Andi sudah tahu siapa yang berkunjung ke rumahnya dan membuat ruangan tv itu menjadi berantakan. Siapa lagi pelakunya kalau bukan seseorang yang dipanggilnya Bika—Bibi Fika, saudara sepupu ayahnya.
Melihat Andi yang tetap berdiri di tempat, tanpa terlihat ingin beranjak dari sana membuat Shania menegurnya. "Tuan Muda. Tunggu apa lagi, ayo kita masuk ke dalam. Tuan Muda harus mengganti seragam sekolah itu," ajak gadis yang memegang ransel Andi di kiri kanan tangannya.
Andi menggeleng. "Kakak duluan aja. Andi ada urusan sebentar," kata anak itu menolak.
"Ya udah, Kakak masuk duluan ya," pamit Shania. Gadis itu ingin menyimpan tas Andi ke dalam kamar anak itu dan menyelesaikan sisa-sisa pekerjaannya yang lain.
Andi yang kini tertinggal seorang diri kemudian berjalan mendekati meja. Ia ingin melakukan sesuatu yang pastinya tidak akan disukai oleh pelaku yang telah membuat ruang keluarga itu berantakan.
Diambilnya tas Fika yang ada di atas meja, dikeluarkan olehnya semua isi yang ada dalam tas tersebut. Alhasil ruang keluarga itu menjadi bertambah berantakan dengan kehadiran barang-barang Fika yang dikeluarkan oleh anak itu tadi. Bibir anak itu menampilkan sebuah senyum kemenangan, menurutnya ini adalah pembalasan yang setimpal untuk seorang Bibi yang nakal seperti Fika.
Fika yang kini sudah kembali dari toilet, menatap tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Barang-barangnya, segala peralatan make up mahalnya sudah membaur menjadi satu dengan camilan berbumbu yang berserakan di atas meja, sofa, dan bawah lantai. Barang-barangnya itu jadi ikutan kotor juga. Tidak lebih dari itu semua, titik pandang Fika kini tertuju pada seorang anak laki-laki yang berdiri dengan berkacak pinggang serta menatap tajam padanya.
Raut wajah yang semula hendak marah, langsung berubah drastis menjadi senyuman karena melihat Andi yang berdiri enteng menatap padanya. "Ya ampun ... Ternyata keponakan aku ini udah pulang, ya. Bika kangen banget tahu," ucapnya sembari berjalan cepat hendak merangkul Andi dalam dekapannya. Sayangnya, Andi dengan gesit menghindar. Menyebabkan hanya angin yang berhasil dipeluk oleh Fika.
"Gak usah sentuhan-sentuh," kata Andi dengan gelengan kepala dan masih menggunakan tatapan yang sama.
Fika jadi hanya bisa menarik napas panjang dan menghembuskannya secara perlahan, ia tahu alasannya mengapa Andi menghindar darinya seperti itu. Ini semua karena anak laki-laki itu marah padanya.
Dengan segera, Fika bangkit dari posisi jongkoknya tadi. Ia kemudian berjalan menuju meja di sana, mematikan televisi kemudian membereskan segala hal yang tidak rapi di depan mata termasuk dengan tas yang sudah tidak ada isinya lagi. Beruntung saja ia tadi tidak membawa sesuatu yang aneh, jadi tidak masalah kalau Andi melihat isi tas tersebut.
Dari tempatnya berdiri, Andi hanya memerhatikan dengan seksama pekerjaan yang dilakukan oleh Bika-nya itu, tanpa sedikitpun punya niat untuk membantu.
"Done! Sekarang, sini peluk Bika," kata Fika dengan tersenyum lebar sembari tangannya melambai-lambai, menyuruh Andi segera menghampirinya.
Namun, Andi menggeleng. Tanpa mengeluarkan suara, jari telunjuknya terangkat menunjuk sesuatu yang ada di bawah kolong meja. Secara otomatis Fika pun mengikuti titik tuju jari anak itu, seketika ia dapat melihat ada beberapa makanan yang tertinggal dan belum ia bersihkan. Andi adalah definisi anak yang keakuratan menelitinya sangat kuat dan jelas, bahkan jumlah kuantitatifnya melebihi Fika yang adalah orang dewasa.
Fika menghela napas, gusar. Lalu ia pun berkata,"Aaa Andi, kamu kok makin cerewet sama Bika kamu sendiri. Bika 'kan tamu, seharusnya tamu itu dilayani bukan dijadikan pembantu," ujar Fika dengan diberi sedikit nada manja.
"Pintu ada di sebelah kiri, perlu Andi tuntun buat ke sana?" ucap Andi.
Mendengar itu, Fika hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Padahal anak itu masih berusia sangat kecil, tapi sangat sulit untuk merobohkan benteng prinsipnya.
Mau tidak mau, Fika kembali membersihkan sisa-sisa yang tertinggal tadi. Meskipun begitu, gadis itu tidak merasa bersalah telah membuat tempat itu berantakan tadi. Ia sudah terbiasa dengan situasi seperti ini.
Selang beberapa menit kemudian. "Sudah selesai!" Gadis itu langsung berdiri dengan bangga. Andi meresponnya dengan hanya menganggukkan kepala, ia sudah memeriksa dengan teliti dan itu beneran sudah bersih sesuai dengan apa yang dikatakan gadis itu barusan.
"Jadi tunggu apalagi. Sini dong, Bika pengen peluk tahu," ungkap gadis itu tentunya dengan suara yang manja.
Andi menuruti permintaan Fika, karena tidak suka dipeluk ia langsung duduk di atas sofa mengabaikan begitu saja Fika yang sudah merentangkan tangan untuknya. Fika sedikit tidak percaya, mengapa sifat cuek anak itu tidak berkurang sedikitpun dari terakhir kali mereka bertemu. Padahal sudah hampir sebulan lebih mereka berdua tidak saling bertatap muka seperti ini, apakah anak itu tidak sedikitpun merindu padanya?
Meskipun tergolong memiliki sifat cuek, setidaknya sebelum ini Andi masih mau menerima pelukkan dari Fika. Fika juga heran, walaupun kadang kala Andi bersikap tegas terhadap apa yang dirinya lakukan di rumah ini, tapi kedatangannya dulu selalu disambut dengan hangat oleh Andi dan anak itu pasti akan langsung membawanya untuk bermain.
Entahlah, Fika rasa satu bulan lebih ini sifat Andi sepertinya semakin bertumbuh menjadi sosok seorang yang sedingin kulkas. Fika jadi berpikir, apakah ia harus merasa bangga atau tidak dengan pencapaian dari keponakannya itu?
Tidak ingin berlarut-larut, Fika memilih untuk bergabung dengan Andi yang duduk di sofa. Sembari menunggu kepulangan Jean dari kantor, ia bisa bermain dan mengajak anak itu berbicara di sini. Hitung-hitung sebagai pengobat rasa bosan karena terlalu lama menunggu.
"Andi, kamu gak kangen sama Bika. Kita 'kan udah lama gak ketemu," ucap Fika dengan penuh harapan akan menerima respons positif dari Andi.
"Gak juga tuh," balas Andi dengan begitu entengnya.
Meski merasa kecewa, Fika tetap tidak menyerah. "Kamu gak bosan ya? Gimana kalo kita main video game aja, yuk," ajak Fika.
Lagi-lagi Andi menggeleng. "Di mana-mana tuh, orang dewasa gak cocok main yang begituan. Mending Bika nonton berita aja, biar waktunya gak sia-sia dan dimanfaatkan untuk hal yang tepat," ucap Andi. Setelah menasehati Fika, Andi kemudian meraih remote tv, menyalakan benda tersebut dan mengalihkan ke siaran berita. Anak itu sekarang memfokuskan diri menonton berita dalam negeri yang sedang di siarkan. Fika menjadi geleng-geleng dibuatnya, bagaimana bisa dirinya diajari oleh anak kecil seperti itu. Harga dirinya sekarang sudah tercoreng habis.
"Andi, kamu itu kenapa sih sama Bika. Cuek dan resek, kesannya kayak kamu gak suka ada Bika di sini. Ohhh ... Apa jangan-jangan kamu udah dapet pengganti Bika ya," tebak Bika.
"Keknya Bika cocok deh jadi peramal," celetuk Andi asal, tapi itu berhasil membuat Fika melotot sempurna.
"Tuhh 'kan bener. Cepat kasih tahu Bika, siapa orang yang udah berani ngerebut keponakan Bika yang imut dan resek ini dari Bika. Cepet!"
"Lebay," ucap Andi singkat dan padat sebagai penilaian atas sikap Fika barusan karena gadis itu tadi sampai-sampai menggoyang-goyangkan lengannya.
Mendengar itu, Bika mendadak menghentikan aksinya bergelantungan di tangan Andi. Untuk memperbaiki imagenya, gadis itu batuk sekali dan kemudian merubah gaya duduknya menjadi se-anggun mungkin. Ia tidak ingin imagenya benar-benar buruk di hadapan Andi. Malu dong dikatain lebay oleh keponakan sendiri.
Selang beberapa menit kemudian, handphone yang ada di dalam tas gadis itu berdering. Segera Fika mengambilnya dan mengangkat panggilan yang masuk, itu adalah ibunya.
Inti dari percakapannya di telepon adalah ibunya meminta Fika untuk segera pulang. Fika kemudian pamit pada Andi dan mengatakan akan kembali besok karena urusannya dengan Jean belum diselesaikan.
Setelah mengantar Fika ke rumah, Andi kemudian masuk kembali ke dalam rumahnya. Bertepatan dengan itu, ia bertemu dengan Shania.
"Tuan Muda, itu siapa?" tanyanya keheranan.
"Bika, dia ke sini mau ketemu Papa, tapi Papanya gak ada maknanya dia pulang," jelas Andi singkat.
Mendengar itu, Shania manggut-manggut. Tidak ingin mengulik lebih dalam lagi karena tidak penting juga untuknya.
"Ayo kita masuk. Tuan Muda harus berganti pakaian," ajak Shania yang dibalas anggukan oleh Andi.