirnya. "Aku akan mencari lagi karena mungkin masih ada benda berharga yang bisa kutemukan di kamar ini." Algren pun kembali menyingkirkan puing-puing reruntuhan yang kecil sehingga bisa dia angkat dengan kedua tangannya dan saat itulah dia menemukan sebuah pigura yang hancur, tapi lukisan di dalam pigura itu masih utuh. Kedua mata Algren seketika berkaca-kaca saat menatap lukisan tersebut. "Apa itu kau dan orang tuamu?" tanya Edrea karena lukisan itu mnggambarkan tiga orang yang sedang bersama. Sepasang pria dan wanita dewasa beserta seorang anak laki-laki. Algren mengangguk. "Ya, ini lukisanku dan orang tuaku. Kami membuatnya ketika usiaku masih sepuluh tahun. Jika orang tuaku tidak selamat, lukisan ini akan menjadi satu-satunya kenang-kenangan tentang keluarga kami yang aku miliki." Melihat gambar pada lukisan itu yang memperlihatkan kehangatan sebuah keluarga, juga mendengar perkataan Algren yang menyayat hati, Edrea pun ikut bersedih seperti Algren. Dia bisa memahami perasaan pria itu saat ini. "Jangan menyerah, aku yakin orang tuamu selamat. Kita hanya perlu mencarinya. Apa kau tahu tempat yang bisa dijadikan tempat untuk bersembunyi di sekitar sini?" Algren terdiam sesaat seolah sedang mengingat-ingat tempat yang dimaksud Edrea, hingga akhirnya mengangguk ketika menyadari sesuatu. "Ya, aku tahu tempatnya. ayo pergi." Kedua ornag itu lantas berlari menuju tempat yang dimaksud Algren. Setibanya di tempat tujuan yang tidak lain merupakan sebuah gua, benar saja banyak warga yang selamat bersembunyi di sana. "Di mana orang tuaku?" tanya Algren berharap orang tuanya menjadi bagian dari orang-orang yang selamat itu. Namun, melihat semua orang memasang wajah sendu, seketika Algren merasakan firasat buruk. "Kenapa tidak ada yang menjawab? Di mana orang tuaku?" Semua orang terdiam hingga seorang pria paruh baya tiba-tiba bangkit berdiri. "Kau ingin melihat orang tuamu?" "Iya, Paman. Di mana mereka?" "Aku akan mengantarmu menemui mereka." Detik itu juga Algren mengangguk sumringah karena berpikir orang tuanya selamat dan berada di suatu tempat. Dia dan Edrea mengikuti langkah pria yang berjalan di depan mereka. Namun, Setibanya di tempat tujuan, rasa lega yang sempat dirasakan Algren menguap entah ke mana, pasalnya mereka sedang berdiri di depan dua gundukan tanah yang tidak lain merupakan makam. Sebenarnya di area itu penuh dengan gundukan makam. "Paman, kenapa kau mengajak kami ke sini?" tanya Algren. Berbeda dengan Edrea yang membekap mulut dan sudah meneteskan air mata karena dia paham betul apa maksud pria itu mengajak mereka ke area pemakaman tersebut. "Kau ingin menemui orang tuamu, kan? Itu orang tuamu." Pria itu menunjuk dua gundukan tanah tepat di depan Algren berdiri. "Kedua makam itu adalah makam ayah dan ibumu." Detik itu juga Algren melebarkan mata, sebelum jatuh berlutut di depan makam kedua orang tuanya karena mereka sama sekali tidak selamat. Dan sekali lagi Algren kehilangan orang yang paling berharga dalam hidupnya setelah kematian Drew.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD