SL-7

1446 Words
Sudah hampir sepuluh menit mata bening indah milik wanita itu masih setia memandang gerbang tinggi yang kokoh itu, seakan-akan menjadi tameng bagi yang ada di dalamnya. "Sudah sampai mbak, sesuai alamat diaplikasi. Apa salah?" ucap seseorang yang tak lain sopir taksi Online. Sopir itu heran, sejak tadi penumpangnya hanya diam, seperti tidak berniat turun hanya terus memandang ke arah rumah tersebut. Hari ini setelah terakhir kali saat lebaran enam bulan lalu, Sita baru kembali menginjakkan kaki di tempat dia di besarkan dalam keluarga yang begitu mencintainya. Memilih naik kereta dibandingkan mengendarai mobil sendiri selain lebih praktis, dia hanya mengambil cuti dua hari, tak ingin mengambil risiko yang akan membahayakan dirinya jika menyetir karena kelelahan, walau jarak Jakarta-Bandung bisa ditempuh hanya dua sampai tiga jam saja dalam keadaan normal. Setelah membayarnya, bergegas keluar dari mobil tersebut, Sita tidak membawa tas besar hanya tas selempang kecil berisi dompet, ponsel serta charger, tisu, bedak dan lipstik saja. Dia memang tidak perlu bawa baju ganti, sebab semua yang dia butuh kan sudah tersedia di rumah ini. Semua tanpa terkecuali, termaksud kasih sayang dan cinta yang begitu dia rindukan. Melangkah masuk setelah penjaga rumah membuka gerbang, menyapa dengan begitu ramah dan hangat. Dari jauh Sita bisa melihat, dua anak kecil laki-laki berbeda usia sedang asyik mengejar bola basket yang sedang dimainkan oleh dua orang pria dewasa lainnya. Anak laki-laki, sekitar berusia tujuh tahun itu lebih dulu menyadari kehadirannya. Anak laki-laki yang sudah terlihat sangat tampan, dengan kulit putih bersih, hidung bangir, memiliki tatapan tajam, warna bola mata hitam pekat, dan rambut hitam tebal berpotongan sangat rapi. Tawa yang menggema riang yang terdengar tadi perlahan hilang digantikan dengan mata berkaca-kaca. Sita merentangkan tangan, lututnya menekuk menyentuh tanah. Anak laki-laki itu langsung berlari kencang ke arahnya, dengan air mata yang tidak mampu lagi di tahannya. Hal tersebut mengalihkan perhatian ketiga manusia lainnya, hingga mengikuti ke mana anak laki-laki itu berlari sampai masuk dalam pelukan Sita, ia hampir terjungkal ke belakang, jika tidak segera menjaga keseimbangan tubuhnya. Tangan Sita melingkupi tubuh anak laki-laki itu, hangat menjalar hingga ke dalam hatinya. Rasa bersalah muncul ketika isakan dan suara lirih keluar dari bibir mungil itu. "Mama pulang, Mama pulang!" dia terus mengulangi lagi dan lagi kata-kata itu. "Ya sayang... Mama pulang!" Sita ikut berderai air mata, mendekap tubuh mungil 'Azmi Zaffar Irsyad' putranya yang berusia tujuh tahun, putra kandungnya.   ***   Delapan tahun lalu Sita melahirkan bayi laki-laki, lalu dimana laki-laki yang seharusnya jadi suami sekaligus ayah dari anaknya ini? Laki-laki itu ada, bahkan masih sering bertemu dengan putranya ini, hanya putranya. Tidak dengan Sita yang selalu sengaja menghindar. Sebab laki-laki itu tidak pernah menjadi suami, hanya sebatas ayah bagi putranya. Ayah yang terlambat menerima kehadirannya. Mereka menjalin kisah tidak sebentar, memulai sejak sekolah menengah atas sampai beberapa tahun lalu, dia merasa terlalu murah jadi seorang wanita hanya dengan keyakinan hubungan yang dia rajut tahunan, dia menggantungkan mimpi pernikahan bersama pria tersebut. Ya, Sita begitu yakin akhir kisah mereka sampai di pelaminan. Hingga Sita memberikan sesuatu yang harusnya di berikan pada suaminya. Delapan tahun lalu mendapati dirinya berbadan dua, namun pria itu tidak mau mempertaruhkan dirinya untuk sama-sama berjuang, bertanggung jawab atas kesalahan mereka. Pria itu terlalu pengecut, dengan alasan status mereka yang masih mahasiswa dan diberi makan orang tua. Pria itu memilih menghilang dan kembali empat tahun lalu untuk membawa pertanggung jawaban yang sudah sangat terlambat. Tak menutupi, menjauhkan putranya dari jangkauan pria yang paling dibencinya didunia ini, biarlah putranya tahu siapa ayah yang berperan membuat dia hadir ke dunia ini. cukup itu, tidak dengan hatinya yang telah hancur dan kecewa, Sita tak pernah mau lagi bertatapan langsung dengan pria tersebut, dan empat tahun lalu saat dia memutuskan pergi dari rumah ini. Alasan terkuatnya adalah kehadiran kembali pria tersebut. Keluarganya marah besar saat tahu dia hamil, ayahnya melayangkan tamparan kuat yang membuat, Sita saat itu kehilangan kesadaran. Walau begitu, orang tua tetaplah orang tua, keluarga tetaplah orang yang paling punya stok kata maaf tidak terbatas. Sita tak dihakimi, lalu diusir. Sebaliknya, keluarganya setelah itu semakin menjaga secara ketat sampai kelahiran putranya. Pria yang seharusnya ikut merasakan malu dan rasa bersalah ketika melihat kedua orang tua dan keluarganya itu, tak pernah muncul dan Sita harus menanggung beban moral sendirian.   ***   Sita masih mendekap erat tubuh putranya, aroma bedak bayi yang telah bercampur keringat tercium dari tubuh anaknya, jangan tanya mengapa ia bisa setega itu berada jauh dari putranya, dari darah dagingnya. Terpaksa menyiksa diri dengan rindu yang membelenggu, hanya karena menghindar untuk bertemu dengan pria yang paling dia benci disisa hidupnya, setelah pernah bertahun-tahun di cintainya. Azmi tidak ingin melepaskan dirinya pada Sita. Anak itu terus menempel dengannya bahkan saat duduk diruang keluarga. Azmi duduk di pangkuannya, menghadapnya dengan tangan memeluk leher begitu erat dan wajahnya disenderkan pada d**a Sita, hingga napas anak itu teratur. Tertidur. Sepertinya Azmi kelelahan karena menangis atau dia begitu nyaman di dekapan sang Mama yang sudah lama tak pernah dia rasakan. "Tidak ada ruginya kan, kalau kamu dengarkan Mama! Apa kamu masih belum berubah pikiran ta, setelah apa yang kamu rasakan hari ini? masih bisa bersikap kuat, jauh dari anak? Mama sudah sering ingatkan, materi masih bisa kami berikan. Tapi, kasih sayang, kehadiran tak bisa Mama dan keluarga gantikan" Omel Mama tak henti sejak tadi. Di ruangan ini menyisakan Sita dengan Mama, ka mila dan ali yang juga ada di pangkuan. Sementara ka Randy pamit undur diri untuk kerja dan nanti sore dia akan menjemput istrinya, dan anaknya yang berusia sepuluh tahun untuk ikut menginap disini. Sementara iparnya, Wilda pergi untuk mengurus kerjaan. Sita belum bertemu Papa yang keluar rumah hari ini lebih pagi. Entahlah, Sita merasa Papa sengaja menghindarinya. Mungkin, karena tahu Sita akan pulang hari ini. Mila mengelus bahu Mama, "Maaa, sudah janji sama Mila!" Dia prihatin melihat adiknya. "Kamu tahu Mama tak akan berhenti bicara ini, jika adikmu mau dengar Mama. Ini juga buat kebaikan dia dan cucu Mama!" Ucapnya tegas. Sita sangat tahu akan tujuan Mama, kedua orang tuanya begitu sayang dan mencintai putranya. Namun alasan dia kuat, kebencian yang mendarah daging memaksanya untuk bersikap keras kepala dan egois. Jangan menghujat Sita sebagai ibu yang jahat, sebab Sita seorang wanita biasa. Tak mudah berlapang d**a memaafkan pria tersebut. Tidak semudah itu. Mengandung sembilan bulan seorang diri tanpa suami, tangan hangat yang selalu menyentuhnya penuh sayang berubah jadi hal paling menakutkan kala itu. Sita tidak pernah marah atas tamparan kencang yang dilayangkan Papa. Jika pun berniat menghabisinya hari itu, Sita akan senang hati menerima. Asalkan hal itu bisa menebus kesalahan dan rasa kecewa terhadapnya. Sita memakai topeng, di kota pelarian selama empat tahun ini. Bohong, jika dia terbuka dan membagi suka-duka pada wanita yang merangkulnya sebagai sahabat. Sita hanya tak mau mereka menerima Sita karena rasa kasihan, atau terlalu takut dipandang sebelah mata. Seperti yang telah di dapat sebelum pindah ke Bandung, empat tahun lalu. Tidak ada yang menjamin bukan, jika muncul saat itu membawa jati dirinya di kota itu. Dia akan berada diposisi ini, mendapatkan pandangan hormat dan disegani. Mendapatkan teman yang begitu tulus. "Jika begitu Mama harus setuju, Azmi tinggal sama Sita di Bandung!" "Kamu terlambat ta, harusnya dari dulu kamu membawa Azmi tinggal bersamamu!" Mama benar, dia terlambat. Harusnya membawa Azmi empat tahun lalu. “Terlambat lebih baik, dari pada tidak sama sekali.” Berbeda dengan Mama, Mila ikut mendukung. "Mama tahu jika aku membawa Azmi empat tahun lalu, kemungkinan besar pria itu akan mengikutiku!" Sebelum ini, Sita yakin pria itu akan menyusulnya jika bawa Azmi pindah, tapi sekarang dia tidak takut lagi. Azmi, miliknya. Pria itu tidak berhak membuat jarak diantara dia dan putranya lagi. "Kamu sampai hari ini, belum bisa memaafkan Indra?" Sita menegang, ketika Mila menyebut pria yang sudah dilupakan namanya. Menatap tak suka pada kakaknya, tak mau meneruskan pembicaraan ini lagi, Sita bangkit. Membawa putranya ke kamar, yang berada di lantai dua rumah ini. Kamar yang menjadi saksi, air mata yang tak pernah kering selama sembilan bulan mengandung Azmi. Tempat dimana, Sita berniat mengakhiri hidup, saat sang Papa menolak memaafkan, bahkan tak mau memandang wajahnya lagi sampai sekarang. "Kamu mau ke mana Sita? Mama belum selesai bicara sama kamu!" "Mama mau teruskan pembicaraan yang membuka luka Sita? Mama mau membuat Sita menyesali keputusan, pulang hari ini?" lalu Sita memandang kakaknya, "kakak lupa? Jika nama itu terlarang untuk telinga Sita!" lalu Sita benar-benar pergi membawa putranya. Mama menunduk, air mata sudah terbendung di sudut mata, akhirnya keluar. Dia telah kehilangan putri bungsu yang begitu ceria, sejak delapan tahun lalu. Mila mendekap tubuh ringkih yang telah bergetar itu, "Ma, kita sudah bahas ini sebelum Sita datang. Tidak akan memaksanya lagi, yang harus kita lakukan sekarang, hanya mengembalikan Sita seperti dulu, tanpa harus mengungkit yang telah terjadi."   [to be Continued]  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD