BAB 1
"Apa?"
Wanita itu tampak terkejut mendengar penuturan ibunya. Tubuhnya tiba-tiba hampir merosot jika tidak memegang tepi kursi. Sedangkan dia merasakan lengan ibunya merangkul pundak dan menuntunnya untuk duduk di kursi.
"Apa El sudah tahu kabar ini?" tanya Laura masih dengan perasaan syok.
"Kami belum memberitahu El masalah ini," jawab Darinka dengan nada lemah. Kepalanya tertunduk. Dirinya yakin pasti putra sulungnya tersebut tidak akan percaya jika mendengar kabar kematian Violetta.
"Jangan beritahu dia."
Darinka serta Laura tertegun ketika mendengar suara Carlos yang tiba-tiba muncul di ruang makan.
"Cepat atau lambat, dia pasti akan tahu masalah ini. Apalagi dia sempat mengatakan padaku kalau nomer telepon Violetta sudah tidak bisa dihubungi sejak dua hari yang lalu."
Laura hanya diam mendengar ibunya membalas ucapan ayahnya.
"Jika El tahu, dia pasti akan langsung pergi ke Milan."
"Apa kau masih belum mengerti kenapa Nieve dan Enzo memberitahu kita kabar ini? Agar kita bisa berkunjung ke sana, Carl." Darinka memalingkan wajahnya, "Walaupun kabar itu sudah sangat terlambat bagi kita."
"Mamá benar, Pa. Lebih baik kita memberitahu El saja. Lagipula di antara keluarga kita, El yang paling dekat dengan Vio. Jika dia tahu masalah ini dengan sangat terlambat, El pasti akan merasa sangat kecewa."
Carlos menjadi diam ketika mendengar ucapan Laura. Dirinya memilih melanjutkan niatnya untuk mengambil minuman dari dalam lemari es karena ruangan dapur serta meja makan tergabung menjadi satu ruangan.
"Ma, aku pergi menemui El ya," pamit Laura.
"Ya, hati-hati di jalan," ucap Darinka.
Tanpa menunggu lama, Laura pun segera pergi keluar. Dirinya akan menemui Elmer di tempat kakaknya bekerja karena sudah beberapa hari ini pria itu tidak pulang ke rumah.
Laura pergi menggunakan mobil ayahnya. Membutuhkan waktu hingga dua puluh menit untuk sampai di rumah sakit tempat kakaknya bekerja. Sepanjang jalan Laura tidak berhenti memikirkan Violetta. Meskipun pertemuan yang terjadi di antara dirinya dan Violetta begitu singkat, tetapi dirinya yakin jika wanita itu adalah orang yang baik.
"Semoga kau bahagia di surga, Violetta," gumam Laura pelan.
Mobil yang dikendarai Laura pun memasuki halaman rumah sakit. Setelah memarkirkan mobil, Laura segera keluar dari dalam mobil. Langkahnya tertuntun menuju gedung rumah sakit di depannya.
Seiring langkahnya melewati lobi rumah sakit, Laura mencoba menghubungi Elmer untuk mengetahui keberadaan kakaknya sekarang.
"Kau sedang ada di ruangan apa sekarang?" tanya Laura dan mulai menaiki anak tangga menuju lantai dua.
"Kau ada di rumah sakit?" tanya Elmer menebak.
"Ya."
"Ada apa? Apa terjadi sesuatu dengan nenek?"
"Astaga, bisakah kau langsung menjawab pertanyaan ku? Kau ada di mana El?"
"Aku sedang ada di kantin," jawab Elmer.
"Okay, tunggu aku di sana," ucap Laura dan segera memutuskan sambungan teleponnya.
Tanpa menunggu lama Laura segera menyusul Elmer ke kantin. Sepanjang langkahnya, Laura mulai merasa bimbang. Dia tidak tahu apakah keputusannya memilih untuk memberitahu berita ini kepada Elmer benar atau tidak.
Sampainya di kantin, Laura melihat seorang pria berpakaian setelan warna biru itu sedang duduk di kantin. Tampaknya Elmer sedang menikmati waktu makan siangnya. Laura mematung di tempatnya sejenak sembari menatap lekat pada kakaknya. Hingga perlahan dia menarik napasnya dalam-dalam sebelum melanjutkan langkahnya.
"Hai," sapa Laura saat berada di hadapan Elmer. Dia duduk di kursi depan Elmer yang kosong. Tak lupa Laura menampakkan senyumnya agar Elmer tidak mencurigai apapun.
"Hai," balas Elmer dan kembali menyantap makanannya.
"Sudah lama kau tidak pulang ke rumah," ucap Laura memulai percakapan.
"Ya, banyak sekali pasien sampai aku tidak sempat waktu untuk pulang," jawab Elmer.
Laura menganggukkan kepala. Beberapa hari yang lalu sempat terjadi kecelakaan beruntun yang lokasinya cukup dekat dengan rumah sakit tempat Elmer bekerja. Sehingga sudah dipastikan kakaknya sangat sibuk beberapa hari terakhir.
"Nenek tidak berhenti menanyakan mu. Dia mengatakan kalau mungkin saat ini kau sudah mempunyai kekasih sampai tidak ingat jalan pulang ke rumah," ucap Laura berbohong. Dirinya mengatakan itu hanya sekedar menghibur kakaknya.
Elmer hanya tertawa kecil mendengar candaan Laura. "Aku sempat melihat kekasihmu di sekeliling rumah sakit," celetuk Elmer.
"Ya, Miki mengatakan padaku kalau temannya ada yang ikut kecelakaan beruntun," jawab Laura.
"Siapa nama kekasihmu?"
"Michele Crosby," jawab Laura.
Elmer menganggukkan kepala tanda mengerti. Kini dia sudah menghabiskan makanannya dan memusatkan perhatian pada Laura.
"Sepertinya ada sesuatu yang ingin kau katakan. Tidak mungkin kau datang ke sini hanya untuk mengobrol hal yang tidak penting," ucap Elmer.
Laura tertegun. Senyum yang sejak tadi dia tampakkan di depan Elmer perlahan menghilang. Laura menundukkan tatapannya sekilas dan kembali menatap Elmer.
"Lebih baik kita bicara di tempat lain," pinta Laura.
"Baiklah," balas Elmer mengiyakan. Keduanya pun bangkit dari atas kursi.
Laura menunggu Elmer meletakkan peralatan makan bekasnya di meja panjang yang sudah tersedia. Dia pergi dari kantin bersama Laura. Mereka beriringan melewati koridor kantin. Laura memintanya berbicara di tempat yang lebih nyaman sehingga Elmer membawanya menuju taman rumah sakit.
Di taman itu terdapat beberapa pasien. Mulai dari yang duduk di kursi roda bersama keluarganya, menikmati suasana taman bahkan ada beberapa pengunjung pasien yang berada di taman. Melupakan aroma rumah sakit yang memenuhi rongga hidung mereka.
"Apa ... Vio sudah ada kabar?" tanya Laura membuka obrolan serius di antara mereka.
"Aku belum menghubunginya lagi. Apa Vio menghubungimu?" tanya Elmer tetapi seketika dia menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin. Aku ingat kalau Vio hanya mempunyai nomer teleponku."
Laura terdiam. Dia hanya menipiskan bibirnya saat melihat kakaknya menyangkal pertanyaannya sendiri. Elmer memilih duduk lebih dulu di salah satu kursi taman yang kosong. Lalu disusul oleh Laura yang duduk di samping kanannya.
"El," panggil Laura.
Elmer menoleh ke arah adiknya. "Ya," jawabnya.
"Kau tahu kan ... Kau setiap hari menyaksikan orang yang meninggal di rumah sakit ini. Kalau .... " Laura memberi jeda pada ucapannya. Dia menarik napasnya dalam-dalam untuk menghilangkan keraguan yang menyelimutinya. Elmer harus mengetahui keadaan Violetta yang sekarang agar kakaknya tidak terus menunggu kabar darinya.
"Laura, apa terjadi sesuatu?" tanya Elmer dengan tatapan mengawasi. "Apa nenek baik-baik saja?"
"Nenek baik-baik saja, El."
"Lalu?"
"Sebenarnya ... Violetta ... Dia—"
"Apa terjadi sesuatu dengannya? Apa Vio datang ke sini?"
Laura mematung saat pertanyaan terakhir dari Elmer terdengar oleh kedua telinganya. Kepalanya menggeleng membuat Elmer mengernyitkan kening.
"Laura katakan dengan jelas. Ada apa dengan Vio?"
Laura menundukkan kepala. Dia memejamkan kedua matanya karena tidak berani untuk mengatakannya dan bertatapan langsung dengan Elmer. Laura dapat mengetahui sebesar apa rasa khawatir kakaknya terhadap wanita yang belum lama ini hadir di dalam kehidupan mereka.
"Violetta ... dia meninggal sejak dua hari lalu," jawab Laura dengan nada suara yang sangat pelan.
Elmer mematung. Tidak ada respon apapun dari pria itu selain diamnya. Seolah jantungnya dicabut hidup-hidup, Elmer tidak dapat mengatakan apapun. Dalam sekejap airmatanya menetes. Kalimat Laura tidak dapat dia dengar dengan jelas setelah itu. Indra pendengarnya seolah dipenuhi oleh suara Violetta sedangkan matanya seperti bertatapan langsung dengan wanita itu.
"El." Laura terus memanggil kakaknya. Bahkan tangan Laura menggoyang-goyangkan lengan Elmer untuk menyadarkan kakaknya dari lamunan. Laura semakin cemas karena tatapan Elmer berubah kosong.