Wyvern 03

2420 Words
Algren mengerang saat telinganya mendengar suara burung yang berkicau di dekat jendela kamarnya. Walau enggan karena rasa kantuk yang masih melanda, dia membuka kedua mata dengan gerakan perlahan. Pemandangan yang dia lihat pertama kali begitu membuka mata adalah langit-langit kamar berwarna putih dengan ukiran yang cukup rumit. Ini pemandangan asing baginya karena atap kamarnya di rumah hanyalah papan yang sudah lapuk. Algren mengembuskan napas pelan, dia teringat memang sedang tidak berada di rumahnya, melainkan dia sedang berada di tempat baru. Kastil yang merupakan Regnum Knight Academy dan dia sedang berada di kamarnya di dalam kastil tersebut. Algren bangkit dari posisi berbaring dan kini sedang duduk, melirik ke arah jendela dan melihat langit sudah mulai terang, dia tahu inilah saatnya untuk bangun. Dia ingat harus segera menyiapkan diri mengikuti kelas yang pertama. Apa pun yang akan dipelajarinya hari ini di kelas, dia benar-benar sudah tidak sabar ingin mengikutinya. Algren perlahan menuruni tangga karena dia tidur di ranjang atas. Ya, di kamar itu dia tidak sendirian. Melainkan bersama siswa lain yang sudah ditentukan sekamar dengannya oleh pihak academy. Sialnya bagi Algren karena harapannya akan mendapatkan teman sekamar seorang bangsawan baik hati seperti Drew, yang dia dapatkan justru seseorang yang harus dijadikan musuh alih-alih teman. Lucian nama teman sekamar Algren, tidak lain merupakan orang yang dengan sengaja menghalangi jalan Algren dengan kakinya sehingga makanan pria itu tumpah saat di ruang makan tadi. Saat melihat Lucian masih tertidur lelap, Algren mendengus. Rasa kesal itu menyeruak kembali di dalam hati ketika mengingat kejadian semalam. Selain mencari gara-gara dengannya di ruang makan, pria itu juga kembali menghinanya saat mereka berada di kamar. Mengatakan berbagai kalimat yang membuat hati Algren sakit bukan main. Jika semalam Algren mencoba menahan diri untuk tidak menimbulkan keributan sehingga dia hanya memilih diam, tidak dengan kali ini. Menurutnya dia harus melakukan sesuatu untuk memberi pelajaran pada pria itu. Hanya tersisa satu undakan anak tangga yang harus dia pijak hingga dirinya bisa mendarat di lantai. Namun, melihat kaki Lucian cukup dekat dengan pijakannya, Algren memanfaatkannya. Dengan sengaja dia menginjak kaki itu membuat si pemilik kaki memekik sakit sekaligus terkejut dan terbangun dari tidur lelapnya yang bagai orang mati karena suara berisik dari kicauan burung di luar saja tak bisa mengusik tidurnya.  “Ooppss, maaf, maaf. Aku tidak sengaja,” ucap Algren, terlihat tulus meminta maaf padahal di dalam hati tengah bersorak senang karena berhasil membalas perbuatan Lucian padanya di ruang makan. Memangnya pria itu pikir kakinya tidak sakit saat dihadang? Algren berpikir biarkan kali ini dia juga merasakan apa yang dia rasakan. Disertai wajah memerah karena tersulut emosi, Lucian turun dari ranjang dan kini berdiri berhadap-hadapan dengan Algren. “Heh, kau pasti sengaja melakukannya, kan? Sengaja menginjak kakiku?” Algren menggeleng, “Tidak. Aku memang tidak sengaja menginjak kakimu. Salahmu sendiri kenapa kakinya terjulur sampai menghalangi tangga.” Lucian mendecih, “Kau pikir aku percaya? Aku tahu kau sedang mencoba balas dendam padaku karena kejadian semalam, kan? Sudah mengaku saja, orang rendahan sepertimu pasti hanya berani melawan saat aku sedang lengah. Pecundang.” Algren mendelik tajam mendengar dirinya kembali dihina. Awalnya tak ingin membalas karena tidak ingin menimbulkan keributan di kastil, kali ini dia merasa sudah tak sanggup lagi menahan amarahnya. Benar dia hanya r'akyat j'elata tapi dia juga memiliki hati nurani yang tentunya akan tersentil jika terus diusik. Lagi pula, tiba-tiba dia teringat ucapan Drew yang mengatakan mereka sama di academy ini. Tidak ada lagi perbedaan antara seorang bangsawan atau r'akyat j'elata, di kastil ini mereka sama yaitu sebagai siswa academy. Algren dengan berani bertolak pinggang di hadapan Lucian yang berdiri angkuh di depannya. “Heh, bagus kalau kau sadar aku sengaja karena memang benar aku sengaja menginjak kakimu. Ini pembalasan karena semalam kau berani menghadang jalanku. Kau yang menyebabkan makananku tumpah.” Lucian memelotot, Algren yang sejak semalam hanya diam dan tak berani melawan, kini mulai menunjukan taringnya. “Oh, jadi sekarang kau sudah berani melawanku rupanya.” Algren mendengus, “Sejak awal aku sama sekali tidak takut padamu. Adapun alasanku tetap diam dan tidak meladenimu semalam karena aku tidak ingin menimbulkan keributan di hari pertama menginjakkan kaki di kastil ini. Tapi aku lihat didiamkan hanya membuatmu semakin keterlaluan. Kali ini aku tidak akan berdiam diri lagi. Jika kau terus mengusikku maka bersiaplah karena aku akan melawanmu.” Lucian tampaknya murka dengan sikap Algren yang berani melawannya karena dia tiba-tiba menerjang Algren dengan kepalan tangannya yang melayang dan nyaris mengenai wajah Algren. Beruntung refleks tubuh pria itu cepat, Algren melompat ke belakang. Namun, rupanya perkelahian di antara mereka tak bisa dihindari. Lucian terus melayangkan pukulan, tapi Algren selalu berhasil menangkisnya. Tak tahan karena dia selalu menjadi pihak yang bertahan karena Lucian yang selalu menyerang, Algren pun balas menyerang. Algren beruntung dirinya selalu berlatih bela diri dari ayahnya sejak masih kecil sehingga kini dengan mudah dia bisa menunjukan kemampuannya di depan Lucian yang sudah mencari gara-gara dengannya. Algren menangkap kaki Lucian yang hendak menendang perutnya, dia memelintir kaki itu sehingga pemiliknya meringis kesakitan, Algren lalu membantingnya hingga tubuh Lucian membentur kerasnya lantai dengan punggung yang mendarat lebih dulu. Tak sampai di sana, Algren menindih pria itu dengan menduduki perutnya, lalu dengan bertubi-tubi memukuli wajah Lucian hingga banyak luka memar yang mengeluarkan darah kini tercetak di wajah pria itu. Belum puas walau membuat wajahnya babak belur, Algren kini mengunci kaki kanan Lucian yang dia yakini merupakan kaki yang digunakan pria itu untuk menghadang jalannya saat di ruang makan, Algren melipat kaki itu seolah akan mematahkannya. “Jangan, jangan. Aku mohon jangan lakukan itu,” pinta Lucian, memohon belas kasihan karena dia benar-benar ketakutan kakinya akan dipatahkan oleh Algren. “Bukankah kaki ini yang sudah menghadang jalanku sampai makananku jatuh dan tumpah?” “Aku minta maaf.” “Maaf? Jadi kau sudah mengakui semalam memang sengaja menghadang jalanku?” Lucian tidak menjawab dan hal itu membuat Algren kesal. Algren semakin melipat kaki yang dia genggam membuat suara ringisan kini mengalun kencang dari mulut Lucian. “Baik, baik. Aku akan mengakuinya.” “Mengakui apa?” tanya Algren. “Aku memang sengaja melakukannya.” Kedua mata Algren memicing tajam, “Kenapa kau melakukan itu? Memangnya apa salahku padamu?” “Aku hanya iri.” Kini kening Algren yang mengernyit, merasa bingung karena menurutnya tak ada di dirinya yang patut membuat iri orang lain. Lantas kenapa Lucian mengatakan iri padanya? Benak Algren penuh dengan tandatanya sekarang. “Iri padaku? Iri kenapa?” “Karena Eldorn memilihmu. Padahal kau ini hanya seorang anak petani yang tidak layak berada di academy ini. Sejak dulu penunggang Wyvern pasti memiliki darah biru di tubuhnya. Selalu bangsawan yang terpilih tapi kau yang hanya seorang r'akyat j'elata justru terpilih. Terlebih Eldron … dia yang memilihmu.” Algren tertegun, tak menyangka bahwa dirinya diperlakukan tidak adil seperti semalam, semua disebabkan oleh Eldron yang memilihnya menjadi seorang penunggang Wyvern. Algren yang kesal karena dia tak pernah berharap akan terpilih itu pun menggeram, kepalan tangannya melayang hendak tertuju pada wajah orang yang berada di bawah kungkungannya membuat Lucian refleks berteriak dan memejamkan mata, nyatanya kepalan tangan itu mendarat pada lantai tepat di samping telinga Lucian. “Kau pikir aku ingin terpilih menjadi penunggangnya? Asal kau tahu aku tidak pernah berharap akan terpilih. Aku juga tidak pernah berharap berada di academy ini bergabung dengan orang-orang sombong seperti kalian. Aku juga tidak mau berada di sini!” Lucian meneguk ludah karena melihat kedua mata Algren yang melotot, dia tahu pria itu bersunggung-sungguh mengatakan itu. “Walau kau menolaknya sekalipun, ini takdirmu karena Eldron memilihmu. Hanya saja aku akan memperingatkanmu …” Kedua alis Algren menyatu, menanti apa yang akan dikatakan Lucian selanjutnya. “… bukan hanya aku yang iri padamu. Tapi aku yakin semua orang di sini pasti iri padamu karena bukan rahasia umum lagi, semua orang pasti ingin terpilih menjadi penunggang Eldron. Jadi, kau harus bersiap karena mungkin kau akan selalu disakiti oleh mereka, lebih dari yang aku lakukan padamu semalam.” Mendengar ucapan Lucian ini, Algren sadar pria itu memang benar. Selama berada di academy itu dia tak akan pernah bisa hidup tenang dan damai. Semua ini karena Eldorn … ya, karena pemimpin Wyvern itu malah memilih orang sepertinya dari jutaan pemuda yang berada di Regnum Kingdom. *** Semua siswa academy kini sudah berkumpul di sebuah lapangan luas yang terletak di belakang kastil. Terlalu luas sampai sejauh mata memandang hanya hamparan tanah berumput yang terlihat. Selain itu, di sana masih sangat asri, pegunungan yang menjulang tinggi terlihat di mana-mana. Walau dari lapangan itu semua gunung terlihat kecil pertanda jaraknya memang cukup jauh. Seperti halnya siswa lain, Algren pun menjadi salah satu siswa yang berada di lapangan tersebut. Tak ada yang mau menemaninya sehingga kini dia hanya berdiri di barisan paling belakang. Saat melirik ke arah kanan, Algren terenyak begitu menyadari dirinya tidak sendirian berdiri di barisan belakang. Walaupun orang itu berdiri cukup jauh darinya, tapi Algren kini sadar bukan hanya dirinya yang diperlakukan tak adil karena dijauhi semua orang. Orang itu juga … Edrea mengalami nasib yang sama dengannya. Satu-satunya wanita di academy itu kini berdiri memisahkan diri dari para pria yang tidak akan segan-segan mengganggu dan menghinanya jika dia nekat bergabung dengan mereka. Melihat gadis itu berdiri dengan gelisah seorang diri, sebenarnya Algren merasa iba. Dia bisa merasakan perasaan gadis itu karena dia pun merasakan hal yang sama. Mereka tak bisa berbaur dengan siswa yang lain karena berbeda. Karena itu, menyendiri adalah pilihan yang tepat. “Aku perhatikan kau terus saja menatap gadis itu.” Algren tersentak kaget karena tiba-tiba mendengar suara seseorang dari arah belakang. Cepat-cepat berbalik badan, dia semakin terkejut karena menemukan pemilik suara itu adalah Drew yang entah sejak kapan sudah berdiri di sampingnya. “K-Kau? Kenapa kau berdiri di sini?” tanya Algren, tiba-tiba menjadi gugup. Padahal dia ingat tadi melihat Drew berdiri di barisan paling depan, lalu kenapa tiba-tiba pindah menjadi berdiri di sampingnya? Algren heran bukan main. “Karena aku melihat seseorang berdiri sendirian di sini. Aku pikir dia pasti butuh teman berbincang sambil menunggu guru pengajar tiba di sini.” Yang dikatakan Drew memang benar. Di lapangan itu hanya ada siswa yang siap mengikuti pelajaran hari ini, sedangkan sang pengajar belum menampakan diri. Sejak tadi para siswa hanya berbincang dengan rekan yang berdiri di samping mereka, mungkin hanya Algren yang terdiam karena tak memiliki teman untuk berbincang. Oh, Edrea juga mengalami hal yang sama dengannya. “Kau terus menatap gadis itu, kenapa? Apa kau tertarik padanya?” Algren terbelalak mendengar tuduhan Drew yang menurutnya jauh dari kenyataan. “Hah? Aku …” dia menunjuk wajahnya sendiri dengan jari telunjuk, sebelum jari itu tertuju pada Edrea. “… tertarik padanya? Itu hal yang paling mustahil terjadi. Kau jangan bicara sembarangan seolah bisa membaca isi pikiranku saja.” Menyadari ucapannya sudah lancang pada seorang bangsawan terhormat seperti Drew, Algren meneguk ludah. Bergegas dia meralat ucapannya, “Eh, maafkan aku, Maksudnya …” “Tidak apa-apa,” sela Drew cepat karena sudah bisa menebak apa yang akan dikatakan Algren. “Aku senang mendengarmu bicara selantang itu padaku. Tidak seperti semalam saat di ruang makan, kau terlihat canggung dan sungkan sampai tidak berani menatap wajahku saat bicara.” Algren hanya meringis, mengingat status Drew yang terlalu tinggi, tentu saja dia tidak mungkin berani bersikap lancang pada pria itu. “Sudah kukatakan padamu semalam, bukan? Kita teman mulai sekarang.” “Teman? Kau yakin mau berteman dengan orang sepertiku? Maksudnya aku ini tidak sepadan denganmu. Status kita terlalu jauh perbedaannya.” Drew berdecak, terlihat jengkel, “Memangnya kenapa dengan perbedaan status? Sudah kukatakan di academy ini kita sama. Sama-sama siswa yang sedang belajar untuk mempersiapkan diri menjadi ksatria penunggang Wyvern. Jadi berhenti merasa dirimu rendah, Algren. Kedudukkan kita sama sekarang.” Mendengar ucapan Drew ini, Algren jadi teringat pada kejadian tadi saat di kamar. Benar, dia jadi berani melawan para bangsawan sombong itu berkat ucapan Drew. “Terima kasih,” katanya. Drew mengulas senyum, membuat wajah tampannya semakin berkali lipat terlihat memesona. “Lalu kenapa kau terus menatap gadis itu? Biar aku tebak, kau ingin menghampirinya, kan?” Algren tertawa, “Tidak. Aku tidak ada niat untuk menghampirinya.” “Oh, ya? Tapi aku lihat kau begitu peduli padanya sampai di ruang makan saja kau menolongnya?” “Aku hanya kasihan padanya. Tapi seperti yang kau lihat, dia menolak niat baikku.” “Edrea Leteshia.” Algren melongo karena tak paham Drew tiba-tiba menyebutkan sebuah nama yang terdengar asing di telinganya. “Nama gadis itu,” tambah Drew. “Aku pikir kau ingin tahu namanya.” Algren mendengus keras, “Siapa yang ingin mengetahui namanya? Aku sama sekali tidak peduli.” “Benarkah?” Dari seringaian yang tercetak di wajah Drew, Algren tahu pria itu sedang menggodanya. “Tentu saja benar. Aku tidak ingin mengetahui apa pun tentang dia. Bahkan kalau bisa aku tidak ingin lagi melihat wajahnya. Aku saja menyesal karena kemarin sudah menolongnya.” Satu alis Drew terangkat naik, mungkin penasaran akan sesuatu. “Kenapa kau menyesal menolongnya?” “Karena …” Algren nyaris menceritakan kejadian kemarin ketika gadis itu menghadang jalannya di lorong dan mengancamnya. Algren mengibaskan tangan saat berpikir tak ada gunanya membahas kejadian itu pada Drew karena ada banyak hal lain yang jauh lebih penting untuk dibahas dibandingkan membicarakan gadis itu. “… lupakan saja. Yang pasti jangan dekat-dekat dengan gadis itu. Dia sangat bar-bar. Jenis spesies yang harus dihindari.” Drew terkekeh, “Dia hanya sedang melindungi diri sendiri. Aku rasa itu alasan dia berdiri jauh dari siswa lain.” “Ya, aku pikir juga begitu. Wajar karena dia satu-satunya wanita di sini. Aku kasihan padanya juga karena ini. Kenapa wanita sepertinya bisa terpilih menjadi penunggang Wyvern? Bukankah ini terjadi untuk pertama kalinya?” “Seperti kau yang seorang anak petani menjadi penunggang Wyvern juga merupakan kejadian untuk pertama kalinya.” Algren langsung mengatupkan mulut karena yang dikatakan Drew tepat adanya. “Aku rasa di generasi kita akan terjadi banyak perubahan. Aku jadi tidak sabar ingin melihat perubahan lainnya.” Algren mengerjapkan mata, apa pun maksud ucapan Drew ini, melihat pria itu sedang menyeringai, Algren menebak sesuatu yang tidak dia harapkan mungkin memang akan menimpa generasi mereka. “Ngomong-ngomong, aku sudah tidak sabar ingin melihat kemampuanmu sebentar lagi.” Algren semakin kebingungan karena sejak tadi Drew terus mengatakan sesuatu yang tak dia pahami. “Memangnya apa yang akan kita lakukan sebentar lagi?” tanyanya, meminta penjelasan. Namun, seolah semua hal yang berkaitan dengan Drew adalah sebuah misteri, pria itu hanya mengulas senyum dan mengatakan, “Kau akan tahu sebentar lagi. Berharap saja para pengajar akan segera datang.” Sebuah jawaban yang sukses membuat Algren semakin kebingungan. Memangnya apa yang akan mereka pelajari hari ini? 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD