Laki-laki asing

1334 Words
Awan mendung menggantung jelas di langit, berhadapan langsung dengan luasnya lautan yang membentang. Semilir angin membawa dingin menembus gamis yang sedang kukenakan. Aku masih belum sepenuhnya yakin, apa yang sebenarnya sedang terjadi? Ada beberapa hal yang perlu diurutkan secara sistematis dengan hasil dramatis. 1. Aku sedang jatuh cinta. 2. Kami tidak direstui. 3. Aku hamil. 4. Dia pergi. 5. Hidupku berantakan. Aku akan bunuh diri. Aku memutar kepala ke arah ayunan di sampingku. Laki-laki yang duduk di atasnya menaikkan kaki ke atas kaki lainnya. Dia tampaknya menerawang ke lautan di depan kami. “Aku Al, Alfarisi,” ucapnya tanpa mengalihkan pandangan. “Qiya. Sidqiya.” “Namamu cantik, secantik parasmu. Tapi tak seindah mantanku.” Aku tak bisa menahan diri karena dibandingkan dengan mantannya. Kuperhatikan, dia juga lebih menawan daripada mantanku yang b******n. Satu kata tentang mantan membuatku ingin mengamuk saja. Meluapkan semua kekesalan yang tak bisa dituntaskan. Aku harus marah kepada siapa selain diriku sendiri? Dan aku sudah memarahi diri sendiri lebih dari sebulan terakhir. Jadi, aku sudah harus menerima kenyataan betapa bodohnya aku. “Qiya,” ucapnya kepada butiran pasir putih di bawah kakinya. Kemudian, secara tak terduga dia memandangku, “Qiya.” Panggilannya serupa angin, lembut tapi juga dingin. “Kenapa mengganggu rencana kematian indahku?” tanyaku akhirnya. “Kamu memintaku menyelamatkan hidupmu?” “Kenapa aku mengganggu rencana kematian indahmu?” ulangnya mencermati setiap kata dengan penekanan. Dia memandangku, “Aku perlu teman cerita yang mengalami sepertiku. Rasanya aku belum mau mati. Aku ingin balas dendam, atau hidup bahagia setelah dicampakkan. Salah satu saja. Aku bukan orang serakah yang banyak keinginan.” Apa yang kuinginkan? Entah, apa yang kuinginkan. Mungkin sesuatu yang mustahil. Seperti, utuhnya selaput dara. Dan kondisi tidak berbadan dua. Hanya itu. Apa aku serakah? “Sakit rasanya ketika kita mencintai sepenuh hati tapi dia pergi dengan senang hati. Padahal aku baik, dan banyak yang suka padaku. Kenapa dia yang pergi? Jual mahal begitu harusnya akan ada penyesalan nanti dikemudian hari.” “Kamu pendendam,” komentarku menarik kesimpulan. Dia menggeleng cepat dan tegas. “Ini kali pertama harga diriku dilukai. Sebulan di sini masih terasa perihnya. Aku punya darah Bangka, tapi tinggal lama di Pulau Jawa setelah Ibu pindah ke Ibukota.” Dia mengamit lenganku dengan sikunya yang telanjang, “Mau jadi istriku?” Aku tertegun beberapa saat. Kalimat lamaran dari laki-laki asing yang sangat mudah diperdengarkan. Tanpa menunggu waktu setengah tahun perkenalan. Tanpa harus mempertimbangkan masalah rumit tentang uang, titel pendidikan, keluarga dan pekerjaan. Dia Al, bukan El. “Tadinya kita berencana mati dengan indah. Bukan begitu?” “Rencananya, tapi kenyataan yang akan orang-orang lihat pasti menyedihkan.” Dia menyentuh rambut di kepalanya, “Otakmu pasti masih sehat. Bayangkan. Tajuk utama koran besok. Ditemukan, seorang gadis malang meninggal mengenaskan karena patah hati, misalnya.” “Patah hati?” Aku tertawa. Ajaib sekali mendengar nada serupa presenter yang dipakainya. “Miris kalau itu alasanmu mau bunuh diri. Tapi, aku sama saja.” Dia bangkit. “Sudahlah. Aku tak mau mati hari ini. Aku mau cari perempuan lain yang mau jadi istriku. Kalau mau melanjutkan keinginanmu, tunggu besok. Aku tak mau berurusan dengan polisi dan dimintai keterangan. Nanti aku terkenal. Kasian mereka yang tak tahu apa-apa jadi suka terhadapku.” Entah dia memang aneh, atau bagaimana. Aku tak paham. Mulutnya berbicara apa saja seperti kendi yang bocor mengeluarkan air. “Mau kuantar?” tawarnya terdengar biasa saja, seolah sebelumnya masalah kami hanya karena mie instan yang terlambat disantap bukan perkara beratnya hidup. Sekali lagi. Manusia aneh di bumi menemuiku. Dunia atau aku yang begitu berbeda? Rasanya tak banyak orang yang salah menempatkan cinta. Apalagi dengan usiaku yang dua puluh enam tahun. Harusnya aku sudah melihat dunia dengan kacamata dewasa. Seperti kata Ibu, aku bukan anak lulus SMA yang baru mengenal cinta sampai melupakan akal sehat. Tapi, kenyataannya aku berbadan dua, ditipu laki-laki dengan dalih cinta. Mabuk kepayang seperti anak-anak yang belum matang pemikirannya. “Qiya,” panggil suara asing itu lagi. Aku melihatnya. Seorang laki-laki yang tampan berdiri di depanku. Kaos lengan pendek dengan celana panjang hitam. Dia melamarku. Lamaran dari seseorang yang putus asa, kepada orang yang juga sedang putus asa. “Kamu punya darah Bangka?” “Iya, nenekku dari pihak Ibu. Beliau sudah meninggal, makamnya di sini. Dulu kami kadang berkunjung kalau lebaran, tapi aku tak kenal dekat satu pun yang sedarah denganku di sini. Sepupu, paman atau pun bibi.” Aku tak peduli tentang keluarganya. “Kenapa cari istri?” Dia berkecak pinggang, “Untuk menunjukkan padanya, kalau aku gak akan mikirin dia atau patah hati. Aku harus menikah lebih dulu daripada dia dan laki-laki selingkuhannya itu.” Dia berdiri tegak, lebih tenang dari sebelumnya. “Coba perhatikan aku. Wajahku tampan. Badanku bagus dan sehat. Ya, kan? Kamu berbohong kalau bilang sebaliknya atau mengatakan aku biasa-biasa saja.” Aku berhasil tertawa lagi. “Sudah sebulan aku tak tertawa. Kamu sangat menghibur.” “Tolong jangan anggap aku hiburan. Aku bisa jadi penyelamatmu. Berlaku sebaliknya.” Dia berubah serius, memasukkan tangan ke kantong celana. “Apa masalahmu?” “Aku hamil,” jawabku tanpa beban. Tanpa takut kecaman atau rasa malu lagi. Aku tadi berniat mati, niat itu lebih memalukan daripada kenyataan memiliki bayi di luar akad pernikahan. Tuhan pasti mengirimku ke neraka segera kalau aku benar-benar mati bunuh diri. “Serius?!” “Ya.” “Bukan, kamu bukan hamil.” Ekspresinya yang semula tercengang berubah meremehkan. “Kamu bodoh. Kenapa sih perempuan?! Cantik dan bodohnya satu paket.” Meskipun dia mengataiku, aku juga tertawa. Kalimat-kalimat ajaibnya sungguh menghibur. “Hidupmu pasti berat. Kalimat jahatku saja bisa membuatmu tertawa begitu lepasanya. Sini, aku ringanin hidupmu itu.” Dia menarik tanganku, lalu seketika melepasnya lagi. “Hei! Kamu punya aliran listrik ya? Kok aku kesetrum sih?” Aku tertawa lagi, sampai keram rasanya otot wajahku karena tak bisa menahannya. Sudah lama sekali aku tak tertawa selega ini, tanpa pura-pura atau tertekan melakukannya. “Udah ketawanya?” Dipandangi sedemikian rupa membuatku tak nyaman juga. Aku berdeham mengendalikan diri. “Kenapa kamu tertawa?” Aku mengalihkan pandangan ke pantai dan menggeleng saja. “Jangan jatuh cinta padaku, itu akan jadi penyesalan yang lebih besar daripada kehamilanmu itu,” ucapnya serius. Aku sama sekali tak bisa paham dengan manusia ajaib yang Tuhan kirimkan di sebelahku ini. Dia punya potensi sempurna untuk membuatku atau siapa pun jatuh cinta dalam hitungan menit. “Kenapa tak boleh?” “Karena aku sedang patah hati. Aku gak bisa jatuh cinta sama kamu juga.” Rasional sekali. “Terus, menikah?” “Sepertinya kita sama-sama paham kalau hal itu hanya sekedar status saja. Kita bisa berteman.” “Lalu, kalau cinta tiba-tiba hadir?” Kami saling bertatapan. Sepertinya kemungkinan itu belum pernah terlintas di pikirannya. Aku tersadar satu hal lainnya, matanya begitu indah. Bola mata hitam bening yang jernih, seperti mata suci para bayi. Apa benar dia punya masalah? Dia tiba-tiba mengangguk, “Itu mungkin saja. Tapi kita akan bercerai sebelum hal itu jadi kenyataan.” Aku mengayunkan diri sehingga dia menyingkir. “Aku ingin menikah tapi tak ingin bercerai.” Itu seratus persen kebenaran. Aku tak ingin anak-anakku mengalami semua hal yang pernah kurasakan dulu. “Jadi, selamanya kamu ingin bersamaku?” Dia mengerjap beberapa kali. Sangat polos ekspresinya. “Belum menikah saja kamu sudah jatuh cinta. Laki-laki jahat itu sepertinya benar-benar bajin-gan, menyia-nyiakan perempuan sepolos kamu.” “Aku gak polos,” sahutku segera. Aku memijak bumi, menghentikan ayunan seketika. Aku hanya... “Cuma bodoh aja,” tambahnya sarkas. Aku tertunduk, mengangguk dalam. Sepertinya sangat jelas, aku memang bodoh dan sangat bodoh. Tiba-tiba kakinya mendekat, tangannya terangkat memegang daguku. Kami bertatapan lebih dekat dan dalam. Rasanya seperti aku tenggelam dalam mata itu, yang ternyata bercorak cokelat diantara tepi warna hitamnya. “Kenapa aku punya keinginan untuk menciummu?” tanyanya selembut bisikan. Aku melotot, tersadar kalimatnya tapi terlambat, sesaat kemudian dia benar-benar mewujudkannya. Aku lekas mendorongnya menjauh, dia malah merangkulku, semakin menikmati kegiatannya yang tiba-tiba. Kemudian dia melepaskan, mengangguk dengan senyum lebar. “Tak bisa dihindari. Kita memang perlu menikah.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD