PART. 7

737 Words
Rara membawa motornya dengan cukup cepat, sampai di depan sebuah rumah, ia membelokan motornya ke halaman. Rumah itu separuh dindingnya terbuat dari beton. Separuh lagi dari kayu. Dua orang anak kecil perempuan tampak ke luar dari rumah, salah satunya tampak dengan menuntun sepeda. "Assalamualaikum," sapa Rara pada dua bocah perempuan itu. "Walaikum salam, Mbak Rara." Kedua anak itu mencium punggung tangan Rara. "Mbah, Mbak Rara sudah datang!" "Oh, iya." Seorang wanita usia enam puluhan ke luar. "Assalamualaikum, Mbah." Rara mencium punggung tangan wanita tua itu. "Walaikum salam." "Sudah siap, Mbah?" "Sudah." Si Mbah masuk ke dalam rumah diikuti Rara, lalu Rara ke luar dengan membawa boks dari plastik berukuran cukup besar. Diletakkan boks di atas jok sepeda motornya. Si Mbah memegangi boks, sementara Rara mengambil tali dari karet bekas ban dalam sepeda motor dari boks yang ada di bawah stang motor maticnya. Rara mengikat boks dengan cepat, karena hal itu sudah setiap hari ia lakukan, selama lebih dari dua tahun ini. "Eh, kalian cepat berangkat." "Iya, Mbak." "Kami berangkat dulu ya, Mbah, Mbak Rara, Assalamualaikum." Dua bocah kembar itu berboncengan, mereka pergi ke sekolah mereka. "Rara pergi dulu ya, Mbah. Doakan semoga jualannya laris manis, aamiin." "Aamiin, terima kasih banyak, Mbak Rara. Bantuan Mbak Rara selama ini sangat berarti buat si Mbah ini, dan juga cucu-cucu Mbah. Semoga Allah memberikan apapun yang Mbak Rara inginkan, aamiin." Mata Si Mbah berkaca-kaca, dan itu terjadi setiap hari. "Rara berangkat ya, Mbah. Assalamualaikum." Rara mencium punggung tangan Si Mbah. "Walaikum salam, hati-hati Mbak Rara." Rara menyalakan mesin motornya, lalu meninggalkan rumah Si Mbah yang terus menatapnya. Si Mbah teringat akan pertemuan pertama dengan Rara. Saat itu ia masih menjajakan dagangannya. Ia kelelahan, dan terduduk di tepi jalan. Rara yang menolongnya. Dan kemudian mengantarkan ia pulang. Dan, gadis itu juga yang punya ide untuk membagikan dagangannya ke beberapa warung, juga kantin di sekolahnya. "Ya Allah, hamba mohon, limpahkan kebahagiaan selalu untuk Mbak Rara, aamiin." ☘️?☘️ Sementara itu di rumah sakit. Hati Vanda tengah berbunga-bunga. Ia tidak menyangka sebelumnya, kalau pria yang dijodohkan dengannya adalah pria yang ia cinta, Razzi. Sekian lama ia menyimpan perasaan cinta. Tapi, ia tak mampu untuk mengungkapkan pada siapa-siapa. Bahkan pada Rara juga tidak. Vanda merasa, perjodohan yang diatur Nininya, adalah cara Allah untuk mendekatkan mereka berdua. "Jangan senyum-senyum terus, Vanda. Nanti dikira orang kamu kesambet." Tegur Revano. "Abba ...." "Jadi?" "Jadi apa, Abba?" "Jadi, selama ini kamu sebenarnya sudah menyimpan rasa pada Razzi?" "Ehmm ...." Vanda menundukkan wajahnya yang merah padam. Revano meraih bahu putrinya, dikecup sisi kepala Vanda. "Abba bahagia, kalau kamu bahagia. Abba bersyukur, karena ternyata pilihan Ninimu, adalah pilihan yang tepat. Dia, pria yang kamu cintai, iyakan?" Kepala Vanda mengangguk. "Sebentar lagi, Paman Aska, dan Acil Sifa datang. Mereka datang, kita pulang." "Iya, Abba." "Eh, itu Razzi!" Revano menunjuk Razzi yang datang sendirian. "Assalamualaikum, Paman, Vanda." "Walaikum salam, ingin menengok Nini?" "Iya." Kepala Razzi mengangguk. Razzi membatalkan rencana menengok setelah pulang bekerja, karena sore nanti ada kesibukan menjelang lomba. "Vanda, antarkan Razzi ke kamar Nini." "Abba saja." Wajah Vanda kembali merona. "Ck, kamu ini, ayolah antarkan Bang Razzi menemui Nini." "Iya," Vanda bangkit dari duduknya, ia melangkah mendahului Razzi. Razzi mengikuti Vanda dalam diam. Meski Vanda terlihat lebih cantik dari Rara, lebih lembut dalam bersikap, lebih sopan dalam bertutur kata, tapi tetap saja, hanya Rara yang ada di dalam hati Razzi. Rara yang selalu bicara dengan suara keras, dan ceplas ceplos semaunya. Rara yang tak bisa diam. Rara yang selalu bisa membuat wajahnya merona, dan salah tingkah karena godaan yang Rara lontarkan. Rara yang sifatnya sungguh bertolak belakang dengan dirinya. 'Astaghfirullah hal adzim. Razzi, kamu sudah mengambil keputusan. Singkirkan nama Rara dari dalam hatimu. Mulailah belajar untuk menerima Vanda sebagai calon istrimu.' "Assalamualaikum, Nini, Kai, Acil Asma." Razzi mencium punggung tangan mereka semua. "Razzi, Nini senang sekali kamu datang. Nini ingin mengucapkan terima kasih, karena kamu bersedia memenuhi keinginan Nini." Mata Cantika berbinar, tanda kalau hatinya tengah bahagia. Razzi hanya bisa tersenyum. Ia merasa, keputusannya sudah tepat. Menyingkirian bahagia di dalam hatinya, demi kebahagiaan orang-orang di sekitarnya. Orang-orang yang ia sayangi. "Nanti, setelah Nini ke luar dari rumah sakit, baru kita bicarakan tentang pernikahan kalian. Kalian berdua siap, kalau pernikahan segera dilakukan?" Razzi, dan Vanda hanya mengangguk saja. Wajah keduanya menunduk, namun dalam eskpresi berbeda. Vanda dengan wajah merona, dan senyum sumringah di bibirnya. Razzi dengan mata terpejam, dan berusaha berdamai dengan hatinya yang sakit. BERSAMBUNG
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD