Setelah mendapatkan tempat yang dirasanya cocok untuk membicarakan hal yang serius, Shania langsung mengambil handphone-nya yang berada dalam tad, berlanjut menyerahkan handphone tersebut kepada laki-laki yang sedari tadi menunggu apa yang akan ia tunjukkan padanya.
"Coba Tuan perhatian tangan wanita yang melambai pada Andi," ucap Shania menjurus pada video yang sedang ia tunjukkan.
Setelah Jean menerima benda pipih tersebut, langsung saja laki-laki itu memerhatikan dengan seksama sebuah video yang diputar. Dipertengahan menonton, keningnya menggerenyit.
"Bukankah ini ...." Jean menjeda kalimatnya dan Shania langsung menyambungnya.
"Gelang itu adalah gelap merek ternama. Dan jumlahnya hanya ada tiga cetakan di dunia. Salah satu dari tiga orang yang memiliki gelang tersebut adalah orang yang kita kenal." Terbiasa dengan hidup gelamor menjadikan Shania tahu tentang barang-barang bermerek ternama, malahan gadis itu juga suka mengoleksi barang-barang seperti itu.
"Dan, saya pernah membelikannya untuk seseorang," ucap Jean, melanjutkan. Dia hampir tidak percaya dengan fakta yang ada di hadapannya sekarang ini. Ketahuilah bahwa fakta tersebut terasa menusuk hatinya.
Mengerti tentang apa yang sedang Jean rasakan sekarang, Shania langsung saja memegang bahu laki-laki itu untuk menguatkan. "Tuan, ini baru tebakkan kita saja. Kita gak tahu kebenaran yang sebenarnya seperti apa. Jadi, Tuan jangan sampai down karena Andi sedang membutuhkan Tuan sekarang. Andi adalah prioritas utama kita. Terlepas siapakah pelaku penculik yang sebenarnya, kita hanya perlu menangkapnya sesegera mungkin."
Jean terlihat menghela napas, ia rasa ucapan Shania itu benar. Anaknya Andi sekarang sedang dalam bahaya, apapun alasannya ia tidak boleh membawa perasaanya di sini. Sehingga, laki-laki itupun mengiyakan ucapan Shania barusan.
Keduanya sekarang sudah sama-sama paham dengan masalah yang sedang mereka hadapi. Tidak ingin tinggal diam setelah menemukan fakta tersebut, Shania mengajak Jean menyusun rencana untuk menangkap sang pelaku.
*****
"Ada apalagi sih?" Bella bertanya kepada lawan bicaranya di telepon menggunakan nada kesal, hal itu terlihat jelas dari raut yang terpatri pada wajah.
"Hal sekecil ini ngapain pake nanya ke aku segala, masa kamu gak bisa mikir sendiri sih," balasnya ketika mendengar pengaduan dari lawan bicaranya.
"Kalau dia gak mau, ya dipaksa dong. Gitu doang dibikin repot, aku gak mau ya kalau cuma gara-gara ini lalu berpengaruh sama rencana kita."
Kening wanita itu semakin menggerenyit kala mendengar balasan dari seberang telepon. "Iya, iya. Aku usahain bentar lagi buat balik ke sana, tapi kamu harus jagain dia jangan sampai ada masalah, oke," putus Bella yang setelah itu langsung mematikan sambungan teleponnya.
Saat wanita itu berbalik hendak keluar dari kamar mandi, jantung wanita itu seketika berdegup kencang tidak seperti biasanya.
"Ciahhh lagi nelpon selingkuhannya ya, kok nelpon sembunyi-sembunyi kayak gini. Lama lagi," ucap seorang gadis yang baru saja akan masuk ke dalam kamar mandi bertepatan dengan Bella yang hendak keluar.
Gadis yang bernama Fika itu menatap Bella dengan sebuah senyuman sembari alisnya diturun naikkan. Sedangkan Bella masih saja senam jantung, pikirnya apakah gadis di hadapannya ini barusan mendengar pembicaraannya di telepon. Kalau memang benar, hal itu bisa gawat.
"Lahh ... Mukanya kok pucat pasi, pasti tebakan gua benar. Lo pasti lagi selingkuh, 'kan. Gua laporin sama Kak Jean ahh," ucap gadis itu sembari membalik badannya secara perlahan.
"Jangan!" Seru Bella sembari menahan tangan Fika, agar langkah gadis itu terhenti.
"Takut ya," goda Fika dengan nada mengejek.
Mendengar perkataan Fika barusan, Bella jadi berpikir. Kalau Fika memang mendengar perbincangannya dalam telepon tadi, seharusnya respons gadis itu tidak seperti ini. Fika seharusnya sangat marah padanya dan langsung mengadu pada polisi tanpa perlu membuang waktu untuk mengancam dirinya seperti sekarang ini. Bella sangat tahu sifat Fika itu bagaimana, gadis yang selalu mengatainya cewek matre dan tidak menyetujui hubungannya dengan Jean itu tidak akan mungkin tinggal diam jika sudah tahu fakta yang sebenarnya.
Seketika itu Bella langsung melepaskan tubuh Fika yang dipegang olehnya tadi. "Heii anak kecil, berani ya Lo nuduh gua kayak gini," ucap Bella dengan nada meninggi.
Fika seketika tertawa garing. "Kalau memang gak ngelakuin ngapain pake marah-marah segala, apa jangan-jangan Lo beneran selingkuh ya."
Deg
Perkataan Fika barusan langsung ngena di hati Bella. "Lo anak kecil, jangan ikut campur sama urusan orang dewasa," ucap Bella berusaha menampik perkataan Fika barusan walau sebenarnya itu adalah kenyataannya. Wanita itu langsung saja beranjak dari sana setelah menerjang bahu Fika yang menghalangi jalannya. Untungnya Fika refleks untuk menghindar.
"Eitttt ... Tunggu dulu dong. Masa main kabur gitu aja." Fika ternyata tidak mau membiarkan mangsa empuknya itu untuk pergi begitu saja, sehingga ia menahan langkah Bella dengan cara menarik tangannya.
"Gua bilang jangan ikut campur sama urusan orang dewasa, dasar bocil" ucap Bella sekalian mengatai Fika.
"Gak dipamerin kayak gitu, gua juga tahu kalau Lo itu udah TU-A dan apa tadi, Lo berani nyebut gua bocil? Gua kasih tahu ya, segala urusan yang menyangkut tentang Kak Jean itu adalah urusan gua juga."
Bella seketika memutar bola matanya, ia tidak ingin terpancing oleh Fika. Karena bisa gawat kalau amarahnya beneran berhasil terpantik oleh anak itu. Bella teringat kalau ia harus segera beranjak dari sini agar bisa pergi menemui seseorang yang sedang menunggu kehadirannya. Untuk membebaskan diri, sebisa mungkin ia melepaskan tangannya dari Fika dan langsung beranjak dari sana tanpa menoleh lagi kepada gadis itupun.
"Terserah Lo, Bocil." Hanya kalimat itu yang Bella tinggalkan sebelum ia benar-benar pergi dari sana.
Sedangkan Fika cuma cengengesan saja, menampilkan salah satu gigi taring yang terlihat jelas. Entah kenapa, tapi Fika rasa ia memang menyukai kalau Bella berhasil ia buat marah seperti itu.
"Dahh... Gua laporin ya."
Saat Bella sudah berada di depan dan hendak pergi, wanita itu mendadak menghentikan langkahnya sembari melihat sesuatu dengan alis yang menggerenyit karena ia tidak menyukai itu. "Lohh ... Ngapain balik lagi. Ngak ngerti bahasa manusia ya," ucapnya dengan nada tidak suka ketika melihat Jean berjalan beriringan dengan Shania, gadis yang beberapa jam lalu sudah ia usir dari sini.
Seketika itu, Jean dan Shania juga ikutan berhenti berjalan. Keduanya saling melempar pandang. Pandangan Shania mengisyaratkan agar pria itu tetap tenang, sedangkan pandangan Jean seolah-olah ia mengiyakan isyarat Shania barusan.
"Aku yang membawanya kembali," ucap Jean, membela Shania.
Seketika itu raut di wajah Bella berubah sangat masam. "Mas, kok kamu jadi dukung dia sih. Udah aku bilang 'kan, Andi menghilang itu gara-gara dia. Jadi, kamu gak perlu lagi nampung dia, harusnya kamu itu usir dia jauh-jauh," ucap wanita itu.
Jean menghela napas. "Bella jangan kekanak-kanakan seperti ini. Kamu tahu sendiri kalau ini semua bukan salahnya Laras, jadi Laras gak harus nanggung akibatnya," bela laki-laki itu.
"Mas ka—"
Dirt ... Dirt ...
Dering handphone yang ada di dalam tas Bella yang berbunyi, berhasil memotong kalimat wanita itu. Belum menghilangkan rasa kesalnya, Bella langsung merogoh handphone tersebut. Melihat nama yang tersemat di layar benda pipih tersebut, segeralah Bella mematikan panggilan dan memasukannya kembali ke dalam tas.
"Mas, aku ijin keluar bentar dulu. Aku baru dapet kabar dari sepupu aku kalau anaknya yang kecelakaan kemarin udah sadar dari koma. Aku mau jenguk dia bentar, abis itu aku bakalan balik lagi ke sini," ucap Bella dengan begitu lembut seakan lupa kalau sebenarnya ia tadi sedang kesal.
"Mau aku anterin," tawar Jean.
Mendengar tawaran Jean barusan membuat Bella langsung menggeleng-gelengkan kepalanya. "Gak usah, aku bisa sendiri kok. Lagian aku ngerti kalau kamu juga 'kan harus fokus untuk menemukan Andi. Aku gak mau fokus kamu nanti jadi keganggu," tolak Bella dengan cepat dan dibalas anggukan pelan dari Jean.
"Ya udah, aku permisi dulu, ya." Wanita itu segera berlalu, meninggalkan tatapan menyeringai pada saat ia melintasi Shania.
Setelah punggung wanita itu menghilang di balik pintu keluar, Shania dan Jean seketika saling bertemu pandang.
"Sekarang waktunya," kata Shania.
"Iya," balas Jean.
"Lohh ... Sha—Laras. Lo tadi dari mana aja?" tanya Fika yang baru saja muncul. Hampir saja tadi ia memanggil Shania dengan nama aslinya, kalau dia tidak cepat sadar keberadaan Jean di sana.
"Ikut gua." Tanpa terlebih dahulu menjawab pertanyaan sahabatnya, Shania segera meraih tangan gadis itu untuk di bawanya pergi ke suatu tempat.
"Tunggu dulu, kita mau ke mana?!" Fika tampak masih bingung dengan Shania yang menariknya. Sedangkan Jean sendiri juga beranjak dari sana untuk mengurusi bagian tugasnya yang sudah mereka rencanakan sedari awal.