SL-8

1383 Words
Mata indah Sita terus menatap wajah Azmi yang masih tertidur pulas, bersyukur pada Tuhan atas wajah yang dimiliki Azmi tak menyerupai pria itu, tetapi lebih mirip dirinya, dan sita juga berdoa, semoga putranya tak juga menuruni sikap pengecut yang dimiliki pria itu. Kelopak mata itu perlahan terbuka, menatap sita tak berkedip "Mama!" "Ya sayang" Satu tangan Sita terulur mengelus kening putranya, dan satu tangan lain menopang kepalanya, menghadap Azmi. "Mama jangan pergi lagi, ya!" mata bulat bening Azmi kembali berkaca-kaca, ucapan yang keluar dari bibir mungilnya menyayat hati sita. "Mama tidak pernah meninggalkan Azmi. Mama kan harus kerja. Harus cari uang buat biaya sekolah Azmi, buat jajan Azmi, buat beli mainan Azmi." "Azmi tidak apa-apa ko ma, kalau tidak sekolah, tidak jajan atau tidak beli mainan robot! Asalkan Azmi selalu sama Mama!" Sita tak mampu lagi menjadi kuat untuk hari ini. Ya tuhan, ibu macam apa aku selama ini. Putranya begitu mencintaiku, merindukanku. bisik hatinya. "lho sayang, ko ngomong gitu. Azmi sayang Mama?" Si kecil mengangguk, "kalau begitu harus sekolah. Azmi bilang mau jadi kakek yang keren bisa buat mobil banyak?" Putranya sangat mengidolakan Papa yang seorang mekanik mesin mobil terkenal, Azmi sejak kecil sudah diajak ke bengkel mobil milik Papa. Bahkan, hingga saat ini setiap ada waktu libur, Azmi selalu memilih ikut kakeknya ke bengkel dibandingkan liburan ke tempat wahana permainan anak. Azmi dengan pemikiran polos, selalu mengira kakeknya yang menciptakan mobil di sepanjang jalan yang dia temui. Sita membiarkan putranya berpikir dengan caranya sendiri dan tak pernah membatasi ingin tahu putranya, walau dulu Azmi kecil pernah hampir memakan oli yang tergeletak di dekat mobil yang sedang di servis, untung saat itu Papa keburu mengetahuinya. Kakeknya pun membiarkan Azmi sejak dulu melihat kegiatan mekanik bengkelnya bekerja, ikut kotor ketika melihat kakeknya membenarkan mesin mobil. Yang paling sita ingat, Azmi selalu sengaja mengotori wajah dan bajunya dengan oli katanya.. 'Mama lihat Azmi, bisa buat mobil seperti kakek' "Azmi mau cepat besar seperti ayah Randy, ayah Wilda atau seperti kakek, jadi dengan begitu Mama tidak perlu pergi jauh mencari uang buat Azmi!" Azmi memang memanggil kakak dan iparnya 'ayah', sementara anaknya ini tak pernah membanggakan Papa kandungnya jika di hadapannya. Azmi, anak sekecil itu sudah memiliki kepekaan yang besar hingga tahu pembicaraan apa yang akan melukai hati Mamanya. Hal itu membuat Sita bingung, harus bersyukur atau khawatir. "Kalau begitu Azmi harus menurut sama nenek, kalau disuruh makan wortel atau bayam." Azmi Mengangkat wajahnya menatap sita "Tapi Azmi tidak suka, Mama!" Sita terkekeh melihat putranya tak berubah tetap memusuhi dua sayuran itu "kalau begitu, Azmi akan lama tumbuh tinggi seperti kakek, ayah Randy atau ayah Wilda." Azmi memajukan bibir, tanda protes. sita tersenyum gemas lalu mengecup bibir putra kecilnya singkat.    ***   "Kamu yakin mau dengar pendapat kakak kali ini, de?" "Aku tidak punya pilihan selain minta pendapat kakak, kan?" Mila mengangguk, dia paham. pembicaraan ini tak akan selesai justru berakhir jadi perdebatan panjang jika memilih bertukar pendapat dengan Mama. Kedua wanita sedarah itu duduk di sofa panjang yang berada di ruang keluarga lantai dua dekat dengan kamar mereka, kebetulan anak mereka sudah tidur. Mila menarik tangan sita, "jika ini kebaikan untuk Azmi maka lakukan, kakak sudah sering bicarakan ini sama kamu. Azmi bukan kesalahan dari masa lalu kamu. Anugerah yang Tuhan beri, agar mengingatkan apa yang kamu lakukan dulu, salah." Mila segera menggeleng ketika Sita akan menyela, "Sekali saja untuk hari ini, dengarkan kakak. Jika disini kamu yang merasa paling tersakiti itu jelas salah." "Ka, ini bukan lagi tentang siapa yang salah." "Benar, bukan tentang siapa yang salah. Lalu kenapa kamu masih menyalahkan diri sendiri? Tanpa sadar dengan begitu kamu malah sakiti darah daging kamu sendiri, ta." "Maksud kakak?" "Kamu hanya pura-pura tak mengerti." "Sita memang tidak mengerti arah pembicaraan kakak" Mila menghela napas sebelum melanjutkan, "Keputusan kamu pergi dari rumah, tepatnya dari pria itu. Korbankan waktu kamu sama azmi, disaat anakmu sedang proses tumbuh kembang, fisiknya memang sehat tapi mentalnya siapa yang tau, ta?" Jawabnya, Sita mencoba memahami, "ini akan berdampak panjang pada trauma yang memengaruhi hidup azmi, saat dewasa nanti. Kamu hanya terus berusaha menutupi lukamu dan membiarkan luka lain terbuka." Mila menatap Sita serius. "Kamu sadar, kenapa azmi tak pernah membicarakan lelaki itu yang setiap weekend menemuinya, padamu?" Saat mengatakan itu, Mila berhati-hati untuk tidak menyebut Indra. Sita menggeleng, karena benar. Ia tak pernah tahu kenapa anaknya tak pernah menyebut pria itu di depannya. Karena memang Sita tidak mau tahu alasannya, dia bersyukur atas pengertian anaknya itu. "Biarlah ka, baguskan jadi aku tidak sakit hati dan pura-pura bahagia saat anakku sendiri membicarakan si b******k itu." Kata Sita. "Egomu terlalu besar, ta." Mila menatap tajam sita. "Buka hati kamu, azmi bersikap begitu karena dia berpikir kehadiran papanya yang membuat kamu pergi." Mila melepas genggaman tangan Sita. "Azmi bersikap dewasa sebelum waktunya. Dia bahkan pernah bilang ke Mama, kalau azmi lebih memilih tidak melihat papanya lagi jika harus berada jauh dari kamu." Seharusnya Sita senang saat anaknya lebih menjaga perasaannya, pilih dia dibanding memilih Pria itu. Sita tetaplah seorang manusia. Jika dia ada diposisi Azmi dan dipaksa memilih orang tuanya, sita yakin dia tak akan mau memilih karena tahu mereka begitu penting dalam hidupnya. Menatap Mila, air matanya kembali meluncur. "lalu aku harus bagaimana, ka? maafkan pria itu? Mungkin aku akan bisa beri maaf, namun apakah itu akan kembalikan semuanya? Mengembalikan nama baik keluarga kita, mengembalikan Papa yang dulu begitu menyayangiku?" Mila membawa sita dalam pelukannya, "Memberikan maaf pada seseorang tak akan membuat kita lebih rendah dari mereka. Kamu tahu waktu tidak akan bisa diputar, semua tidak akan kembali menjadi normal seperti dulu. Tetapi dengan cara kamu memaafkan pria itu dan berdamai dengan masa lalu, kamu akan memulai hari dengan lebih ringan, semua akan terasa beda, ta. Beban di pundak kamu selama ini terasa berat, sebab masih terjerat akan sakit hati dimasa lalu kamu."   ***   Sita mengingat pembicaraan malam terakhir di Jakarta, kakaknya benar. Dia harus bisa berdamai dengan masa lalu, tapi sulit memutuskan untuk mulai dari mana. Azmi menangis saat ia berpamitan. Sita sudah bicarakan keputusan, akan membawa azmi pindah pada kedua orang tuanya atau hanya pada Mama, sebab Papa diam tak banyak komentar. Sementara Mama seperti biasa, bertahan dengan keinginannya agar Sita yang kembali tinggal bersamanya di Jakarta. Sita sudah yakin atas keputusannya ini, tiga bulan lagi setelah kenaikan kelas Azmi. Sita akan urus pindahan Azmi termasuk sekolahnya, Azmi sudah mengetahui perihal rencana Sita. Anak itu begitu antusias, untuk pertama kalinya Sita melihat kebahagiaan yang terpancar dari mata bulat bening anaknya. "Ta!" Rere mengibaskan tangan tepat di depan wajah Sita. "SITA ASTAGA!" tak tahan untuk tak teriak, karena Sita hanya mengaduk-aduk makanan. Sita terlonjak kaget. "Kenapa sih, Re? teriak-teriak segala!!" Hari ini Sita hanya makan berdua dengan Rere, Santi ada meeting keluar hotel dan Tyas ijin tidak masuk karena sakit gigi. "Iya belum, tapi akan!" Rere berdecak kesal. Sita mendelik padanya dan tak menanggapi. "lo lagi banyak pikiran, Ta? Sepertinya memang lebih baik lo nggak pernah ambil cuti deh, kalau ujungnya habis lo ambil cuti malah kelihatan banyak pikiran gitu. Biasanya orang-orang bahagia lho, mukanya segar nggak suntuk kayak lo selesai nikmati cuti."  "Gue cuman lagi kurang enak badan aja, Re. Kelelahan kali ya, kemarin sampai Bandung malam juga." "Ijin pulang aja ta, lo atasannya ini. Sesekali ijin pulang duluan tak akan membuat lo turun jadi bawahan lagi." "Kerjaan lagi banyak, ditambah Tyas yang biasa gue andelin juga gak masuk hari ini" "Iya sakit gigi tuh anak, kebanyakan ngomongin orang kali, ya?!" Mereka tertawa ingat ke biasaan buruk sahabatnya satu itu, "Tapi sepi juga nggak ada Tyas atau Santi gini." Sita tak menjawab, sepertinya hari ini nafsu makannya benar-benar hilang. Hal itu kembali mencuri perhatian sahabatnya. "Ta, lo nggak sendirian disini. Lo punya kita, kita ada buat lo. Siap 24 jam dengar cerita lo, walau kita nggak bisa jamin bisa selesaikan masalah yang lagi lo hadapi, kita ada dan fungsi teman sebagai tempat tampungan unek-unek, kan?" Sita menatap Rere, harusnya Sita lega mendengar ucapannya. Apakah ini jawaban Tuhan, untuk Sita mulai semuanya. Misalnya dengan terbuka pada Rere dan sahabatnya yang lain. Lalu bagaimana tanggapan mereka? Bahwa yang tampak didepan mereka ini adalah, Sita yang palsu. "Boleh gue tanya pendapat lo, re?" Rere mengangguk "Ya, tanya aja.." Sita menghela napas, dia menatap Rere barulah berujar.. "Apa pandangan lo buat orang-orang di luaran sana yang hamil di luar pernikahan?"   [to be continued]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD