Kelas 12-2 IPA....
Seperti halnya kelas lain. Kelas ini pun tak kalah ramai. Apalagi jika guru-guru mendadak mengadakan rapat. Bebas? Tentu saja.
Beberapa murid telah keluar dari kelas untuk sekedar ke perpustakaan, beberapa lagi sibuk bermain ponsel, ada juga yang membentuk kelompok-kelompok untum menghibah. Serta satu murid perempuan yang memilih duduk di pojokan sambil memainkan laptopnya. Ia merasa begitu asing di sekolah yang telah hampir tiga tahun ia jalani ini. Tentu saja. Tidak ada yang mau berteman dengannya, tepatnya mereka yang sengaja tak ingin dekat dengannya.
Andhira.
Dia memang pendiam sejak awal disekolah ini. Tapi tentu saja karena lingkungan kehidupannya yang membuatnya tumbuh menjadi gadis yang tidak percaya diri apalagi untuk menjalin hubungan pertemanan dengan orang lain.
Di SMP sebelumnya ia memang tak seperti ini. Semua berubah setelah dua tahun yang lalu. Segala bencana datang ke kehidupannya tanpa henti, membuatnya semakin terpuruk hingga menjauhkan diri dari dunia. Meninggalkan semua harapan yang sempat menguatkannya. Karena ia tau segala yang ia harapkan tak pernah jadi kenyataan. Segala yang ia inginkan tak pernah berhasil ia dapatkan. Bahkan semua miliknya dengan mudah diambil orang lain.
"Liat tuh. Anak autis." Ucap salah satu gadis berambut pendek yang tengah berkumpul dengan teman-temannya. Mereka tengah menatap ke arah Andhira yang sibuk dengan laptop dan sesekali memainkan ponselnya itu.
Ya, demi menarik diri dari mereka yang jelas tak menyukai kehadirannya, Andira lebih memilih laptop sebagai sahabat terbaiknya. Setidaknya laptop tidak akan mengkhianatinya apalagi membicarakannya dari belakang. Seperti yang lain.
"Tau! Apes banget gue sekelas sama dia mulu. Cepet lulus deh kita ya." Suara mengganggu itu lagi.
"Iya ya. Bisa ada orang kayak gitu ya. Pendiem banget. Sombong pula."
Entah sudah berapa banyak orang menyebutnya sombong, angkuh, songong dan yang lain. Bukan Andira bermaksud begitu, ia hanya lelah. Sebelumnya ia mencoba untuk dekat dengan beberapa siswi tapi hanya berakhir dengan ketidaknyamanan. Ya, mereka tak nyaman dengannya yang kurang bisa berkomunikasi ini. Mereka tak bisa menerima Andira yang pendiam ini. Mereka mengira Andira hanya gadis sombong yang suka memainkan laptop mahalnya saja.
Mereka tak pernah tau setakut apa Andira memulai ikatan hubungan dengan orang lain demi sebuah pertemanan, tapi tahukah yang diharapkan dari sebuah hubungan pertemanan itu? Kenyamanan. Dan Andira tak bisa memberikannya. Entah sejak kapan ia sendiri tak pernah merasa nyaman dengan siapa pun, terlebih ia takut harapannya akan sebuah ikatan pertemanan hanya akan menjatuhkannya kembali.
Andira selalu salah. Bahkan hingga kini hanya makian dan ledekan serta bullyan dari teman sekelasnya, yang membuatnya semakin introvert. Menjauh adalah hal terbaik yang dapat ia lakukan. Biarlah mereka mengenalnya sebagai sosok dingin dan sombong. Toh sebentar lagi ia akan lulus. Dan mudah-mudahan tak ia temui lagi teman-teman masa SMAnya.
Perut Andira mulai terasa lapar. Ia pun segera bangkit dari tempatnya. Ditatapnya sebentar orang-orang yang tadi membicarakannya. Mereka hanya diam dengan wajah sedikit ketakutan. Ya, entah kapan Andira memiliki tatapan tajam yang mampu menciutkan lawannya.
Seingat Andira mungkin sejak ia kelas satu SMA dan ia sempat dibully walau hanya secara verbal. Seperti kejadian barusan tapi lebih parah lagi. Waktu itu ia memilih diam hingga emosinya memuncak dan menyerang teman-teman sekelasnya dulu. Tentu saja pada akhirnya ia juga mendapat hukuman karena tindak k*******n yang ia lakuka. Tapi setidaknya ia merasa puas. Apalagi mereka yang dulu senang membullynya malah memilih pindah sekolah. Katanya takut kejadiannya terulang.
Jadi pada akhirnya yang trauma adalah si pembully? Aneh bukan?
Sejak itu Andira merasa tenang, sangat tenang bahkan cenderung kesepian. Ia tak peduli toh kesepian adalah sahabat terbaiknya sejak dua tahun belakangan ini. Tapi baru-baru ini mereka kembali mengusik, ya memang beda orang. Hanya sama saja walau tak separah dulu.
Sepertinya manusia memang dianugerahi mulut yang gatal untuk mengomentari kehidupan orang lain. Miris.
Murid gila adalah sebutan yang melekat pada diri Andira, sejak peristiwa amukannya ke beberapa siswi dua tahun lalu. Jika saja tak ingat diri, mungkin nyawa mereka hampir melayang di tangannya. Bahkan ia sempat berobat ke psikiater dan didiagnosa jika dirinya depresi.
Andira menjalani pengobatan hampir satu tahun hingga ia dapat mengendalikan emosinya. Seperti sekarang ini, diam adalah hal terbaik. Bagaimana pun juga orang dengan riwayat sakit mental sepertinya pasti selalu disalahkan. Padahal ia begini karena mereka juga. Tapi hanya ia yang disalahkan. Bukannya ia adalah korban?
"Eh! Dira. Mau makan apa? Biar gue traktir." Suara murid cowok yang sering mengganggunya itu terdengar. Ya memang beberapa murid cowok jauh lebih manusiawi dalam memperlakukannya. Walau sama menyebalkannya. Setidaknya mereka tidak membullynya dan mengabaikan soal perbuatannya dua tahun lalu. Bahkan mereka menganggapnya wajar dan memang harusnya Andira melakukan itu. Ada beberapa juga yang mendukungnya. Tapi Andira tetap pada pendiriannya untuk membatasi komunikasi.
"Emang lo punya duit?" Sindir Andira dengan nada sarkastik.
Gery, cowok yang baru saja mengajaknya bicara memegangi dadanya dengan memasang tampang terluka." Iya deh yang banyak duit mah. Gue mah apa atuh paling bisa neraktir lo somay gocengan doang." Ucapnya dengan memelas. Membuat dua teman yang duduk didekatnya menertawakannya.
"Gangguin dia mulu lo!" Bela satu suara lagi, yang sangat dikenal Andira. Kendaru, cowok yang dulu juga satu sekolah dengannya saat SMP. Satu-satunya orang yang tau sosok Andira di masa lalu. Sosok yang jelas sangat berbeda dengan dirinya sekarang. Tapi untungnya cowok itu gak bermulut ember jadi rahasia Andira aman. Setidaknya ia tak perlu takut ada yang mengorek soal privasinya. Jelas hal itu tak ia sukai.
"Ecieeee! Kendaru belain Andira mulu nih. Naksir ya!" Ledek Gavin, teman mereka yang lain.
"Yeeee! Biasanya yang doyan ledekin yang naksir!" Balas Kendaru.
"Ya gapapa sih. Andira manis kok. Ya gak, Dir?" Gery malah menoel pipi gadis yang sedang memesan bakso itu.
"Mau gue siram pake kuah bakso lo?!" Pelotot Andira yang sudah memegang nampan berisi bakso dan es teh manis.
"Awww!! Hot baby!"
"Jijik banget gue." Kendaru dan Gavin memasang wajah ingin muntah sementara Andira memilih pergi menuju taman. Setidaknya disana sepi dan ia bisa makan lebih tenang.
Namun ketenangannya hanya sesaat. Ketika sosok Kendaru berdiri di hadapannya.
"Mau apa lo?" Tanya Andira ogah-ogahan. Ia memang malas bercengkrama dengan orang yang tau masa lalunya. Ia merasa jadi tak bisa memasang tampang sok kuat lagi. Jelas karena selama ini ia menahan semuanya sendiri, tanpa sandaran siapapun.
"Gak. Gue mau disini aja. Ngadem." Jawab Kendaru sambil duduk di samping Andira.
Tak ada komunikasi diantara keduanya. Andira yang memakan baksonya dengan lahap sementara Kendaru yang larut dalam lamunannya tentang gadis disampingnya itu.
Sekian lama terdiam, Kendaru menoleh ke Andira yang sedang menyeruput es teh manisnya. Bakso dalam mangkuknya sudah habis tak bersisa. Bahkan gadis itu bersendawa cukup kencang menandakan perutnya yang telah terisi penuh. Kendaru tak mempermasalahkannya. Memang Andira sejak dulu tak pernah bersikap jaim, ya meskipun dulu ia gadis yang sangat manis.
"Gue kangen lo yang dulu deh." Ucap Kendaru terang-terangan.
Sruttt!!
Andira menyedot es teh manisnya hingga tinggal menyisakan es batunya saja, demi menghilangkan grogi karena ucapan Kendaru barusan. Ia pun beranjak dari tempatnya. "Andira yang dulu udah mati."