1. Kehamilan Claudia
"Rei aku hamil" kataku sambil menggenggam tangan Rei.
Dia mengerutkan keningnya. Dia terkejut mendengar ucapanku.
"Kamu akan menikahiku kan?" lanjutku meyakinkan.
"Sayang, kamu bercandakan? Aku lagi gak mood, aku capek" katanya sambil memegang tanganku.
"Aku serius, apa aku kelihatan bercanda? Aku sudah test pack dua kali bahkan aku sudah periksa, kata dokter aku hamil empat minggu" jelasku.
"Bagaimana mungkin, aku melakukannya hanya sekali. Apa hanya sekali langsung hamil? Kamu pasti bercanda". Katanya tidak percaya.
Aku menahan air mataku. Hatiku terasa di cabik-cabik mendengar ucapannya. Dia bicara seolah-olah aku sudah tidur dengan banyak pria.
"Apa kau tidak sadar dengan ucapanmu? itu menyakiku!" Kataku lembut sambil kuseka air mataku yg sudah mengalir entah dari kapan.
"Maaf, bukan begitu sayang, tapi aku melakukannya hanya sekali, bagaimana mungkin langsung hamil"
"Tapi aku hanya melakukannya denganmu, kau yang merenggut kesucianku dengan paksa, karena kau sudah tidak tahan lagi, bisa-bisanya kamu berkata seperti itu padaku, hikss..hikss.." tangisku sudah tak bisa kutahan lagi.
Memang Rei bukan orang yang suka melakukan itu. Kami terpaksa melakukannya karena Rei diberi alkohol oleh teman-temannya yang di dalamnya sudah tercampur obat perangsang. Akhirnya kami melakukannya karna jika tidak, akan membahayakan Rei.
"Kamu harus menikahiku Rei, kau harus bertanggung jawab, tidak ada pilihan lain" kataku sambil sesenggukan.
"Tidak, aku belum siap, gugurkan kandunganmu, itu pilihan terbaik. Bukan aku tidak mencintaimu, hanya saja ini terlalu cepat" bagai disambar petir mendengar kalinat yang di lontarkannya.
Plakkkk..
Spontan tanganku menamparnya "Segampang itu kamu ingin membuang anakmu Rei. Ini anakmu Rei, darah dagingmu. Bisa-bisanya kamu ingin membunuhnya. Cukup dosa yang kita lakukan dengan membuatnya tumbuh di rahimku. Jangan tambahkan lagi dengan membunuh anak yang tidak berdosa ini. Dimana akal sehatmu Rei Pratama" teriakku dengan emosi yang sungguh sudah tak terkendali.
Rei menatapku tajam, lalu pergi tanpa mengucapkan apapun. Apakah dia marah karna aku menamparnya atau karna kalimatku tadi, aku tidak tau.
Esok paginya, aku bangun rada siangan. Aku memang sengaja karena hari ini aku libur kerja. Oh iya, aku perkenalkan namaku dulu. Aku Claudia, biasa di panggil Dia. Aku bekerja di sebuah perusahaan elektronik. Aku orangnya sangat lembut dan sangat penurut. Aku bukannya puji diri, tapi itulah kenyataannya. Baru semalam aku berani menentang pacarku dan emosi. Kalau di ingat-ingat, mungkin ekspresiku seperti singa yang di bangunkan.
Aku berjalan menuju dapur, aku sangat lapar. Tidak ada apa-apa disana. Bahkan bahan untuk masakanpun tidak ada.
Tiba-tiba handphone ku ada notif pesan masuk, itu dari Rei.
Rei: Apa kau sudah makan?
"Ternyata dia masih perhatian, kupikir dia tidak akan menghubungiku lagi. Aku tau dia sangat mencintaiku. Aku akan berusaha sampai dia mau menikahiku. Aku tidak mau berbuat dosa dwngan membunuh darah dagingku yang tak berdosa ini" gumamku.
Dia: Belum, aku sangat lapar?
Rei: Sebentar lagi aku kesana. Tunggu disana, jangan kemana-mana. Aku akan membawakan sarapan untukmu. Kita sarapan sama-sama.
Dia: Baiklah.
Hanya butuh waktu 15 menit, Rei sudah tiba di kontrakanku.
Tokkk...tokk..
Ku buka pintu, aku tersenyum lalu mencium punggung tangannya layaknya suami istri. "Ayo masuk" kataku.
"Aku ambilkan piring dulu" lanjutku sambil berjalan menuju dapur.
Kami makan dengan hening, tidak seperti biasanya. Setelah selesai makan, kami duduk di sofa di ruang tamu. Masih tetap terdiam, smpai akhirnya kuberanikan memulai percakapan.
"Apa kamu akan disini seharian" tanyaku.
"Memangnya kenapa, apa kamu akan ada tamu?" Rei menatapku menyelidik.
"Maksudku aku mau kamu menemaniku hari ini" aku memperbaiki bahasaku. Dia hanya diam.
"Bagaimana dengan kehamilanku, kamu akan menikahiku kan Rei?" kuberanikan untuk bertanya.
"Bisa tidak jangan membahas itu, kerjaanku banyak, masih banyak yang harus kuselesaikan. Tolong jangan membuat beban pikiranku" katanya sedikit kesal.
"Tapi semakin lama perutku akan membesar Rei, apa kata orang-orang nanti, aku malu kalau tetangga mengolok-olok aku, apalagi rekan kerjaku" kutahan air mataku.
"Kalau kamu malu, gugurkan saja. Aku sudah bilang, aku belum siap" teriaknya sambil menggenggam lenganku.
"Sampai kapanpun aku gak akan menggugurkannya Rei. Ini anakku, anak kita. Bagaimana bisa kamu setega ini Rei. Apa kamu tidak mencintaiku? Hikss..hikss.." aku sesenggukan.
"Aku sangat mencintaimu. Tapi jangan membahas masalah ini sekarang. Aku pusing, banyak yang harus kuselesaikan"
"Pergi Rei, aku tak ingin melihatmu" teriakku.
"Sayang, jangan seperti ini, tolong ngertiin aku,please!"
"Pergii.." kutarik tangannya sampai keluar, kubanting pintu lalu kusandarkan tubuhku. Aku terisak mendengar jawabannya. Kupikir dia sudah berubah pikiran.
Sudah dua minggu Rei tidak menghubungiku. Aku takut dia tidak akan menikahiku. Tapi kucoba tetap tenang. Aku ingat perkataanya untuk tidak membahas sekarang. Mungkin dia masih memikirkan jalan keluarnya. Aku harus berusaha untuk meyakinkan dia menikahiku. Demi anakku tercinta. Aku tidak mau anakku lahir tanpa ayah.
Selama ini aku harus berjuang sendiri. Merasa mual, pusing dan semua yang ibu hamil rasakan. Bahkan aku sering izin tidak masuk kerja, padahal akulah karyawan ter rajin kalau masalah kehadiran. Teman-temanku mulai curiga tapi aku selalu mencari alasan. Untungnya mereka masih percaya padaku.
Tiba-tiba ada notif panggilan masuk di handphoneku. Rei.
?Kamu dimana?
?Aku di rumah.
?Kamu kenapa, apa kamu sakit?
?Tidak.
"Apakah dia dia pura-pura tidak tau kalau aku hamil? Batinku.
?Aku mau bicara denganmu
?Bicaralah, aku akan mendengarkan
?Tidak, aku mau langsung, aku akan ke kontrakanmu sekarang
?Kalau ingin memintaku untuk menggugurkan kandunganku, tidak perlu kemari. Sampai kapanpun aku tidak mau
?Tidak bisakah kita bicarakan disana?
?Baiklah
Tanpa menunggu, kumatikan telepon secara sepihak. "Apa dia akan menikahiku?" batinku seraya tersenyum.
Rei sudah sampai di depan rumahku. Aku membuka pintu dan melihat Rei menenteng kantong plastik yang berisi makanan dan buah-buahan. Kami duduk di sofa, tanpa basa-basi
"Apa yang ingin kamu bicarakan" tanyaku sedikit cuek namun sedikit berharap bahwa ini kabar bahagia.
"Boleh ambilkan aku minum?" tanyanya. Aku melihan kegugupan di wajahnya.
Aku berlalu dan mengambil minim untuknya. Rei menghabiskan minumnya hanya dengan sekali minum. Sudah terlihat jelas kalau dia sangat gugup. Apa sebenarnya yang ingin dia bicarakan denganku. Otakku mulai kacau. Aku berpikir macam-macam. Apakah dia akan membunuhku? Apakah dia akan memotong-motong tubuhku dan membuangku ke laut? Tidak tidak tidak, Rei tak mungkin melakukan itu, dia sangat mencintaiku. Kucoba menenangkan pikiranku. Rei menatapku tajam, membuatku takut dan semakin parno.
Rei melihat ke langit-langit, menarik nafas lalu membuangnya kasar dan kembali menatapku.
"Mari kita menikah" aku terkejut mendengarnya. Aku memeluknya. Aku bahagia.
"Bagaimana dengan orangtua kita? Tanyaku masih memeluknya.Dia melepaskan pelukanku dan menatapku dengan tatapan yang tak bisa diartikan.