Ketika baru menyelesaikan suapan terakhir, ponselnya yang ada di meja ruang tv berbunyi.
Sita menghela napas dan meminum air mineral sebelum melihat siapa yang menelepon—Mama.
"Assalamualaikum, sayang sudah pulang?"
Sita mendaratkan b****g diatas sofa "Waalaikumsallam, mah. sudah."
"Sudah makan?" Tanya Mama seperti biasa, selalu mengingatkan anaknya makan.
"Sudah ma, ada apa?"
Terdengar helaan napas di seberang telepon. "kok mama telepon, malah tanya ada apa. Kamu ini gimana sih!"
Sita memijit keningnya yang tiba-tiba pusing. "Sita bicara fakta, biasanya Mama telepon pasti ada tujuannya." Sudah pasti setelah ini, mereka akan bertengkar.
"Apa pantas kamu berpikir begitu, ada juga kamu yang harusnya sering telepon mama. Tanya kabar orang-orang disini. Anak jaman sekarang ya, ke balik! Harus orang tua dulu yang telepon, nggak punya inisiatif kamu buat menanyakan kabar mama, kabar papa atau kabar—“
Sita menyela ucapan mama-nya "Ya.. iya Mama, maaf Sita hanya sedang pusing sama kerjaan. belum telepon mama lagi hari ini. Jadi bagaimana kabar kalian semua?"
"Udah bosan Mama dengar alasan kamu." Mama menjeda ucapannya, "Jadi kapan kamu pulang ke Jakarta?" pertanyaan yang ingin Sita hindari.
"Ma, kita sudah pernah bahas ini bahkan terlalu sering!"
Mama berdecak lagi, "Seringlah jelas, orang kamu tidak ambil keputusan. Pulang kalau hari raya Idul fitri doang! Seberapa jauh sih, Bandung-Jakarta. Mila yang di luar negeri saja setahun bisa dua kali pulang ke rumah."
Sita memang hanya memutuskan pulang ke Jakarta satu tahun sekali, tepatnya hari raya Idul fitri itu pun hanya beberapa hari dan itu berhasil membuat Mama marah. Tidak bosan-bosannya meneror, agar Sita berubah pikiran dan mau kembali tinggal bersama mereka.
"Mama sudah setuju, saat Sita memutuskan pergi dari rumah" Sita kembali memperingati.
"Mama juga lelah coba bujuk kamu supaya berubah pikiran, mungkin jika mama atau papa telah tiada, kamu baru akan pulang."
Sita menegakkan punggung, kembali mengusap wajahnya. "Ma, stop.. jangan bicara seperti itu!"
"Biarkan, biar kamu puas sekalian. Orang tua masih hidup ko dijauhi, Apa kamu punya kekasih di sana?"
"Mama yang lebih tahu jalan hidupku, sulit sebelum sampai di posisi ini. Mama yang tahu jika aku menjalin ikatan tersebut, maka aku harus memikirkan bukan hanya perasaanku saja."
Berharap mama akan berhenti memaksanya. "Pikirkan sekali saja nak, kami masih bisa memberi materi. Tapi, kami tidak akan mampu memberi waktu yang hilang jika suatu saat kamu menyesali keputusan yang mengasingkan diri ini dari keluarga."
Mama mengucapkan salam, sebelum mengakhiri panggilan mereka. Sita hanya bisa memandang lirih benda pipih tersebut, seakan bisa menatap langsung wajah sang Mama yang baru saja berbicara dengannya.
Sita sangat merindukan keluarganya, dia yang terlahir sebagai putri bungsu di keluarganya, terbiasa tumbuh dengan penuh kehangatan dan kasih sayang, terus dia bisa apa, jika harus menahan dirinya. Ini pilihannya, memilih untuk mandiri bukan pelarian seperti apa yang selalu keluarganya tuduhkan selama ini.
***
Kepala yang terasa sakit, mungkin akibat kurang tidur membuat dia ijin datang terlambat.
"Baru dateng, ta? Itu muka pucat banget, lo kurang sehat?" Rere menegurnya, begitu Sita baru saja melangkah masuk lobi hotel.
"Hai re, dari mana?” Sapanya. “Iya telat nih gue. Tadi pagi sedikit pusing aja, kurang tidur. Sekarang sudah mendingan."
Keduanya mengobrol sambil bergegas ke lantai atas hotel ini, Sita menuju lantai empat sementara Rere ke lantai lima.
"Abis nganterin berkas ke departemen F&B, kenapa gak cuti aja sih, say?"
"Banyak kerjaan, Re. Gue masih sanggup. Daripada gara-gara sehari tidak masuk, entar kerjaan numpuk berhari-hari malah makin bikin gue semakin pusing."
Rere tahu betul Sita perempuan tangguh yang jarang mengambil cuti kerja, bahkan disaat karyawan lain mengambil segala macam jatah cuti tahunan mereka untuk berlibur. Tidak dengan Sita. Selama mereka kenal, Rere cukup tahu bahwa Sita belum sekalipun mengambil jatah kerja cutinya.
"lo nggak aka rugi, sesekali istirahatin badan sama pikiran."
Sita terkekeh menanggapi peringatan sahabatnya itu. "Nanti aja deh, kapan-kapan kalau memang otak gue sudah tidak bisa mikir sama sekali dan pastinya udah jenuh sama BM hotel ini."
"Terserah deh" Rere sudah malas mengeluarkan pendapatnya lagi, jika hadapi Sita yang keras kepala. "Lo tuh manusia Sita, badan lo juga butuh perhatian. tidak cuman lembaran angka duit yang serinya tidak ada ujungnya."
“Re—“ Sita akan menjawab, Rere malas mendengarkan, ketika pintu lift berhenti dilantai empat dan terbuka. Rere langsung mendorong tubuh Sita agar cepat keluar,
"Malas gue dengar lo ngeyel, sana cepat keluar! Sebelum gue berubah pikiran buat nyeret lo pulang!"
Sita tertawa mendengar kekesalan temannya, melambaikan tangan. "Bye, Bunda Rere, sampai ketemu entar siang." Sebelum pintu lift itu kembali tertutup, Sita melihat dengan jelas sahabatnya memberi tatapan garang.
***
"Teh, tadi dicariin ayang dhito!" Tyas langsung laporan ketika melihat Sita mau buka pintu ruangannya.
Dhito merupakan director of human BM Hotel ini, Tyas pengagum lelaki itu sehingga punya panggilan khusus—ayang Dhito.
"Ada perlu apa?"
"Ayang dhito nggak nitip omongan, apalagi nitip perasaan.” Guraunya.
“yang serius kenapa, Tyas!” tegur Sita.
Tyas menyengir. “Sepertinya sih berhubungan sama lowongan staf finance."
Sita mengganguk, baru ingat ada janji sama dhito hari ini. ada penambahan staf. Sita bertugas langsung untuk menentukan kriteria yang cocok sebagai karyawannya.
"Oh.. Iya gue baru inget, thank, tyas. Lo balik kerja dih, beresin kerjaan lo. kalau bisa sebelum jam makan siang. Ikut gue meeting sama orang dapur dan F&B"
Senyum lebar terbit di wajah Tyas "Siap Bos!" Semangat sekali, dia segera kembali ke mejanya.
***
Sita meletakkan tas di atas meja kerjanya, menyambar gagang telepon untuk terhubung langsung ke ruang dhito "Lisna, ini saya Sita. Tolong sambungkan ke pak dhito" katanya pada sekertaris dhito.
Tidak lama panggilan tersambung langsung pada Dhito "Ya, Sita kamu sudah datang?"
"Maaf yah dhit, benar deh tadi aku lupa ada janji sama kamu. Aku ke ruangan kamu atau kamu yang kesini?"
Untuk informasi, dhito ini pria lajang yang berkarisma hingga banyak karyawan perempuan yang suka, salah satunya Tyas kalau Sita sudah kebal dengan karisma dhito. Usianya berbeda tiga tahun dari Sita. Mereka berteman baik, selain di rapat-rapat besar bersama bos-bos BM hotel. Dhito dan Sita sepakat untuk tidak bersikap formal.
"nggak apa-apa malah aku kira kamu bakal nggak masuk hari ini. Kalau gitu biar aku keruangan kamu, tapi abis makan siang."
“Aku kan chat kamu, bilang ijin telat bukan tidak masuk.” Jawab Sita mengingatkan.
Dhito terkekeh, “Sori, Chat lo kayaknya ketimbun Chat masuk lainnya.”
“Banyak fans sih ya..” gurau Sita lalu meringgis saat ingat ada meeting penting sehabis makan siang "Sayang banget dhit, abis makan siang aku ada meeting sama orang kitchen dan F&B"
"Ya sudah kalau gitu habis meeting saja kamu kabarin aku kalau sudah selesai tidak bisa kita tunda lagi ta, soalnya Senin ini kita mulai buka lowongan untuk departemen kamu."
"Oke, Thank dhito."
Terdengar tawa dhito disebrang telepon "Sama-sama. lagian, apa sih yang tidak buat wanita special, Sita."
Sita membalas dengan tawa ringan juga, malas menanggapi gombalan dhito yang sudah biasa didengarnya. See, inilah salah satu alasan Sita kebal karisma Dhito.
Sita kembali menekuni lembaran kertas yang ada dimeja. Sebagai financial controller bertugas mengatur income-outcome hotel ini, mengatur pengeluaran untuk departemen lain. Jika ada pengeluaran yang berlebih maka akan dia usahakan untuk dialihkan.
Banyak orang menghindari angka saat sekolah, maka Sita mencintai pelajaran matematika atau akutansi, menjadikan bagian dalam hidupnya. otaknya memang encer, membuat tidak heran jika dia selalu jadi juara umum saat sekolah dulu dan kariernya sekarang ini.
[to be continued]