Naomi menemui Weni di tempat biasa setelah pekerjaan mereka selesai di rumah sakit, terlalu banyak yang harus di kerjakan sampai Naomi melupakan makan siang, ia harus berjaga malam ini dan tidak pulang ke rumah, ketika sedang menunggu Weni, Naomi melihat sosok Fandi yang datang bersama dua orang lelaki lainnya, mereka duduk tepat di meja di depan meja Naomi.
Fandi menyadari tatapan Naomi. Namun, berusaha mengabaikannya dan kembali fokus pada kedua kliennya.
Selesai sudah pertemuan Fandi dan kliennya, mereka berpisah di restoran, setelah bertemu, Fandi menghampiri Naomi. Naomi terlihat baik-baik saja semenjak menikah, berat badannya seakan naik dan itu terlihat karena pipi Naomi membengkak.
"Assalamualaikum," sapa Fandi.
Naomi mengangguk. "Wa'alaikumssalam," jawab Naomi. "Kamu di Jakarta?"
"Iya, semenjak kamu menikah, aku memutuskan kembali ke Jakarta." Fandi tersenyum dan melihat dengan seksama wajah Naomi. "Sepertinya kamu bahagia dengan pernikahanmu."
Naomi mendongak. "Siapa yang nggak akan bahagia setelah menikah?"
Fandi meneguk air putih milik Naomi seraya tersenyum. "Aku pikir itu akan sulit, karena kamu di jodohkan."
Fandi begitu gugup bertemu Naomi untuk pertama kali setelah Naomi menikah, ada rasa canggung di antara keduanya. "Bagaimana pernikahanmu?" tambahnya.
"Baik, seperti pernikahan pada umumnya." andaikan saja Fandi tahu, bahwa pernikahannya seperti bukan pernikahan pada umumnya. Fandi pasti akan menghiburnya. Namun, Naomi memilih tidak mengatakan tentang pernikahannya. Karena itu, bukan urusan Fandi.
"Sepertinya, kamu masih marah."
Naomi tersenyum. "Marah? Sama kamu?"
"Iya."
"Aku nggak merasa marah, biasa aja."
"Aku nggak baik-baik saja bertemu denganmu hari ini, tapi kamu memperlihatkan bahwa kamu baik-baik saja bertemu denganku." kata Bayu, membuat hati Naomi menghangat, siapa yang mengatakan Naomi baik-baik saja? Naomi hanya mencoba menahan dirinya agar tidak sampai memeluk Fandi, pria yang di rindukannya. Meski rasa kecewa itu masih melekat di hatinya, karena mengingat harga dirinya yang terbuang percuma ketika meminta Fandi menikahinya.
Aku berusaha baik-baik saja. Kamu tidak tahu betapa aku ingin memelukmu sekarang juga. Batin Naomi.
"Gue telat, ya?" Weni baru saja sampai dan melihat Fandi juga Naomi tengah saling menatap, tanpa menyadari kedatangannya saat ini.
"Woiii!" Teriak Weni, membuat keduanya tersadar.
"Weni? Lo dari mana aja, sih? Lama amat. Gue udah nunggu lo daritadi, sampai karatan malah," celetuk Naomi.
"Gue baru selesei kerjain tugas dari Dokter Delima," jawab Weni, lalu duduk di samping Naomi. "Apa kabar, Fan? Lo ngapain di sini? Kalian sengaja ketemu?"
"Nggak, gue nggak sengaja bertemu Naomi, kebetulan tadi gue bertemu klien gue di sini. Tapi udah pada pergi, jadi sekalian ngobrol sama Naomi," jawab Fandi.
"Yakin, hanya sekedar ngobrol?" goda Weni, yang sudah mengetahui kondisi pernikahan sahabatnya. Jadi, menurut Weni tidak masalah jika Naomi bertemu Fandi, meski itu tidak bisa di benarkan.
"Iya, kami hanya ngobrol," timpal Naomi.
Weni heran. "Lo sekarang balik ke Jakarta?"
Fandi mengangguk, lalu meneguk jus advokad yang di sajikan waitres barusan. "Iya, gue kerja di Jakarta sekarang, masih kantor yang dulu."
"Syukur deh, lo jadi nggak usah jauh dari keluarga lo."
"Iya."
Naomi hanya menjadi pendengar yang baik, ia melihat Fandi dan Weni asyik bercerita dan dia hanya mendengarkan tanpa nyosor atau bergabung dalam percakapan mereka. Entah mengapa, semenjak menikah, Naomi jadi menjaga jarak dari Fandi, meski Bayu membebaskan dirinya untuk bertemu Fandi. Menurutnya tidak benar saja jika sebagai istri ia melakukannya.
Weni menoleh menatap sahabatnya yang sejak tadi berdiam diri. "Kok diam aja lo, Mi?" tanya Weni.
"Gue dengerin kalian aja, gue nggak tahu mau ngomong apaan," jawab Naomi.
Fandi tersenyum. "Kalau begitu, gue balik duluan, ya, Wen, jam istirahat gue udah berakhir." Fandi melihat jam tangannya. "Aku duluan ya, Mi, aku akan menghubungimu nanti," tambahnya. Naomi hanya mengangguk. Kekecewaannya terlalu dalam pada Fandi, sehingga ia seakan tidak perduli bertemu Fandi.
Sepeninggalan Fandi, Weni menatap Naomi penuh pertanyaan.
Naomi menyadari tatapan sahabatnya. "Ngapain lo liatin gue gitu amat?" Naomi menautkan alisnya.
Weni berdehem. "Lo nggak apa-apa ketemu Fandi?"
Naomi mengangguk. "Iya, gue nggak apa-apa, emang kenapa?"
"Lo kok jadi kuat kayak gini?"
"Haha ... lebay ih, kuat gimana?"
"Rasanya baru kemaren deh lo ngerengek minta Fandi nikahin lo, pas ketemu kayak gini, lo biasa aja menurutku itu nggak kayak loh deh." Weni meneguk minumannya. "Gue yakin, lo pura-pura kuat, 'kan?"
Naomi menggeleng. "Jadi, maksud lo, gue harus ngerengek minta Fandi balikan gitu?"
"Ya nggak gitu juga, sih, gue heran aja. Lo banyak berubah pas abis nikah deh, lo cinta sama Arbayu?"
"Gue? Cinta? Ya ampun... nggak semudah itu, Wen, gue bukan wanita yang gampang berpaling hati dengan waktu yang singkat. Lagian Bayu ada pacarnya." tepis Naomi. "Sebenarnya, sih, gue juga nggak kuat ketemu Fandi, secara dia itu masih di hati gue, masih lekat di pikiran gue, tapi gue bersikap kayak tadi buat ngejaga jarak aja karena gue masih kecewa."
"Karena dia nolak lo?"
"Iya, menurut gue, karena Fandi, semua ini gue laluin."
"Jadi, lo nyalahin Fandi?"
"Tentu, itu sih menurut gue, ya, gue harus nikah sama Bayu yang nggak pernah perduli dan nggak pernah nganggap gue ada, itu semua karena Fandi, jika saja Fandi nikahin gue, gue nggak mungkin ngelaluin semua ini." sesal Naomi.
"Jangan nyalahin Fandi, dia kan nggak tahu lo di jodohin."
"Karena itu gue ngasih tahu buat antisipasi sebelum gue nikah." Naomi memainkan sendok makannya dan memainkan sayuran di piringnya, dia memerankan peran yang sulit barusan ketika bertemu Fandi, pria yang terlalu melekat di hatinya sehingga Naomi tidak mampu membuka hati untuk yang lain. Berpura-pura biasa saja itu sulit.
****
Naomi masuk ke rumahnya, melihat seorang wanita tengah duduk di ruang tamu sendirian, wanita itu terlihat sangat cantik dengan rambut sebahu, kulitnya agak gelap. Namun, tetap cantik, sesaat kemudian Bayu keluar dari arah dapur membawa pancake buatannya, Bayu memakai celemek dan itu terlihat menarik di mata Naomi. Namun, siapa wanita itu? Bisa di pastikan dia Jihan, karena yang Naomi dengar, Jihan akan kembali ke Jakarta pekan ini. Jadi, Naomi menebak bahwa wanita itu Jihan, terlihat bagaimana Bayu melayaninya dengan wajah sumringah.
Naomi berusaha tidak perduli dan berjalan melintasi kedua pasangan yang sedang berpacaran itu, meski tak bisa di benarkan, mereka berpacaran di rumah dan di depan mata Naomi, perasaan Naomi sedikit memanas melihat hal itu, karena menurutnya, Bayu keterlaluan membawa pacarnya itu ke rumah.
"Hai!" sapa Jihan, ketika melihat sosok wanita hendak berjalan menaiki tangga. Ada rasa bersalah di hati Bayu, karena ia membawa Jihan ke rumah ketika istrinya itu ada.
Naomi berbalik. "Hai, juga."
"Kamu Naomi?" tanya Jihan.
Naomi menoleh sekilas menatap suaminya. "Iya."
"Aku Jihan." Jihan memperkenalkan diri. "Bayu sudah cerita semuanya ke aku tentang kamu."
Apa saja yang pria itu ceritakan ke Jihan tentangnya? Dasar!
"Iya. Bayu juga sudah cerita tentang kamu," jawab Naomi. "Kalian lanjutin ngobrol aja, aku ke kamar dulu."
"Baiklah," jawab Jihan, melihat Naomi berjalan memunggungi mereka, Bayu menatap lekat istrinya, semoga saja Naomi tidak marah meski Bayu tidak perduli dengan kemarahan istrinya.
"Dia seorang dokter?" tanya Jihan. Menatap kekasihnya yang masih menatap punggung Naomi. "Kamu dengerin aku, nggak?"
"Hem? Iya, dia seorang dokter." jawab Bayu. "Masih coass, tapi sebentar lagi selesai."
"Dokter spesialis?"
"Belum. Tapi, akan menjadi dokter spesialis bedah, jika coasnya selesai."
"Dia hebat donk, nggak seperti aku, masih study saja." Jihan menunduk merasa kecil.
Bayu tersenyum kecil. "Apaan, sih, siapa bilang dia lebih hebat dari kamu? Menurutku, kamu lebih hebat darinya," puji Bayu, membuat Jihan tersenyum.
Jihan mencicipi pancake buatan Bayu, enak, selalu yang terenak, Bayu memang ahli dalam membuat pancake dan spagethy. Mengalahkan spagety dan pancake restoran.
Jihan menatap Bayu yang tengah terdiam. "Ada apa, Honey?"
"Hem?" Bayu mengerjapkan mata. "Aku nggak apa-apa, hanya saja aku merasa nggak enak membawamu ke rumah ini."
"Karena istrimu ada?"
Bayu mengangguk. "Iya."
Jihan memeluk Bayu seraya tersenyum. "Yang terpenting bagiku, sikapmu nggak berubah."
Bayu membelai rambut Jihan, menatapnya penuh cinta, meski dalam hatinya, ia merasa bersalah pada Naomi karena membawa Jihan ke rumah ini, ke rumah mereka.