Shania Dijahili Oleh Andi

1121 Words
Sampai detik ini, setelah shania berhasil melewati beberapa jam-nya menjadi seorang pengasuh, ia tidak bertemu dengan persoalan yang dianggapnya memberatkan. Hanya saja, kejadian tentang foto tadi masih terngiang-ngiang jelas di benaknya. Bukan tentang cara pak Orman yang menegurnya, melainkan sikap pak orman yang menegurnya lah seperti seolah-olah ada alasan yang kuat untuk tidak menjawab pertanyaan Shania. Di mana ibu Andi dan siapa laki-laki yang ada di dalam foto itu masih Shania pikirkan keberadaannya di mana. Sampai-sampai, Shania juga sempat memikirkan apakah sebenarnya Jean itu adalah suami baru dari ibu Andi makanya umur Jean masih kelihatan muda karena ia adalah seorang brondong yang dinikahi oleh ibu Andi dan bukan ayah kandung dari Andi, tapi kalau memang begitu kenapa ibu Andi belum kelihatan sampai sekarang. Shania benar-benar ingin menemui wanita itu, wanita yang sangat beruntung karena bisa mendapatkan pria seperti Jean. Shania menarik nafas dalam-dalam, ia tersadar. Tidak seharusnya ia mengurusi kehidupan Jean terlalu jauh. Semua uluran tangan yang pria itu berikan padanya, seharusnya sangat cukup untuk membuat dirinya tahu diri. Sekarang ini, gadis itu tengah sibuk menyusun pakaiannya yang ada di dalam koper untuk disimpankan ke lemari berukuran kecil yang memang tersedia di kamar yang ia tempati. Meskipun kamar yang Shania dapatkan hanya menyediakan kasur kecil, lemari kecil, tidak ada jendela penghubung ke dunia luar, dan tidak ada kamar mandi yang tersedia di dalam, yang artinya adalah tidak se-wahhh kamar yang ia tinggalkan di rumah mewah kediamannya, Shania sama sekali tidak merasa merugi atas banyaknya kekurangan itu. Setidaknya dengan ia tetap berada di sini, ia tidak perlu khawatir tentang perjodohan yang ayahnya paksakan untuknya. "Baby." Kegiatan mengemas yang Shania lakukan terhenti, tatkala ia mendengar suara khas anak kecil yang memanggilnya. Shania berbalik, mendapati Andi yang berdiri di ambang pintu kamarnya. Anak itu menatap Shania dengan tatapan penuh arti dan itu membuat salah satu alis Shania terangkat. "Iya, kenapa, Tuan Muda?" Tanya Shania sembari bangkit dan berjalan menghampiri anak majikannya itu. Mengenai pemanggilan nama, pak Orman memang meminta Shania memanggil majikan mereka dengan sebutan itu karena itu adalah sebuah keharusan untuk seorang pelayan. Tanpa penolakan, Shania langsung menuruti kata pak tua itu. Andi tidak menjawab pertanyaan Shania menggunakan kata-kata, melainkan hanya membuat tangannya melambai secara vertikal ke arah Shania, mengisyaratkan agar Shania mengikutinya pergi. Mau tidak mau, Shania harus menuruti permintaan anak itu, bukan masalah Andi adalah anak yang membuat ia bisa mendapatkan pekerjaan ini melainkan lebih kepada rasa penasaran Shania akan apa yang anak itu ingin tunjukan padanya. Itu saja. Shania berjalan di belakang Andi, tidak terlalu jauh, hanya terpaut kurang dari satu meter saja. Anak itu menuju ke arah belakang rumah, Shania terus mengikutinya. "Sebenarnya kita akan kemana?" Tanya Shania yang tidak cukup mampu untuk menahan rasa keingintahuannya. "Sttt ... Ikut aja," kata Andi yang memang tidak sedikitpun ingin menuntaskan rasa penasaran yang dimiliki oleh Shania. Sambil menghela nafas, Shania terus berjalan menjadi pengikut anak itu. Shania tidak lagi melangkah tepat setelah Andi yang terlebih dahulu berhenti di depan pintu gudang yang terletak di luar rumah. Andi kemudian berbalik, menatap Shania dan tersenyum seolah-olah mengejek Shania. Gadis itu kian bingung akan sikap Andi yang dirasanya aneh. "Sekarang apa?" Tanya Shania, tapi Andi belum juga memberinya jawaban sepatah katapun. Anak itu masih mempertahankan senyum yang ia tampakkan di awal. "Kalau gak ada apa-apa. Saya pergi aja ya, masih banyak kerjaan di dalam yang harus diselesaikan," kata Shania, ia sudah merasa jengah. Namun saat ia berbalik, Andi malah mencekal tangannya. "Tunggu dulu. Aku bisa minta tolong gak, Kak?" Shania berbalik, memandangi Andi. Betapa terkejutnya gadis itu ketika tahu kalau Andi tengah menatapnya dengan tatapan memelas, seperti anak kecil yang tengah meminta dibelikan eskrim. Tunggu dulu, jangan-jangan anak itu beneran ingin eskrim. "Kenapa? Kamu mau eskrim?" Tanya Shania. Andi menggeleng, lalu salah satu jarinya menunjukkan ke dalam pintu gudang yang sedikit terbuka. Mata Shania pun mengikuti titik di mana jari itu menuju. "Aku pengen banget main sepak bola, tapi bola nya ada di dalam sana. Kakak bisa 'kan ambilkan bola itu buat aku? Soalnya aku takut masuk sendirian ke dalam," lanjut Andi, meminta. "Kenapa harus takut?" Tanya Shania keheranan, ini masih sangat siang dan lagi suasana di dalam gudang tidak gelap-gelap amat. Aneh saja, Andi yang terlihat seperti jagoan bisa loyo hanya karena hal itu. Andi tidak menjawab, ia menatap Shania dengan mata berkaca-kaca. Melihat itu, tak 'kan mungkin Shania bisa menolaknya. Shania melangkah ke dalam, sementara Andi menunggu di luar. Saat Shania mendorong pintu tersebut agar terbuka lebar dan supaya tubuhnya bisa masuk, saat itulah sebuah ember berisi tepung jatuh menimpa dari atas kepalanya. Tubuh Shania langsung dipenuhi oleh taburan bubuk putih itu, sudah seperti adonan yang siap untuk diuleni. Shania masih syok dengan kejadian tak lebih dari tiga detik itu. Otaknya masih berada di dalam proses menelaah semuanya. Saat mendengar suara tawa dari Andi, ia perlahan memutar tubuhnya. melihat penampilan Shania, tawa anak itu semakin pecah dan menggelegar "Hahahahahah ... Kak Laras udah kayak badut. Haha ...," kata anak itu dengan masih dalam keadaan tertawa. Darah Shania seketika mendidih, tentu saja ia marah. Menyadari kalau ia telah dikerjai oleh seorang anak kecil, membuat hati Shania menolak untuk menerima fakta tersebut. Ia melangkah, hendak menangkap Andi. "Stop! Tunggu dulu!" seru Andi dan berhasil membuat Shania mendadak berhenti. Anak kecil itu berjalan mendekati Shania, setelah berdiri di hadapan Shania ia merogoh saku celananya. Shania memerhatikan aksi anak itu dengan teliti. "Dapat," kata anak itu. Dari dalam saku celananya, ia pun mengeluarkan sebuah bola kecil berbentuk mirip bola pingpong namun berwarna merah. Andi lalu meminta Shania untuk menunduk, Shania yang masih belum mengerti mengikuti begitu saja arus yang Andi buat. Tangan Andi terulur menuju hidung Shania yang mancung. "Nahh ... Sekarang baru beneran mirip kayak badut. Hahahaha ... Daripada jadi babysitter Andi mending kak Laras jadi badut aja, cocok banget tahu," ucapnya dengan tertawa renyah. Shania langsung meraba-raba hidungnya yang sudah ditempeli Andi menggunakan bola merah itu. Seketika itu, Shania menyadari kalau lagi-lagi ia telah dikerjai oleh Andi dalam waktu dan tempat yang sama. "Andi!" "Kabur! Ada badut ngamuk!" Anak laki-laki itu langsung melarikan diri ketika Shania bersiap-siap menangkapnya. Seperti bermain kejar-kejaran, Shania sedikit kepayahan menangkap Si kecil-kecil cabe rawit itu lantaran dibebani oleh rasa kotor yang hinggap pada tubuhnya. Andi memutari halaman belakang yang luas, saat melintasi kubangan lumpur di depannya, anak itu dengan gesit berhasil melompat sampai ke seberang. Sayangnya, itu lah nasib s**l kedua bagi Shania. Karena terlalu fokus memerhatikan arah Andi hendak lari ke mana, Shania jadi gagal fokus terhadap kubangan lumpur itu. Shania terjerembab, posisi wajahnya terbenam sempurna pada genangan tanah pekat berair itu. Andi berhenti, berbalik menatap Shania, "Hahahah ... Si Badut ganti topeng. Hahahah ...." Tentu saja, musibah yang menimpa Shania menjadi hiburan yang sangat mengocok perut Andi. Anak itu tertawa ngakak tanpa berpikir untuk membantu Shania bangkit.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD