Sesosok tubuh bergelung di bawah selimut tebal yang membungkus tubuhnya. Tak peduli dengan sinar matahari yang menerobos masuk melalui celah-celah gorden yang masih tertutup, jatuh di wajahnya. Sosok itu terlalu lelah untuk sekedar membuka mata. Ia masih mengantuk setelah tadi malam begadang memuaskan nafsu wanita yang sudah membayarnya.
Seorang wanita cantik keluar dari kamar mandi. Dia hanya mengenakan jubah mandi tipis untuk menutupi tubuh indahnya. Tante Desi memang tak lagi muda, usianya pertengahan kepala empat, tetapi wajahnya masih sangat cantik. Tak ada kerutan di wajah berbibir sensual itu, dia terlihat seperti seorang wanita berusia tiga puluh tahun.
Begitu pun dengan tubuhnya, masih kencang dan indah, tanpa campur tangan dokter bedah plastik. Desi Paramitha adalah seorang wanita karir yang selalu menjaga kebugaran tubuhnya sehingga di usianya yang sudah hampir memasuki setengah abad dia terlihat jauh lebih muda dari usia sebenarnya. Awet muda.
Desi tersenyum melihat Andra yang masih pulas. Tadi malam dia memaksa anak muda ini melayaninya sampai jam tiga pagi. Salahkan gairahnya yang tidak bisa padam meski berkali-kali mencapai puncak. Dia tidak akan puas sebelum dirinya sendiri terkapar atau pingsan.
Desi memang pengidap hiperseks. Dia selalu merasa haus, tak pernah puas. Dia juga mudah sekali terangsang, melihat Andra tidur menelungkup seperti ini saja, bagian bawahnya terasa lembap. Padahal Andra menutupi tubuh telanjangnya dengan selimut tebal yang tadi mereka gunakan bersama. Hanya sebelah kakinya saja yang terlihat, itu pun tidak seluruhnya, bagian paha ke atas masih tertutup selimut.
Desi menggigit bibir, dia sudah tidak tahan lagi, bagian bawahnya sudah basah. Pelan dia menaiki tempat tidur, tak ingin mengganggu tidur Andra yang pasti kelelahan. Jika bisa, dia akan bermain sendiri tanpa harus membangunkan Andra.
Desi menahan napas, Andra mengubah posisi tidurnya, sekarang ia tak lagi tengkurap, melainkan telentang. Selimut yang menutupi tubuhnya tertarik, bagian d**a sudah tak tertutup. Di bagian lainnya juga terlihat longgar, membuat senyum Desi semakin melebar.
Dengan pelan dan hati-hatilah Desi merangkak lebih mendekati Andra. Tangannya terangkat, menyingkirkan selimut yang menutupi tubuh indah tanpa lemak yang membuat libidonya selalu naik dengan pesat bila melihatnya. Desi berusaha bergerak seringan kapas agar Andra tak terbangun.
Satu menit kemudian, selimut sudah tak lagi menutupi tubuh Andra. Desi mengumpulkannya ke kaki pemuda itu agar tidak susah untuk menariknya lagi. Dia berencana bermain mulus supaya tak diketahui oleh Andra. Bukan karena takut menyalahi kontrak kerja, melainkan tak ingin membuat pemuda berusia dua puluh tahun ini lelah.
Desi tak pernah khawatir tentang kontrak kerja mereka. Dia sudah menggelontorkan biaya tidak sedikit untuknya. Dalam dua minggu ini, dia bebas melakukan apa pun terhadap Andra. Hanya saja, dia tak ingin mengecewakan Andre yang merupakan saudara kembar Andra. Dia sudah berjanji pada gigolo kesayangannya untuk tidak membuat adiknya lelah.
Sebenarnya, dia b**********n dengan Andre karena hanya pemuda itu yang bisa mengimbangi permainannya di atas ranjang. Sayangnya, Andre baru saja pulang dari villa Agnes, teman satu profesi dan satu hobi dengannya. Agnes sudah lebih dulu mengontrak Andre sehingga dia harus menunggu beberapa minggu lagi untuk Andre memulihkan stamina.
Tidak ada Andre, saudara kembarnya pun jadi. Dia berhasil membujuk Andra untuk menerima tawarannya, menginap dua minggu di villa miliknya. Bayaran Andra memang tidak semahal Andre, permainannya juga tidak sepanas saudara kembarnya, tetapi cukup membuatnya menggelepar dihantam badai pelepasan.
Satu lagi, selana ini dia juga penasaran dengan Andra. Beberapa kali pemuda itu menolak tawarannya dengan alasan kesehatan. Katanya, Andre juga tidak mengizinkan. Dia tahu fisik Andra lebih lemah dari Andre, oleh karena itu dia tidak akan memaksanya.
Andre menceritakan semuanya padanya. Dia sudah lama b**********n dengan pemuda itu. Dia juga berniat untuk membiayai kehidupannya dan pengobatan Andra jika sakit, tetapi Andre menolaknya. Pemuda keras kepala itu tak ingin terikat, dia ingin bebas bekerja melayani siapa pun.
Mata bulat Desi melebar melihat Andra kecil yang ternyata sudah bangun. Mungkin karena reaksi alami setiap pagi semua pria, mungkin juga karena suhu udara yang lebih dingin dari biasanya. Mereka berada di villanya yang berada di daerah Bogor, sudah barang tentu udaranya jauh lebih sejuk dibanding ibu kota.
Senyum Desi mengembang sempurna, tangannya terangkat mengusap si kecil yang sudah membesar dan tegak sempurna. Kepala jamurnya mengilap karena cairan yang keluar. Tak sabar Desi memasukkan ke mulutnya, mengulumnya seperti dia mengulum lollipop.
Desi sangat bersemangat, ini adalah salah satu favoritnya. Suara-suara gumaman tak jelas dari mulut Andra menambah semangatnya memainkan si kecil yang sekarang memenuhi mulutnya.
Tak lama, Andra mengejang. Ia menyebut sebuah nama atau entah apa, dengan mata yang masih terpejam. Desi tak dapat menangkap jelas kata yang keluar dari mulut Andra, dia terlalu b*******h untuk mencari tahu. Telinganya hanya menangkap Andra menyebut cinta. Entah kata itu untuknya, atau untuk perempuan yang berada dalam mimpinya.
Iya, Desi yakin jika Andra tengah bermimpi sekarang. Mimpi melakukan sesuatu yang panas. Desi tersenyum, melepas jubah mandi, membiarkan tubuhnya polos. Udara di luar memang dingin, tetapi tidak di dalam kamarnya. Selain dia sudah menyalakan penghangat ruangan, dia juga memiliki penghangat alami yang bernama Andra.
Desi merayap menaiki tubuh Andra. Tangannya bergerilya di d**a bidang tanpa bulu dan lemak. Desi membungkuk, meninggalkan beberapa tanda merah pucat di d**a itu. Dua menurunkan tubuhnya perlahan, tepat di bagian bawah Andra yang kembali menggeliat. Matanya terpejam rapat saat si kecil memasukinya.
Desi menggeram tertahan. Bergerak dengan lembut setelah diam beberapa detik untuk penyesuaian diri. Sungguh, ini sangat menyiksa. Dia tidak terbiasa dengan kelembutan, dia lebih suka permainan kasar dan kuat. Desi harus menahan diri sekuat tenaga untuk tidak bergerak liar. Dia juga harus menahan suaranya agar tidak membangunkan Andra.
"Cinta...."
Sekali lagi kata itu keluar dari mulut Andra, dan kali ini Desi yakin jika itu adalah nama seorang perempuan. Mungkin nama kekasih Andra, atau perempuan yang sedang dekat dengannya, atau juga gadis yang disukainya, dia tak peduli. Yang diinginkannya sekarang adalah meraih pelepasan yang rasanya sudah di ujung tanduk.
Desi terus bergerak liar, tetapi tetap lembut. Beberapa detik kemudian tubuhnya yang penuh keringat, mengejang. Punggungnya melengkung, kepala mendongak, mata terbalik menyisakan putihnya saja. Dia baru saja diterpa gelombang maha dahsyat atas permainannya sendiri.
Desi ambruk di d**a Andra. Dia menahan dengan kedua tangannya agar tidak terlalu menimpa. Sedetik, Desi berguling ke samping Andra, dan berbaring di sisinya. Dia menarik selimut menggunakan kaki, menutupi tubuh polos mereka. Desi memeluk Andra yang tak juga terbangun meskipun sudah dikerjai habis-habisan olehnya. Dia tersenyum, memejamkan mata karena kantuk kembali menyerangnya.
***
Ibu kita dengan segudang aktivitas dan kemacetannya adalah hal biasa bagi warganya. Cuaca yang menyengat pun sudah merupakan hal yang wajar. Dengan banyaknya kendaraan bermotor menyebabkan polusi di mana-mana, membuat suhu udara di ibu kota menjadi semakin membakar.
Cinta mengusap keringat di pelipisnya. Seorang pembeli baru saja meninggalkan toko dengan beberapa potong bunga amarilis di tangannya, menghabiskan stok bunga terakhir. Untuk bunga amarilis, untuk bunga yang lain masih ada.
Cinta memasuki bagian dalam toko. Udara terasa lebih sejuk karena penyejuk ruangan yang terus menyala. Dia duduk di belakang meja kasir, membuka laci, dan mengambil ponselnya dari sana. Cinta menyalakannya, memeriksa apakah ada pemberitahuan pesan dari Andra. Namun, nihil. Tak ada satu pun pesan balasan apalagi telepon dari Andra.
Cinta mengembalikan ponselnya ke dalam laci dengan kecewa. Begitu banyak pesan yang dikirimkannya pada Andra, tetapi tak satu pun yang dibalas pemuda itu. Dia tahu, Andra sedang sibuk dengan kegiatan kampusnya, dan dia sudah berusaha untuk tidak mengganggu. Namun, apakah Andra tidak bisa meluangkan sedikit waktu untuk sekedar membalas pesannya. Dia khawatir, mereka tidak pernah selana ini tidak berkomunikasi.
Cinta menarik napas panjang, membuangnya dengan sedikit kuat melalui mulut. Rasanya lumayan lega, dadanya sudah tidak sesesak tadi. Tumpukan batu besar yang menindih sudah berkurang.
Di toko ini hanya dia sendiri karyawannya sehingga Cinta tidak khawatir dengan apa yang dilakukannya akan mempermalukan dirinya atau tidak. Toko bunga Nenek Ratna tidak seberapa besar, dia sendiri juga cukup untuk melayani pembeli dan pesanan, sehingga tidak memerlukan karyawan tambahan lainnya.
Cinta mengerucutkan bibir, kesal karena Andra tidak juga membalas pesannya, apalagi menelepon. Kekesalan yang membuat matanya menghangat. Cinta mendongak, mengerjap beberapa kali untuk mengusir air yang menggenangi matanya
Namun, gerakan Cinta terhenti saat matanya bertemu dengan sepasang obsidian yang tengah menatapnya datar. Pemilik obsidian itu berada tepat di belakangnya, ia menunduk untuk menatapnya.
"Cengeng."
Satu kata itu membuat Cinta kembali pada kesadarannya. Pipinya terasa memanas, cepat-cepat dia mengembalikan posisi kepala seperti semula, dan membiarkan genangan yang tersisa merembes, membasahi bulu mata lentiknya. Cinta mengusap sudut matanya menggunakan ujung jari. Sungguh, ini sangat memalukan. Bagaimana dia bisa menangis di depan Andre? Sejak kapan pemuda itu berada di belakangnya? Kenapa dia sampai tidak mengetahuinya?
"Buat lu!" Andre meletakkan sebuah bungkusan di atas meja di depan Cinta. "Lu pasti belum makan siang, 'kan?"
Cinta tak menyahut. Dia masih sedikit syok karena kedapatan menangis oleh pemuda yang memberikan makan siang padanya.
"Gue udah ngasih satu buat Nenek, lu makan aja itu sampe habis. Gie nggak mau lu kurusan pas ntar Andra pulang."
Seandainya saja dia tidak sedang menahan malu, atau seandainya yang berbicara tadi adalah Andra, sudah didapatkannya pukulan atau cubitan padanya. Namun, yang berbicara adalah Andre, Cinta tidak dapat melakukan apa-apa selain merasakan pipinya yang semakin memanas. Lagipula, Andra tak mungkin berbicara sepedas itu. Andra selalu lembut padanya.
Sebenarnya dia kesal, tetapi tak dapat melakukan apa-apa. Kenapa Andra harus meminta Andre untuk menggantikannya di toko? Padahal Andra bukan karyawan, dia selalu menolak saat Nenek Ratna memberikan uang gajinya. Kata Andra, dia membantu dengan sukarela. Seharusnya tidak ada Andre karena Andra tak tergantikan, apalagi hanya dua Minggu saja
Seorang pelanggan memasuki toko. Cinta yang ingin bangkit untuk melayani, mengurungkan niatnya. Andre sudah lebih dulu menghampiri pelanggan yang seorang perempuan itu. Entah apa yang mereka bicarakan, tetapi Andre bergerak ke arah kumpulan bunga aster berwarna merah. Tangannya yang besar mengambil beberapa tangkai, kemudian beberapa tangkai lagi yang berwarna ungu. Andre membungkusnya dengan kertas yang biasa digunakannya untuk membungkus bunga yang dibeli pelanggan, dengan cekatan.
Cinta mengerjap lagi, kali ini karena tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Benarkah Andre yang sudah melayani pembeli? Bagaimana bisa?
"Sejak kemaren gue merhatiin cara lu ngebungkus bunga makanya gue bisa."
Satu kalimat itu menjawab pertanyaan Cinta. Dia menatap Andre kagum, pemuda itu duduk di depannya. kedua tangannya berada si atas meja. Andre menyodorkan uang hasil penjualan tadi, meletakkannya di depannya kemudian beranjak.
Cinta mengembuskan napas lega. Dalam hari merutuki dirinya yang bisa kagum dengan seorang Andre Faresta yang disebutnya sebagai kulkas berjalan. Cinta menggeleng pelan beberapa kali, mengusir semua pikiran yang ada di kepalanya, termasuk soal Andra. Dia tak ingin memikirkannya untuk saat ini. Andra menyebalkan.
Cinta menopang dagu dengan kedua tangan. Sikunya menumpu pada sisi meja, tatapan lurus ke depan. Dia masih saja kesal pada Andra yang tidak memberi kabar apa-apa padanya. Rasanya sangat tersiksa, selain rasa khawatir yang sejak kemarin sudah dirasakannya.
Cinta melirik Andre. Pemuda itu duduk di satu-satunya sofa panjang yang ada di toko, sedang memainkan ponselnya. Jari-jari Andre menari dengan lincah di atas layar ponselnya. Apakah Andre sedang berbalas pesan dengan kekasihnya, ataukah dengan Andra.
Ada yang mengatakan bahwa rasa penasaran adalah perasaan paling buruk. Sebab rasa itu bisa membahayakan nyawa seseorang yang tengah dideranya. Cinta sudah sering mendengarnya, dan dia selalu berhasil mengalahkan rasa penasarannya. Namun, kali ini dia harus mengalah. Sepertinya seluruh rasa penasaran yang selama ini berhasil ditekannya, bersatu untuk mengalahkannya. Dia ingin tahu dengan siapa Andre berkomunikasi.
Cinta berdiri, beranjak menghampiri Andre, dan duduk di sampingnya. Tidak dekat, dia mengambil jarak hampir datu meter. Ini pun dia harus mengumpulkan seluruh keberaniannya. Dia akan menanyakan pada Andre bagaimana kabar Andra.
"Andre...," panggil Cinta ragu-ragu. Dia menggigit bibirnya sekilas sebelum melanjutkan. "Andra ... ada ... hubungin kamu, nggak?"
Cinta mengembuskan napas lega tak kentara melalui rongga hidungnya. Rasanya plong karena sudah bisa bertanya. Percayalah, tadi dia menahan napasnya saat bertanya.
"Nggak!"
"Eh?" Jawaban Andre yang hanya terdiri satu kata membuat Cinta mengerjapkan matanya. Dia sedikit terkejut, bukan hanya karena jawaban Andre, tetapi juga karena Andra tidak menghubunginya juga. "Beneran?" tanyanya. Saking terkejutnya, dia melupakan rasa malu dan takutnya pada pemuda yang masih memainkan ponsel. Andre tak menatapnya sedikit pun.
Andre tak menjawab, ia hanya menggelengkan kepala sebagai respons. Tidak ada yang perlu dijawab, Andra memang tidak menghubunginya. Tidak bisa karena pasti sedang melayani nafsu buas Tante Desi.
"Kenapa?"
Pertanyaan Cinta menarik perhatiannya. Andre mengalihkan fokus pada ponsel yang menampilkan sebuah permainan game online, pada wajah Cinta. "Sebab Andra sibuk," jawabnya tanpa beban.
Cinta tergagap. Dia baru sadar jika sudah menatap Andre lebih dari satu menit. "A ... aku tahu, cuman...."
Andre berdecak. Ia paling tidak suka berbicara dengan seseorang yang gagap. "Lu tunggu aja, Andra pasti hubungin lu kalo dia ada waktu."
Andre berdiri setelah mengatakan itu, mencari tempat yang lebih tenang untuk menyelesaikan permainannya.