Bab 12

1435 Words
Setelah dari rumah Oceana, Samudera langsung pulang ke rumahnya dan melihat sang Mama yang sedang menangis. Ia langsung menghampiri orangtuanya tersebut. "Ada apa?" Samudera menatap Papanya. "Sam, sini duduk sayang." Ia mendekat dan duduk di sebelah Mamanya, Rania mengelus punggung putra sulungnya dan tersenyum pilu. "Sayang, pesawat Papa-mu mengalami kecelakaan." Seketika dunia Samudera seakan runtuh mendengar berita itu, itu adalah hal yang selalu Samudera takutkan menjadi seorang pilot. Samudera menangis dalam pelukannya, Rania mengeluarkan selembar kertas dari dalam tas yang ada di sampingnya dan memberikannya kepada Samudera. "Sebelum Papa-mu melakukan penerbangan, dia menitipkan surat untukmu ternyata dia sudah bahwa akan pergi." Samudera melonggarkan pelukannya. "Pergi? Memangnya Papa sudah ditemukan?" "Belum, tim SAR sedang melakukan pencarian." "Berarti masih ada kemungkinan Papa hidup." Samudera tidak mungkin menerima begitu saja takdirnya, tidak mungkin seorang Ayah yang selalu menjadi menjadi panutannya, ayah terhebatnya harus pergi secepat itu dengan keadaan tragis. Rania menyeka air mata dan menatap putranya. "Memangnya apa yang diharapkan dari pesawat yang jatuh ke laut." Samudera meneguk salivanya dan membuka surat yang sebelumnya ia abaikan, cowok kuatpun bisa terlihat lemah jika kehilangan seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya. Hai Samudera, jagoan kecilnya Papa Anak cowok Papa yang selalu Papa gendong waktu kecil dan kebanggannya Papa Jika suatu saat nanti Papa pergi, kamu harus jaga Mama dan Aurel Jangan cengeng waktu baca surat ini, ingat pria sejati gak boleh nangis. Samudera tidak dapat menahan air matanya, buliran air matanya jatuh di atas kertas itu. Jika Papa nanti bukan lagi seorang pilot, kamu harus menggantikan posisi Papa, Pilot memang risikonya besar tapi itu bukan menjadi halangan. Ingat, seorang jagoan gak boleh takut akan rintangan. "Papa...," lirihnya. Istriku yang cantik, sayangi selalu anak kita, kutitip Samudera dan Aurel. Untuk princessnya Papa, Aurel. Jadi anak yang baik nurut apa kata Mama dan Abang. Papa sayang kalian semua, love you -Andre Rania memeluk putranya, menumpahkan segala air mata di d**a putranya itu. Hanya suara isak tangis yang terdengar, mereka sama-sama terpuruk. Aurel yang baru pulang les, merasa kebingungan ketika Abang dan Mama menangis sambil berpelukan. Ia  mengampiri keduanya. "Ma, Bang. Ada apa?" Samudera melonggarkan pelukannya dan memberikan surat itu kepada adiknya. Setelah membaca surat itu Aurel masih belum paham. "Maksud dari surat ini apa?" "Papa-mu kecelakaan, Rel. Pesawatnya jatuh," ujar Rania di sela isak tangisnya. Tubuh Aurel luruh ke lantai, air matanya mengalir deras, ia merasakan tubuhnya melemas bahkan untuk sekedar menghirup oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida rasanya ia tak sanggup. Bagaimana mungkin ia kehilangan sosok pahlawannya secepat ini? Tak lama kemudian, bunyi bel rumah terdengar dan Samudera bangkit untuk melihat siapa yang datang. Samudera menatap orang tersebut dengan pandangan bertanya. "Jasad Bapak Andre sudah ditemukan," Kemudian beberapa orang menggotong jasad itu ke dalam rumah. Rania yang menyaksikan sendiri muka pucat suami yang sudah tidak sadarkan diri, tangisnya semakin pecah dan tubuhnya ambruk tak sadarkan diri. "Mamaaaaaa, please bangun. Jangan buat Sam bingung. Kita harus melakukan pemakaman untuk Papa." Samudera rasanya ingin pingsan, kakinya melemas, napasnya tercekat dan pandangannya mengabur, tapi ia terus meyakinkan dirinya agar terlihat kuat. Seperti pesan Papanya ia harus menjaga Mamanya dan Aurel. *** Oceana masih terjaga, ia melirik ponselnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam dan itu artinya tanggal 1 Maret telah menyapa. Biasanya pukul 00.00 notif chatnya sudah diisi oleh Samudera untuk mengucapkan happy birthday seperti tahun-tahun sebelumnya. Namun, sekarang belum juga masuk. "Apa Sam lupa sama ulang tahun gue? Kalau benar dia lupa, liat aja besok aku hajar." "Apa Samudera juga lupa sama permintaan gue waktu menang main Ludo?" Oceana mengacak rambutnya frustasi dan ia melirik jam di ponselnya, sudah 30 menit ia menunggu tapi pesan dari Samudera belum juga masuk. "Apa dia lagi tidur?" Ia memainkan ponselnya, sudah banyak pesan w******p dari grup kelas, grup OSIS dan beberapa teman sekolahnya yang chat pribadi mengucapkan happy birthday kepada Oceana. Oceana hanya membalas 'aamiin makasih' dari segala doa yang mereka lontarkan. Tak lama kemudian Aldric mengirim Oceana pesan. Ketos sok cool : selamat tanggal 1 yang ke 17 kali waketos HarBang. semoga gak jomblo lagi. WYATB. Oceana tersenyum tipis kemudian jarinya menari di touch ponselnya. Oceana : aamiin thx, ald. Lagi-lagi Samudera belum mengiriminya pesan. "Fix gue kesal sama lo." Akhirnya Oceana mengenyahkan egonya, ia menghubungi Samudera tapi tidak ada jawaban.  "Yaudahlah mending gue tidur." Oceana mencoba memejamkan matanya tapi bukan rasa kantuk yang ia rasakan melainkan kesedihan di hari pertama usia 17 tahunnya. Tidak ada ucapan dari kedua orangtuanya, dari girl's squad atau lebih tepatnta ex girl's squad dan terutama dari Samudera. *** Oceana sudah siap dengan seragamnya dan tas rancelnya. Ia berlari kecil menuruni anak tangga dan menghampiri kedua orangtuanya yang sedang menikmati mati sarapan. Ia duduk dan mulai mengambil roti lalu ia olesi denga selai stroberi kesukaannya. "Ayah sama Bunda kapan pulang?" "Tadi malam sekitar jam 11," jawab Ayahnya. Bunda menatap Oceana. "Bunda pikir kamu nginap di rumah Samudera." Oceana menatap Bundanya bingung. "Dulu waktu kamu kehilangan Rasya, Sam selalu ada buat kamu. Bunda kira kamu melakukan hal yang sama ketika Papanya Sam meninggal," jelas Bunda. Oceana langsung meletakkan rotinya dan matanta membulat. "Nonton berita sekali-kali biar uptodate, pesawat Papanya Sam jatuh dan sepertinya sudah melakukan pemakaman kemarin sore." Air mata Oceana jatuh, ia menatap Ayahnya. "Yah, antarin Oceana ke rumah Sam." "Mana bisa, satu jam lagi Ayah ada meeting sama client dari Jepang." "Please, Yah. Kalau nunggu Grab bakal lama." "Yaudah, ayo." Sepanjang jalan Oceana hanya menangis, ia bisa merasakan apa yang sahabatnya rasakan. Mungkin kesedihan Oceana saat kehilangan Rasya lebih berat saan Samudera kehilangan Ayahnya. Setelah mobil Papanya berhenti depan rumah Samudera, Oceana langsung pamit dan segera berlari ke dalam. Rumahnya tampak sepi, Oceana berlari ke lantai dua sambil terus memanggila nama sahabatnya. Oceana membuka kamar Samudera dan terlihat cowok itu sedang berdiri menghadap jendela dengan tatapan kosong. "Sam...," Samudera masih tetap pada posisinya, rasanya ia tidak ingin terlihat lemah di hadapan siapapun termasuk Oceana. "Sam, kenapa lo gak cerita? Kenapa lo gak kabari gue? Lo selalu ada buat gue tapi saat lo sedih gue bahkan gak tahu. Gue ngerasa gagal jadi sahabat lo, Sam." Air mata Oceana jatuh untuk kesekian kalinya. "Lo bisa peluk gue, lo bisa bersandar ke pundak gue kalau itu bisa meringankan beban lo Sam." Samudera berbalik dan menampilkan keadaan yang sangat kacau, Oceana bahkan tidak percaya seseorang yang ia lihat di depan ini adalah Samudera-nya. "I'm fine." "Gak ada yang baik-baik saja setelah ditinggal oleh orang yang mereka sayang untuk selamanya." Oceana langsung memeluk sahabatnya, memberikan kekuatan dan semangat. "Nangis, Sam. Itu tandanya bukan karena lo lemah tapi karena lo punya hati. Gue siap jadi sandaran lo." Samudera membalas pelukan Oceana, ia menangis di lekukan leher sahabatnya. "Papa, Na. Gue belum ikhlas." Bukan hanya Samudera yang menangis tetapi juga Oceana. "Lo yang selalu bilang, harus mengikhlaskan kita hanya perlu berdoa untuk kebaikannya." Samuderas melepaskan pelukannya dan menghapus air mata Oceana. "Jangan nangis." "Sam, lo tahu gak gue nungguin lo ucapin happy birthday ke gue sampai rela begadang tapi gak ada, gue kesal sama lo kalau ketemu mau gue hajar tapi pas paginya gue dikasih tahu sama Mama lo gak ada, gue langsung minta antar Papa ke sini." Oceana berusaha menghibur hati Samudera dengan ocehan panjangnya. "Happy birthday, Na." Samudera mencium kening sahabatnya itu dengan penuh kasih. "Maaf gue bukan orang pertama, bukan karena gue lupa tapi karena gue kacau sampai gak pegang hape." Samudera menyeka air mata sahabatnya. "Gak apa-apa, lupain aja. Sekarang keadaan Tante Rania sama Aurel gimana?" "Aurel lagi jagain Mama yang sejak Papa dimakamkan gak mau ngomong." Oceana menggandeng Samudera. "Ayo kita lihat Tante." Setelah sampai di kamar Mamanya Samudera, Oceana langsung memeluk wanita paruh baya itu yang sudah ia anggap sebagai Ibunya sendiri. "Tante harus semangat. Ikhlasin Om Andre, Tante. Berdoa semoga Om Andre ditempatkan di tempat yang terbaik." "Makasih, Na." Aurel dan Samudera tersenyum karena akhirnya Rania mau berbicara. Oceana melepaskan pelukannya. "Tante makan dulu ya." Rania menggeleng. "Mau tidur." Setelah Rania memejamkan matanya, mereka bertiga keluar kamar. Oceana sangat paham bagaimana perasaan mereka saat ini, jadi ia harus menjadi penyemangat. "Sam, Rel. Udah makan?" Mereka menggeleng bersamaan. "Ayo makan dulu, gue juga lapar masa. Tadi 'kan mau sarapan, eh gak jadi karena langsung ke sini." "Bawel." Samudera langsung menarik Oceana ke lantai bawah yang diikuti oleh Aurel. Asisten rumah tangga sudah menyiapkan makanan di atas meja, mereka menarik kursi masing-masing. Tapi Aurel dan Samudera tidak berniat makan. "Apa perlu gue suapin kalian?" Samudera terkekeh dan mulai mengambil nasi goreng begitupun dengan Aurel. "Makasih, Kak," Ujar Aurel. Oceana tersenyum tipis. "Gak usah terima kasih, kalian itu udah aku anggap keluarga sendiri." Aurel mengangguk. "Oh iya sih lupa, 'kan Kak Oceana calon istrinya Bang Sam." "Eh?" ujar Oceana dan Samudera bersamaan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD