Shania sudah menentukan keputusan apa yang akan ia ambil. Setelah semalaman mempertimbangkan, ia pun berakhir memilih untuk kembali ke rumahnya untuk melihat bagaimana keadaan ayahnya itu. Meskipun ada rasa takut, tapi Shania berusaha mengelabuinya dengan cara mengingat betapa ayahnya itu sangat menyayanginya. Seperti apa yang dikatakan oleh Fika kemarin, Shania yakin kali ini ayahnya itu pasti akan luluh dan mau menerima penolakannya atas perjodohan itu lantaran tidak ingin dirinya pergi lagi.
Tidak hanya itu saja, Shania juga teramat rindu pada kakaknya, Shekan. Shania rindu berdebat dengannya, rindu dengan kata-kata yang selalu ia gunakan untuk mengejek kakaknya yang masih jomblo itu, dan Shania juga rindu kasih sayang yang selalu Shekan curahkan padanya sebagai seorang kakak yang bertanggung jawab. Shekan itu sudah berusia lebih dari dua puluh lima tahun, tapi sampai sekarang pun belum ada kabar tentangnya yang memiliki pacar.
Wajar saja, hal itu dikarenakan Shekan terlalu fokus bekerja dalam membantu ayah mereka mengembangkan perusahaan. Padahal jika dilihat sebenarnya banyak wanita yang mau mendekati Shekan, tapi Shekan tetap tidak tertarik dengan itu. Meskipun tahu alasan kenapa kakaknya itu masih menjomblo sampai sekarang, tapi Shania tetap hobi mengejek Shekan dan hal itu sering kali menjadi perdebatan di antara mereka berdua. Shania yang sangat suka memanggil kakaknya 'jones', sedangkan Shekan yang menyuruh adiknya itu untuk berkaca pada diri sendiri.
Shania menghela napas panjang, tugasnya sekarang ini adalah ia harus sedapat mungkin mempersiapkan diri untuk bertemu dengan mereka nantinya agar tidak ada kecanggungan.
Saat mobil yang ditumpanginya sudah berada di depan sekolah Andi, gadis itu langsung melirik pada Andi yang duduk di bangku bagian belakang kemudian berganti melirik seseorang yang mengemudikan mobil ini tadi.
Setelahnya Andi turun dengan sendirinya dari mobil, anak itu kemudian bersalaman dengan seorang yang duduk di bangku kemudi itu. Tidak lupa ia juga berpamitan dengan Shania. Saat itulah Shania hendak turun dari mobil, tapi mendadak orang yang duduk di sampingnya itu mencegahnya.
"Tidak apa-apa seperti ini, Tuan?" tanyanya masih dengan keraguan yang sama saat di rumah tadi.
Seseorang yang adalah Jean itu menyunggingkan sebuah senyum tipis. ''Tidak apa-apa. Kan saya sudah kasih kamu ijin sebelumnya. Jadi, kamu jangan lagi ngerasa sungkan kayak gini hanya karena perkara libur satu hari saja. Saya tidak mau menjadi majikan yang tidak pengertian," ujarnya.
Shania sebelumnya sudah berbicara kepada Jean tentang ia yang ingin meminta ijin untuk pergi ke suatu tempat selama jam sekolah Andi berlangsung. Tanpa dipertimbangkan lebih dahulu, Jean langsung saja memberi ijin kepada Shania untuk itu. Hal itulah yang membuat Shania merasa keheranan, Jean sama sekali tidak bertanya ke mana tepatnya ia akan pergi.
Shania memang diuntungkan di sini, tapi tetap saja kalau Jean bertanya mungkin ia tidak akan merasa tidak enak hati seperti ini. Walaupun Jean bertanya dan ia menjawabnya dengan dalih lain, setidaknya dengan begitu perasaan ini tidak akan ia rasakan.
"Saya turun di sini saja, Tuan. Karena di depan sana juga ada halte bis," ucap Shania.
"Gak sekalian saya anter ke sana saja?" tanya Jean.
"Tidak usah. Tuan juga 'kan harus berangkat kerja, saya tidak mau karena saya Tuan jadi terlambat nantinya," ucap gadis itu.
"Begitu ya? Baiklah." Akhirnya Jean pun mau menyetujui Shania.
Ini adalah pertama kalinya Jean mengantar mereka ke sekolah, lantaran sopir yang bertugas untuk itu sedang sakit dan tidak bisa bekerja.
Pada saat Shania sudah membuka pintu mobil dan hendak keluar dari sana, Jean mendadak menghentikannya lagi. Alhasil Shania pun terpaksa mengurungkan niatnya itu.
"Ada apa, Tuan?" tanyanya dengan alis terangkat satu.
"Ini," kata Jean sembari menyerahkan kepada Shania sebuah kotak kecil yang sangat diketahui oleh gadis itu apa isi di dalam kotak tersebut. Itu adalah kotak handphone.
"Ehh ... Tuan, kenapa nyerahin itu ke saya?" tanya Shania masih belum berani bertanya.
"Saya membeli ini untuk kamu, karena saya tahu kamu gak punya handphone, 'kan? Sekarang ini jaman udah berubah, banyak teknologi yang berkembang, kalau gak ngikutin perkembangan jaman kamu bakalan disebut gaptek. Handphone itu penting untuk kita menjalani aktivitas sehari-hari karena kita gak tahu kedepannya masalah apa yang kita hadapi. Jadi dengan adanya handphone kamu bisa menghubungi seseorang yang kamu butuhin saat kamu berada dalam bahaya. Jadi terimalah," jelas Jean panjang lebar sampai membuat Shania tercengang mendengarnya.
Shania sampai tidak percaya Jean sampai menyebutnya gaptek. Kalau memang tidak akan ada konsekuensi yang harus ia tanggung, di tempat itu juga Shania akan memamerkan kepada laki-laki itu handphone dengan merek ternama yang ada di tas selempangnya saat ini. Namun, sudahlah. Tidak salah kalau Jean berpikiran begitu dan lagi itu juga karena Jean peduli padanya. Shania harus menanggapinya dengan baik juga.
"Terima kasih atas kebaikan, Tuan. Tapi, saya tidak bisa menerima ini," kata Shania, menolak dengan halus.
Shania tahu kalau Jean itu adalah orang yang sangat baik, oleh karenanya Shania sangat menyayangkan sikap baik Jean yang berlebihan itu. Sebenarnya boleh-boleh saja kalau kita bersikap baik kepada orang lain, tapi hal itu haruslah ada batasannya karena tidak semua kebaikan yang kita berikan akan selalu mendapatkan kebaikan juga. Kadang kala kebaikan yang kita berikan malah akan dimanfaatkan oleh orang lain. Jadi, Shania tidak ingin terus-terusan memanfaatkan kebaikan yang Jean berikan padanya, karena itu hanya akan menimbulkan kebiasaan bagi dirinya untuk terus bergantung kepada Jean.
"Kenapa? Handphone ini saya beli pake bonus gaji kamu lohh," ucap Jean yang langsung membuat Shania melotot karena saking tidak percaya.
"Tuan, saya 'kan gak pernah minta Tuan buat beli handphone ini. Tapi, kenapa Tuan bisa membelinya tanpa ijin dengan saya terlebih dahulu," ucap Shania.
"Karena saya tahu kamu pasti gak mungkin menolaknya kalau saya pake uang kamu sendiri," ucap Jean dengan tersenyum smrik kepada Shania.
"Tapi, tetap saja cara Tuan itu salah. Setidaknya Tuan bertanya dulu pada saya," ungkap Shania dengan menunjukkan raut kesal, tanpa peduli lagi kalau orang yang melihat kekesalannya itu adalah Jean.
"Jadi, kamu beneran gak mau nihh. Ya udah handphonenya buat saya saja, tapi bonusnya tetap hangus lohh...."
Mendengar itu segeralah Shania mengambil alih kotak kecil berwarna putih itu. "Saya mau, saya mau," ucap Shania dengan cepat. Nasi telah menjadi bubur. Ia tidak bisa mengembalikannya, tapi setidaknya ia masih bisa menerimanya. Pikir Shania, anggap saja bonus yang ia terima itu berupa handphone. Meskipun ia sedikit merasa malu karena telah memarahi Jean seperti itu tadi
Jean diam-diam terkekeh kecil melihat tingkah Shania yang seperti itu.
"Di handphone itu sudah ada nomor handphone saya. Jadi, kalau kamu nanti perlu sesuatu, jangan segan-segan untuk menghubungi saya ya," ucap Jean.