Bab 1

940 Words
"Pak--" "Duduklah, temani saya makan siang." "Tapi--" "Ini perintah, Naura." Wanita berambut sebahu itu akhirnya mengangguk kaku. Sebenarnya ia merasa gugup dan tidak nyaman jika harus berduaan dengan bossnya. Akan tetapi, ia juga tidak bisa mengabaikan perintah sang atasan. Bukan tanpa sebab, Naura selalu merasa gugup saat berdua dengan Attar. Pesona sang atasan yang tidak bisa ia tampik, selalu mampu membuat dadanya berdebar kencang jika sedang berdekatan. Attar, pria tampan dengan berjuta kharisma, yang mampu membius wanita mana saja yang melihatnya, tidak terkecuali dirinya. Namun sayang, Naura tidak boleh menunjukkan kertarikan itu karena ia sadar akan posisi. Bukan hanya karena ia hanya seorang bawahan, tetapi juga status Attar yang sudah tidak sendiri. Ya, Attar pria beristri. Itulah alasan mengapa Naura selalu berusaha menjaga jarak, meskipun sang atasan pun selalu berusaha meniadakan jarak itu. Tidak salahkah jika ia merasa, Attar pun menyimpan perasaan khusus padanya? Bisa terlihat dari sikap pria itu yang begitu perhatian, melebihi seorang atasan pada bawahannya, seperti saat ini. "Kalau makan itu pelan-pelan, jadi belepotan kan," tegur Attar seraya mengambil tissu, kemudian mengelap sudut bibir yang terdapat butiran nasi di sana. Untuk sesaat, mata mereka beradu pandang. Keduanya terpaku dengan debaran kencang di d**a masing-masing. "T-terima kasih, Pak." Keduanya tersenyum canggung. Attar menggaruk pelipisnya yang tidak gatal karena salah tingkah. Wanita di dekatnya ini, entah mengapa membuatnya sulit mengalihkan pandangan. Naura, gadis yang sudah dua bulan menjadi sekretarisnya. Gadis berpenampilan sederhana, tetapi mampu membuat Attar terpesona. Gadis yang perlahan memberinya kenyamanan, yang sudah lama tidak ia rasakan saat bersama Nada, istrinya. "Kita lanjut makan, setelah itu langsung ke ruang meeting." Attar berusaha mengusir kecanggungan di antara mereka dengan mengalihkan pembicaraan. Naura pun menurut. Ia kembali menyuapkan makanan meski fokusnya bukan lagi ke sana. Andai saja .... Ah, Naura tidak ingin berandai-andai. Ini salah ... jelas salah. Ia tidak boleh menaruh harapan lebih pada atasannya. Ada hati yang harus mereka jaga. Naura tidak ingin menjadi duri dalam rumah tangga Attar dan istrinya. * * * "Terima kasih, Bapak sudah berkenan mengantar saya. Maaf kalau saya tidak bisa mengajak Bapak untuk mampir. Ini sudah malam dan saya tidak ingin terjadi salah paham," ucap Naura ketika Attar mengantarnya sampai ke teras rumah. Pria itu turun dari mobilnya demi untuk memastikan Naura sampai dengan selamat. g**g kecil yang harus mereka lalui, membuat Attar tidak bisa menggunakan mobil untuk sampai ke halaman rumah. "Tidak apa, saya mengerti. Kamu tinggal dengan siapa? Orang tuamu?" tanyanya seraya meneliti sekitar. Nyaman dan asri, itu kesan yang pertama kali Attar tangkap. "Saya hanya tinggal dengan Ayah. Ibu saya sudah meninggal." "Oh, Maaf. Saya tidak tahu." Nada suara Attar terdengar menyesal. "Tidak apa, Pak." "Ya sudah, kalau begitu saya pulang dulu. Langsung tidur, jangan begadang. Ingat, besok kita pasti sibuk." "I-iya, Pak." Naura begitu gugup. Perkataan Attar sarat akan perhatian dan itu membuatnya tak mampu menyembunyikan rona di wajah. "Assalamualaikum." "Waalaikumssalam." Ia tatap tubuh Attar yang perlahan menjauh. Pipinya masih memanas. Perhatian itu, mengapa Naura begitu menyukainya. Namun, senyum yang tersungging di bibirnya perlahan memudar, mengingat jika pria yang sedang ia nikmati perhatiannya itu adalah suami orang. ??? "Hai." "Eh, kamu sudah pulang? Kapan sampai? Kok gak ngabari Mas kalau pulangnya hari ini?" cecar Attar ketika melihat sang istri yang sudah berada di kamar mereka. Nada bangkit dari duduknya, langsung menyongsong tubuh suaminya untuk dipeluk. "Kangen," rengeknya. "Dasar manja." Attar terkekeh. Bibirnya mengecup rambut sang istri berkali-kali. "Aku tuh harusnya pulang besok. Tapi gak tahu kenapa keinget kamu terus. Jadinya ya, mohon-mohon deh sama Johan buat pulang lebih awal. Untung dia ngerti dan kasih izin," papar Nada. Sengaja, ia gesekkan hidungnya ke d**a bidang sang suami. "Mas sudah makan?" Tubuh Attar sedikit menegang mendengar pertanyaan dari istrinya. Tadi, sebelum mengantar Naura pulang, mereka sempat makan malam di sebuah restoran. Entah mengapa ia sangat ingin mengajak Naura makan bersama seperti tadi siang. Apa mungkin karena ia ingin lebih lama menikmati kebersamaan dengan gadis itu? "Mas, ditanya kok malah melamun?" "Eh, iya. Tadi Mas sudah makan. Soalnya gak tahu kalau kamu sudah ada di rumah. Maaf, ya." "Gak papa, aku ngerti. Ya sudah, Mas mandi dulu, gih! Aku sudah menyiapkan kejutan," bisik Nada dengan nada s*****l. Attar yang mengerti arah pembicaraan sang istri, tersenyum lebar. "Oke, Mas mandi dulu. Sudah tidak sabar ingin lihat kejutannya apa." Attar berlalu ke kamar mandi. Dihidupkannya shower untuk membasahi tubuhnya. Ia pejamkan mata, mencari sensasi yang dulu selalu hadir jika saat bersama Nada. Namun sayang, Attar tak menemukannya lagi. Hambar, itu yang Attar rasakan saat ini jika sedang bersama sang istri. Apa mungkin karena Nada terlalu sibuk dan sering meninggalkannya bepergian? Atau karena anak yang tak kunjung hadir di antara mereka? Bayang wajah Naura yang tengah tersenyum manis, tiba-tiba berkelebat. Attar sempat menghentikan gerakannya membersihkan tubuh, tetapi kemudian, senyum terukir dari bibirnya. Naura ... ingatan tentang gadis itu tak dapat Attar hapus, meskipun saat ini ia sedang bersama Nada. "Mas, kok lama?" Teriakan Nada dari arah luar, membuyarkan khayalan Attar tentang Naura. "Iya, Sayang. Sebentar!" Attar mempercepat mandinya. Ia keluar dengan hanya memakai handuk yang menutupi bagian bawah tubuhnya. "Mas." Attar terpaku melihat penampilan Nada yang begitu menggoda. Gaun malam yang istrinya kenakan, membuat gejolak kelelakiannya muncul seketika dan itu merupakan hal yang normal. "Ini kejutannya?" tanyanya dengan nada suara yang sudah terdengar serak. "Hmm." Nada menjawab sambil berjalan anggun mendekati Attar. "Mas suka?" "Sangat." Hening. Dua insan yang satu minggu tidak bertemu itu larut dalam gelora h*srat yang menggebu. Pakaian sudah sama-sama mereka tanggalkan. Attar pun membaringkan tubuh sang istri dengan perlahan ke atas ranjang. Namun, baru saja akan memulai, perkataan Nada yang tiba-tiba, menyurutkan h*srat Attar yang sudah naik ke ubun-ubun. "Jangan lupa pakai p*ngaman. Aku belum ingin hamil." * * Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD