Mama?

1185 Words
"Mama?!" Teriak Shania dengan lantang berusaha menghentikan kepergian ibunya itu. Namun, Shania tersadar kalau sebenarnya teriakannya itu sama sekali tidak terwujud dalam dunia nyata. Kegelapan itu seketika musnah, seakan memang tidak pernah ada. Mata gadis itu perlahan terbuka lalu berkedip-kedip beberapa kali, menyesuaikan cahaya yang sekarang sudah bisa ia nikmat. Kening gadis itu menggerenyit, merasakan keanehan karena sekarang ini ia sudah berada di sebuah ruangan yang bernuansakan warna putih gading. Aroma obat-obatan juga menyeruak dengan begitu bebasnya sampai bisa tercium oleh hidup bangir milik gadis itu. Sekilas Shania melihat punggung seseorang yang seperti baru saja beranjak dari ruangan ini dan punggung tersebut seperti milik seseorang yang sangat familier. Namun, bukan itu masalah utamanya. Pertanyaan di manakah sekarang ia berada terus terngiang-ngiang dalam otak gadis itu. "Gua gak lagi di surga, 'kan?" Tanyanya pada dirinya sendiri. Gadis itu lalu mencoba mengeser tubuhnya ke kanan, akan tetapi pergerakan itu malah menyebabkan tangan kirinya menjadi sangat nyeri. Seketika itu ia pun tersadar kalau ternyata tangannya itu sedang dipasang infus, berurutan dengan itu Shania juga menjadi tersadar kalau sebenarnya dirinya ada di dalam rumah sakit bukan seperti yang ia pikirkan tadi kalau ia ada di surga yang artinya dirinya telah meninggal. Mulutnya juga terlihat terpasang alat bantu pernapasan. Entahlah, Shania tidak tahu apakah ia harus bersyukur dengan hal itu karena sebenarnya ia tidak ingin pisah dengan ibunya. Gadis itu terdiam sesaat, memikirkan bagaimana bisa ia sudah berakhir di rumah sakit. Sontak ia pun menerimanya jawabannya. Ia teringat tentang kebakaran besar yang di alaminya semalam. "Ahhh ... Iya, Andi," ujarnya. Shania terlihat celingak-celinguk, tapi tidak ada satupun orang di sekitarnya. Ia ingin mengetahui bagaimana kabar tentang Andi yang juga mengalami kebakaran sama sepertinya, tapi tidak ada orang yang bisa ia tanyai. Kemudian, gadis berpakaian pasien rumah sakit itu melepas selang oksigen yang menutupi mulut serta hidungnya sekaligus. Setelah itu ia mencoba ia mencoba untuk bangun dari ranjang tidur. Walaupun sedikit kepayahan, gadis itu tidak menyerah. Namun, sejurus dengan apa yang ia lakukan pintu kamar yang ia tempati sekarang ini terbuka. Menampilkan beberapa orang berpakaian putih bersih yang ia ketahui sebagai dokter dan perawat. Termasuk Jean, Andi, dan juga Fika ada di sana. Ketika melihat apa yang tengah Shania coba lakukan, dokter tersebut dengan cepat menghampirinya dan melarangnya untuk bangun karena beralasan kalau tubuh gadis itu masih lemah. Shania mau tidak mau harus menuruti perintah dokter tersebut karena sekarang di hadapannya ada Andi. Ia tidak mau dirinya dicap sebagai orang pembangkangan oleh anak itu. Sewaktu dokter mengatakan akan memeriksa keadaannya pun, Shania tetap mengijinkannya. Andi melempar senyum ke arah gadis yang ia panggil sebagai kakak itu, tidak mungkin Shania tidak membalas senyuman itu. Setelah dilihat dengan lamat, Shania baru tahu kalau ternyata di dahi anak itu terdapat sebuah tempelan plester. Untuk mempertanyakan kepada Andi, Shania menunjuk keningnya sendiri. Mengerti akan gerak-gerik yang Shania ciptakan, Andi cuma membalasnya dengan gelengan kepala yang artinya bahwa ia baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. "Bagaimana keadaannya sekarang, dokter?" Fika langsung saja mengajukan pertanyaan, tatkala ia melihat dokter tersebut mengemasi barang-barang yang ia gunakan untuk memeriksa sahabatnya tadi. Dokter itu menarik bibirnya ke atas. "Sudah tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Sekarang ini dia hanya perlu beristirahat saja agar keadaannya bisa benar-benar pulih," ucapnya. "Kabar baiknya lagi, hari ini pasien sudah bisa diijinkan pulang. Kita hanya perlu menunggu sampai infusnya ini habis," tambah dokter muda itu yang seketika membuat semua orang di sana menjadi senang, termasuk Shania sendiri. Shania merasa cukup bersyukur mengetahui kalau ternyata semua orang menghawatirkan dirinya. Itu berarti masih banyak orang yang menyayangi dirinya, terlepas dari apa yang ia dapatkan dari ayah serta kakak kandungnya sendiri. Mendadak saja gadis itu teringat hari di mana dirinya kembali ke rumah, tapi ia malah disambut dengan sangat dingin oleh keluarganya sendiri. Sampai-sampai ia pun diusir dari rumah. Seumur hidup, Shania tidak akan pernah bisa melupakan hari terburuk dalam sejarahnya itu. Dokter itu kemudian pamit undur diri dari ruangan itu dengan meninggalkan pesan kalau Shania boleh diajak bicara oleh mereka tidak lebih dari sepuluh menit karena setelah itu sang pasien harus beristirahat. Sehingga setelah dokter itu benar-benar menghilang dari balik pintu, Fika dan Andi pun cepat-cepat mendekati gadis tersebut seakan mereka benar-benar dikejar oleh waktu. "La-ras, gua khawatir banget sama Lo. Gua semalam benar-benar takut bakalan kehilangan Lo. Bodohnya gua semalam, gua gak bisa lakuin apapun selain cuma bisa nangis kayak anak kecil," ujar Fika dengan nada menyalahkan dirinya sendiri. Walaupun sedikit tidak biasa, ia tetap menggunakan nama 'Laras' karena sekarang ini tengah ada Jean dan juga Andi. Shania menyunggingkan senyum, melihat betapa cengengnya sahabatnya itu. "Lo dengar sendiri dari dokter tadi 'kan kalau sekarang gua udah gak kenapa-napa lagi. Seharusnya kalau Lo udah tahu keadaan gua sekarang, Lo harusnya senang bukan jadi malah melow kayak gini," ujar gadis itu, mencoba menenangkan sahabatnya yang cengeng. Mendengarnya, Fika pun mengangguk sebelum kemudian ia memeluk erat tubuh ramping Shania. Melihat itu, kening Jean jadi mengerut. "Sejak kapan kalian berdua punya hubungan deket kayak gini?" tanya cowok itu dengan keheranan. Deg Jantung Shania dan Fika seketika berpacu dengan cepat ketika mendengar pertanyaan yang Jean ajukan pada mereka. Setelah itu, Fika dengan cepat melepaskan pelukan yang ia hujani pada Shania tadi. "Ummm ... Gini, Kak. Sebenarnya—" belum sempat ia menuntaskan kalimat alasannya, ia sudah di dahului oleh Andi di sana. "Kata Bika sama Andi kemarin, mereka saling kenal itu karena mereka berdua pernah satu kampus, Pa," jelas anak laki-laki itu kepada ayahnya. Mendengarnya membuat Shania maupun Fika jadi bernapas dengan lega. "Iya, Kak. Lagian siapa coba yang gak mau punya hubungan dekat dengan Laras, anaknya baik banget parah," tambah Fika. Kemudian Jean cuma menganggukkan kepalanya. "saya setuju untuk itu. Tanpa kamu, saya tidak tahu bagaimana jadinya Andi. Kamu adalah gadis berhati malaikat, Laras. Terima kasih banyak," ucap Jean dengan lembut kepada Shania. Entah apa alasannya, tapi perkataan itu sukses membuat wajah Shania menjadi merah merona. Segera gadis itu membuang muka ke arah lain, berupaya agar tidak ada yang melihat rona itu. "Bika, bisa geser gak? Sekarang ini giliran Andi yang ngomong dengan Kak Laras," ucap Andi, meminta tapi dengan nada memerintah. "Kalau mau ngomong, dari situ aja. Lagian Bika juga belum puas ngomong sama Laras," ucap Fika, menolak mentah-mentah permintaan keponakan itu. Seketika wajah Andi jadi masam. "Bika, jangan egois. Empat menit 'kan udah Bika pake, dan satu menitnya udah dipake sama Papa. Sisanya itu harus Andi dong yang pake," ucap anak itu, seolah akan menelan Fika hidup-hidup kalau bibinya itu tetap tidak mau mendengarkannya. Jika Jean dan Shania menjadi tertawa mendengar penuturan Andi barusan, Fika sendiri terpaksa mundur alon-alon dengan tangan yang menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Malu juga dikatakan egois sama anak kecil, apalagi anak kecilnya itu adalah keponakannya sendiri. Andi pun segera mengambil alih posisi Fika tadi, "Kak Laras, makasih banyak. Makasih karena Kakak udah mau nolong Andi semalam, dan makasih juga karena kak Laras udah ngilangin kekhawatiran Andi dengan cara Kakak yang cepat terbangun dari tidur nyenyak Kakak. Andi sayang banget sama Kakak," ucap anak itu yang langsung saja menghamburkan pelukan kepada Shania. Shania membalas pelukan anak itu, jujur saja ia sangat tersentuh mendengar perkataan Andi barusan sampai membuat dirinya tidak bisa lagi berkata-kata.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD