Bagaimana Mencari Kebahagiaan

1385 Words
Seper kian detik berpindah dengan teratur menuju menit ke menit, menghasilkan sepuluh menit lamanya Fika dan Shania duduk termenung. Selama itu mereka berdua hanya ditemani oleh dinginnya malam dan berisiknya suara jangkrik serta kodok di tempat yang tidak jauh dari tempat di mana kedua gadis itu tengah mengayun pelan tubuh mereka di atas ayunan yang berbeda pula. Shania yang sampai sekarang tidak juga mengatakan sepatah katapun karena matanya itu masih fokus memerhatikan benda langit yang berkelap-kelip di atas sana, padahal di dalam hati gadis itu banyak menyuarakan kata-kata yang tidak mampu ia ucapkan secara nyata karena terlalu pahit apabila telinganya ikut mendengar suara hatinya itu. Terluka dan sedih, itu adalah dua rasa berbeda yang saling memiliki hubungan yang erat satu sama lain di dalam diri Shania. Rasa luka yang timbul di hati menyebabkan sebuah kesedihan yang tidak bisa ia takar berapa banyakkah jumlahnya. Melalui suara hatinya dan bintang bintang di atas langit itu, Shania sangat yakin bahwa dirinya bisa bercerita dan mengadu segala permasalahan yang menerpa dirinya pada sosok tanpa tubuh yang sering ia panggil sebagai 'mama'. Walaupun eksistensi dari ibunya itu tidak pernah ia ketahui tepatnya berada di mana, akan tetapi Shania merasa itu tidak menjadi penghalang untuknya terus berharap bahwa ibunya itu sama sekali tidak pernah meninggalkannya. Ibunya selalu menemani di manapun dirinya berada, sama seperti sekarang ini. Shania pikir ia hanya perlu menjujurkan dirinya saja bahwa ia merasa sedih atas apa yang ia alami di dalam keluarganya sendiri. Jika dibandingkan ketika mengetahui bahwa dirinya telah dipaksa untuk berjodoh dengan orang yang sama sekali tidak ia kenali yang malah memaksanya untuk kabur dari rumah tanpa sepengetahuan siapapun, Shania lebih merasa sedih ketika ia malah di anggap sebagai bukan siapa-siapa lagi di rumahnya sendiri. Shania yang mencoba untuk meninggalkan,telah mengakibatkan dirinya yang ditinggal oleh mereka. Seharusnya, sedari awal gadis itu sudah memperkirakan ganjaran seperti apa yang akan didapatkannya setelah nekat kabur dari rumah, mengecewakan ayahnya, dan membuat sedih kakaknya. Namun, waktu itu ia lebih mementingkan ego dan keinginannya sendiri tanpa terlebih dahulu memikirkan kebaikan untuk keluarganya sendiri, seperti yang seringkali kali diajarkan oleh ayahnya kalau kita boleh-boleh saja melakukan suatu hal sesuai keinginan kita sendiri, asalkan pada saat kita melakukannya kita sudah tahu bahwa tidak akan ada yang merasa tersakiti dari keputusan kita itu. Gadis itu merasa kalau dirinya sangat ceroboh karena tidak terlebih dahulu menimbang-nimbang apakah langkah yang di ambil olehnya itu akan menghasilkan sebuah kebaikan atau malah menjadi sebuah keburukan. Apa yang ditabur itulah yang kita tuai, Shania sekarang telah menerima ganjarannya sendiri yaitu ditinggalkan oleh keluarga yang telah ia sakiti. Gadis itu tahu tidak ada kata maaf yang pantas untuk ia terima setelah apa yang telah ia perbuat. Kemarahan ayahnya tidak terbendung lagi. Jika bisa, gadis itu sangat ingin kembali ke masa lalu di mana saat ia baru mengetahui kabar tentang perjodohan itu. Shania mungkin akan dengan rela hati menerimanya, karena membiarkan dirinya melakukan suatu hal yang tidak ia inginkan lebih baik dari pada dirinya malah menjadi tidak dianggap sebagai keluarga lagi oleh orang yang telah membesarkannya sampai dengan limpahan kasih sayang. Sebenarnya sedari siang tadi, saat mereka tengah melangsungkan acara piknik di akhir pekan, Fika sudah tahu kalau sahabatnya itu sedang dalam fase yang tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Hal itu diketahui Fika melalui lagu kerinduan yang Shania nyanyikan dengan diiringi oleh petikan gitar Jean. Shania menghayati lagu tersebut seperti benar-benar merasakan kerinduan. "Uummm ... Shan, Lo sedih karena lagi mikirin keluarga Lo. Lo kangen banget sama mereka ya?" tanya Fika sembari berdehem sekali. Gadis itu sedikit tidak nyaman untuk terus-terusan berada dalam keheningan yang ia rasa semakin mencekat d**a ini, setidaknya ia harus mengambil tindakan lebih agar Shania sendiri menjadi merasa lebih baik lagi. Shania butuh hiburan, dan yang bertugas mengibur adalah dirinya, sebagai sahabat dan orang terdekat. Seketika, saat tahu kalau Fika hendak membawanya untuk berbicara, Shania langsung menoleh. Dengan tatapan yang masih sama, gadis itu berlanjut berkata. "Fik, kalau gua kembali lagi ke rumah dan bilang sama Papa kalau gua udah mau nerima perjodohan itu. Apa udah terlambat buat gua lakuin itu sekarang?" Gadis itu menjawab pertanyaan Fika menggunakan pertanyaan juga. Tapi, setidaknya Fika masih dapat jawaban dari itu kalau Shania saat ini benar merindukan keluarganya. Lalu apa yang harus ia lakukan sebagai seorang sahabat yang baik agar sahabatnya itu tidak bersedih lagi? "Shania, gua tahu kalau Lo itu kuat dan gua juga tahu kalau Lo itu bisa sedih. Tapi, itu bukan berarti Lo bisa pertaruhin semua kebahagiaan Lo." "Tapi, Fika. Dengan keadaan seperti ini gua juga gak ngerasa bahagia sebagaimana mestinya. Gua udah dibuang sama keluarga gua sendiri," ujar Shania, perlahan namun pasti air mata yang sedari tadi coba ia bendung, meluruh dengan sendirinya mulai dari pelupuk mata. Padahal gadis itu mencoba tidak boleh menangis di hadapan Fika lantaran takut kalau kata cengeng yang sering ia sematkan kepada Fika teralih menjadi miliknya. Melihat Shania yang bersedih seperti itu, Fika kemudian menggenggam tangan sahabatnya, berusaha memberikan kekuatan melalui genggaman itu. "Dengerin kata gua baik-baik. Pernikahan itu bukan perihal yang mudah, harus ada komitmen dan persetujuan dikedua belah pihak karena yang ngejalaninnya adalah kalian sendiri bukan orang lain. Kalau seandainya Lo milih untuk menikah dengan orang yang gak Lo cintai sama sekali, otomatis Lo belum tentu nemuin kebahagiaan yang Lo inginkan. Akibatnya bisa aja fatal dan bisa berlangsung selamanya. Tapi, kalau Lo nyari kebahagiaan dengan cara Lo sendiri, gua yakin Lo pasti bisa nemuinya karena Lo itu adalah Shania yang gua kenal. Shania yang gak pernah menyerah sebelum apa yang diinginkannya tercapai," ucapnya panjang lebar. "Bukannya gua pengen neghasut Lo buat nentang keluarga Lo sendiri, tapi gua pengen Lo bahagia dengan cara dan jalan yang Lo pilih sendiri. Lebih baik Lo menderita di awal dari pada ingin buat semua orang didekat Lo bahagia, ehh ... Ujung-ujungnya malah Lo sendiri yang gak bahagia. Percaya deh sama gua, gua yakin banget kalau dalam waktu dekat ini keluarga Lo itu pasti bakalan mau maafin Lo. Karena semarah-marahnya seorang ayah, dia pasti tidak pernah bisa buat ngelepasin anaknya gitu aja" lanjut Fika yang berusaha sebisa mungkin memberi ketenangan kepada Shania. Melihat Shania yang menangis seperti ini, tidak pernah terbesit satu pun pikiran yang membuatnya berpikiran kalau Shania itu cengeng--seperti yang Shania pikirkan. Karena sebenarnya Fika sendiri mengerti kalau siapapun yang berada dalam posisi Shania pasti tidak akan mampu menghadapi tanpa sekalipun menangis. Kau bisa, orang itu pasti bukanlah manusia normal Shania menatap Fika lamat, sedikit merasa kalau perkataan temannya itu ada benarnya juga. "Tapi, kayaknya Lo segitu yakin deh gua gak bakalan ngerasa bahagia nikah dengan pilihan papa gua?" tanya Shania dengan serius. "Lo pernah cerita sama gua kalau orang yang hendak dijodohin sama Lo itu seorang laki-laki yang sudah punya anak, 'kan?" tanya Fika memastikan suatu hal dan pertanyaan itu langsung menerima anggukan dari Shania. Fika terlihat terdiam sejenak, menimbang-nimbang jawaban yang hendak ia berikan kepada Shania. "Jadi, gua bisa berpikiran kayak gitu karena ... Karena semua duda itu sama aja, sama-sama berewokan. Lo sendiri juga 'kan pernah bilang sama gua kalau cowok idaman Lo adalah seorang cowok yang wajahnya itu harus putih dan bersih dari bulu. Kayak kak Jean itu misalanya," ujar Fika dengan seenak jidatnya dan ucapan itu berakhir dengan kekehan kecil. "Ihhhh ... Fika, gak lucu tahu. Gua udah serius juga tadi,mau dengerin kata Lo. Tapi Lo malah becandai lagi hal yang kayak gini. Salah gua juga karena terlalu berharap lebih dari Lo," ujar Shania yang mukanya terlihat ditekuk. Shania lupa tentang fakta yang paling mendasar dan sudah lama hinggap di diri Fika, anak itu tidak pernah selalu serius sampai akhir. Pasti ada ada saja yang membuat dirinya mencandai satu hal. Shania sendiri bukanlah orang yang mudah menerima suatu guyonan apabila ia sendiri sedang merasa dalam mood yang tidak baik. Jadi, wajar-wajar saja kalau keningnya ini sedang mengerut akibat dari ucapan Fika barusan. "Tapi, Lo pasti setuju 'kan kalau kak Jean itu ganteng, tipe Lo banget lagi," ucap Fika sedikit menggoda Shania. Shania tidak menjawab walaupun sebenarnya ia tidak bisa menampik tentang fakta tersebut. "Bukannya Tuan Jean itu juga duda," ucap Shania pada akhirnya karena merasa aneh saja Fika terus membahas persamaan dan perbedaan, tapi laki-laki bernama Jean itu malah dikecualikan oleh Fika. Fika berhenti terkekeh, baru saja ia hendak membalas perkataan Shania lagi mendadak suara dari dalam rumah mengalihkan atensi merek berdua. Mereka secara kompak menoleh ke tempat di mana suara itu berasal. Brukkk ... Brukk ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD