Mati atau Hidup Tidak Tenang

1277 Words
Seperti tersambar petir di siang bolong, Shania beserta Bik San serentak bangkit dari duduk mereka ketika telinga mereka tahu-tahunya mendengar bentakan tidak terduga dari seseorang yang mereka tunggu-tunggu kedatangannya sedari tadi. Bibir Shania terlihat bergetar dikarenakan tatapan tajam yang ia terima dari orang tersebut, ditambah lagi raut amarahnya. Shania sampai-sampai bertanya pada dirinya sendiri, apakah orang tersebut sungguh orang yang selama ini ia kenali ataukah orang asing yang sedang menjelma menjadi orang yang teramat ia sayangi? "Papa. Aku—" "Setelah membuat malu nama keluarga ini, berani-beraninya kamu kembali lagi ke rumah ini. Kenapa tidak sekalian saja kamu tinggal di luar sana untuk selama-lamanya, saya gak suka dengan anak yang pembangkangannya seperti kamu ini!" Ungkap Bimo, tanpa sedikitpun menurunkan volume suaranya. Shania tidak percaya, apakah ayahnya itu sebegitu benci padanya, apakah ia memang tidak lagi memiliki arti sebagai seorang anak hanya karena tidak menuruti perjodohan itu. Perasaan kesal, kecewa, marah tercampur aduk menjadi satu. Sedangkan Bik San yang berada di samping gadis itu juga hampir tidak mempercayai apa yang barusan ia dengar keluar dari mulut majikannya itu. Padahal Bik San ingat dengan jelas betapa Tuannya itu merindukan Shania dan merasa menyesal karena apa yang telah dia perbuat terhadap putri bungsunya itu, terbukti dari dirinya yang sampai jatuh sakit. Namun, kejadian di hadapannya ini berbanding terbalik dengan apa yang ia kira. Shania menarik napas panjang, menahan air mata yang hendak turun. "Aku pikir kalau aku kembali ke rumah Papa akan senang menyambut kepulangan aku dan mencoba agar aku tidak pergi dari rumah lagi, dan aku juga berpikir akan melihat penyesalan Papa atas semua yang telah terjadi. Tapi, ternyata pikiran aku itu salah. Mungkin aku yang salah di sini karena terlalu berharap pada sesuatu yang sebenarnya gak pernah ada," ucap Shania lirih. Melihat Shania yang seperti sangat rapuh, Bik San hanya terdiam karena merasa sedih. Walaupun sangat ingin, tapi di sini ia tidak punya hak untuk berkomentar terhadap masalah pribadi keluarga ini. Wanita tua itu menggenggam tangan Shania, berupaya menyalurkan kekuatan kepada gadis itu melalui genggaman tangannya. Bik San tahu sebesar apa luka yang Shania dapatkan dari perlakuan Bimo tersebut. "Untuk apa saya menghawatirkan anak yang sudah mencoreng nama keluarga?!" tanyanya menantang. Oke, sekarang Shania sudah mengerti. Dirinya memang sudah tidak lagi bisa mendapatkan kata maaf dari ayahnya itu. Jadi, untuk apa lagi ia berada di sini. Bukankah ayahnya sendiri sudah mengusirnya dari sini. Shania sudah tidak punya pilihan lain, satu-satunya pilihan yang ia punya adalah pergi dari rumah ini untuk selama-lamanya. "Kalau itu maunya Papa, aku akan pergi dari sini," ucap Shania. Ia melepaskan tangan Bik San yang menempel pada lengannya, wanita itu terlihat tidak ingin membiarkan Shania pergi. Namun, meskipun begitu ia tidak bisa menahan Shania. Gadis itu sungguhan terlepas darinya. Ia hanya bisa menjatuhkan buliran likuid bening dari pelupuk matanya, melihat apa yang tidak ia inginkan terjadi tepat di depan matanya. Shania melewati ayahnya tanpa menoleh. Hatinya sungguh sakit ketika ayahnya menatap kepergian dengan ekspresi yang biasa saja. Tidak ada sedikitpun terlihat dari sudut wajahnya itu menunjukkan kesedihan karena ia akan pergi. Saat dirinya sudah berada di jarak beberapa meter melewati muka pintu, gadis itu menoleh sekali ke belakang. Berpikir kalau ayahnya akan mencoba mencegahnya, ternyata sama sekali tidak terlihat sedikitpun kalau Bimo akan melakukan itu. Shania sungguh terpukul. Setelahnya gadis itu pun melanjutkan langkah, ia melangkah dengan derai air mata. Shania memang sudah mempertimbangkan tentang kemarahan ayahnya yang mungkin saja terjadi, tapi gadis itu tidak pernah mengharapkan kalau hal ini sungguhan akan terjadi. Kemarahan ayahnya sudah tidak terbendung lagi. Baru Shania sadari ternyata ada sosok kakak yang ia rindukan tengah berdiri di ambang pintu. Laki-laki itu menatap ke arahnya, sehingga membuat Shania cepat-cepat berjalan untuk menghampiri kakaknya itu. Setidaknya sekarang ia masih mempunyai Shekan. "Kakak—" Baru saja Shania akan mengulurkan tangannya untuk menyentuh kakaknya itu. Tapi Shekan mendadak menghindar. Laki-laki berjas hitam itu langsung saja berjalan masuk dengan melewati Shania. Ia sama sekali tidak merespons kehadiran Shania di sini. Hati Shania semakin hancur berkeping-keping. Ia pikir Shekan akan berdiri di pihaknya, namun ternyata tidak sama sekali. Shania lagi-lagi menyalahkan dirinya karena terlalu berharap. ***** Shania berjalan tidak tentu arah, ia tidak mampu lagi menahan rasa sakit yang menjalar pada setiap ruang di hatinya. Itu teramat sakit dan nyeri. Bayangkan bagaimana orang yang selama ini mengasihani kamu, memberikan kasih sayang yang berlimpah, dan memanjakan diri kamu dengan sepenuh hati. Tapi, ketika suatu hari kamu telah melakukan sebuah kesalahan dan ternyata orang itu tidak mau memaafkan kamu dan malah menginginkan dirimu pergi sejauh mungkin, apa yang akan kamu lakukan setelahnya? Memilih mati atau hidup dengan dengan rasa yang tidak tenang, itulah yang tengah Shania pikirkan sekarang ini. Gadis itu sekarang ini terlihat tengah berada di jembatan besar yang di bawahnya terdapat sungai besar dan lumayan deras. Shania tidak begitu sadar ketika kakinya telah membawa dirinya ke sini. Sebuah ikatan yang menyatukan rambutnya, terlepas dengan sendiri lantaran ia tidak mengikat rambutnya dengan ketat. Alhasil rambutnya yang tergerai itu melambai ke sana ke mari mengikuti ke manapun arah angin yang pergi. Shania tidak memperdulikannya, ia terlalu fokus pada rasa nyeri yang tertampung pada hatinya. Shania kemudian berjalan ke tepian jembatan. Tangannya berpegangan pada pembatas jembatan. "KENAPA, KENAPA PAPA JAHAT BANGET?!" teriaknya lantang, membuat suaranya mengudara dan bersatu padu dengan deruan suara mesin mobil yang tidak henti-hentinya melaju. Baik pipi kanan maupun kiri, keduanya tidak sempat mengering lantaran Shania terus membasahi dengan air matanya. "APA KEPERGIAN KU DARI RUMAH TIDAK CUKUP MEMBUAT PAPA MENYESAL?!" Ia bertanya meskipun tahu kalau tidak akan ada yang menjawab pertanyaannya tersebut. "APA SETELAH AKU MATI, BARU SEMUA ORANG AKAN MENGENAL YANG NAMANYA PENYESALAN?!" Shania benar-benar menemui jalan buntu. Di pikirkan hanya ada kata 'mati'. Gadis itu langsung saja bersiap-siap untuk menaiki pembatas tiang tersebut. Namun, saat ia sudah berada di tengah jalan. Sebuah bayangan berhasil menyadarkan diri Shania bahwa apa yang tengah ia lakukan ini adalah sebuah kesalahan. Ia teringat bahwa ia masih punya tempat tujuan lain, selain rumahnya sendiri. Tempat yang juga memberikan dirinya sebuah kehangatan tanpa harus ada alasan. Ia teringat akan wajah Andi yang pasti sedang menanti dirinya untuk pulang, Jean yang tahu kalau dirinya hanya pergi untuk satu hari saja bukan untuk selama-lamanya, serta sahabatnya Fika yang menunggu kabar tentang dirinya. Shania tidak ingin membuat mereka semua kecewa. Shania sekarang sudah mendapatkan jawaban kalau ia punya banyak sekali alasan untuk terus hidup. Ia harus menepati semua janji yang telah ia buat. Pikiran gadis itu sekarang sudah tercerahkan. Segeralah gadis itu turun dari pembatas jembatan tersebut. Ia membuka tas selempangnya, mengambil sebuah kotak yang berisi pemberian Jean padanya tadi pagi. Melihat itu, membuat Shania semakin berpikir positif. Ia tidak boleh mati, kata-kata itulah yang terus memenuhi isi kepala Shania. Gadis itu tahu kalau ia sekarang ini hanya butuh seorang teman curhat saja. Ia ingin menghubungi Fika menggunakan handphone itu. Beruntung sekali ia mengingat dengan jelas angka-angka yang menjadi nomor handphone sahabatnya itu. "Hallo Fika? Ini Shania." Shania langsung saja mengawali pembicaraan setelah panggilan yang ia buat tersambung. "Hallo Shania. Gawat, A-andi ...." Deg "Ada apa? Andi kenapa? Fika, cepat kasih tahu gua?!" perintahnya dengan memburu Jantung Shania seketika berpacu sangat kencang. Suara Fika terdengar sangat membuatnya khawatir dan lagi dia langsung menyebut nama Andi? Apakah anak itu tengah berada dalam bahaya? "A-andi, Andi diculik, Shania," balas Fika di seberang telepon. "Fik, Lo gak lagi becandain gua, 'kan? Sumpah ini beneran gak lucu." "Ya ampun, Shania. Gua gak mungkin becandain hal beginian." Shania sekarang tidak lagi punya alasan untuk menganggap kalau Fika hanya bermain-main saja. "Sekarang Lo di mana? Gua ke sana sekarang? Kita cari Andi sama-sama," Kata Shania yang langsung berjalan menjauhi pinggiran jembatan itu. "Lebih baik Lo kirim lokasi Lo sekarang, gua yang akan ke sana dan jemput Lo."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD