"Hari yang menyedihkan.
Apa yang sebenarnya terjadi pada hidup kita?
Kenapa selalu jadi begini?
Semua masalah bertumpuk dalam satu waktu.
Semua penderitaan ini terjadi karena satu alasan yang sama.
Cinta.
CEISYA Z. REYES
⠀
Putus?
Lagi ...?
Kenapa selalu seperti ini?
Ceisya tidak habis pikir. Bagaimana bisa setiap ada pria yang menjadi pacarnya selalu memutuskan hubungan di saat sedang manis-manisnya. Dan ini bahkan masih jalan dua bulan???
Apa yang salah dengan dirinya? Apa Ceisya kurang cantik? Kurang menarik? Atau kurang cerdas? Jangan-jangan sikap atau tutur katanya kurang baik?
Namun, mana mungkin itu penyebabnya.
Ceisya mempunyai semua kelebihan dari semua pertanyaan tadi. Rasanya tidak ada yang kurang dari dirinya. Apanya yang membuat Andra merasa tidak cocok dengannya? Mereka bahkan punya kesukaan yang sama dalam hal ideologi, film, musik, hobi, semuanya. Ceisya juga bukan wanita yang manja dan banyak menuntut perhatian dari Andra. Dia tahu kesibukan Andra yang kuliah sambil kerja. Dia justru bangga karena punya pacar pekerja keras. Dia selalu mendukung Andra. Lalu di mana letak kesalahannya? Ataukah ... ini hanya alasan pria itu saja? Mungkinkah Andra jatuh cinta pada gadis lain?
Netra biru Ceisya memburam karena air mata yang mulai mengambang. Ia menatap nanar ponsel di tangannya. Ingin rasanya ia menangis saat ini juga. Ceisya benar-benar menyukai Andra. Dia pria yang sangat baik. Meskipun berasal dari keluarga sederhana, Andra orang yang gigih, rajin dan pantang menyerah. Sifat itu yang membuat Ceisya menyukainya. Tapi ... kenapa jadi begini?
Jemari Ceisya yang memegang ponsel, terasa bergetar.
⠀
"Kak?"
Ceisya terperanjat kaget. Cepat-cepat mengusap matanya.
"Kakak kenapa ngelamun?" Zicho menatap Ceisya heran.
Ceisya menarik napas dalam-dalam. Ia berusaha tersenyum sebelum membalik badan. Apa pun yang terjadi, ia tidak ingin membuat Zicho khawatir.
"Kakak nggak ngelamun, cuma lagi tengok chat aja. Kamu yang ngagetin Kakak," ucap Ceisya sambil tertawa. Tawa yang pahit buatnya.
Zicho memandangnya lekat. "Beneran? Orang kalau nggak ngelamun, pasti nggak bakalan kaget. Kakak nggak apa-apa, 'kan?" Zicho menatap curiga.
Ceisya mencubit pipi adiknya. "Nggak apa-apa, Anak Cakep ...," ujarnya. Sejak kecil Ceisya memang suka memanggil Zicho 'Anak Cakep' saat gemas.
Zicho tergelak. Ia menarik tangan Ceisya untuk kembali duduk di karpet ruang santai yang telah kosong.
"Itu apa di tangan kamu?" Ceisya menunjuk tote bag di tangan Zicho.
Adiknya menyerahkan tote bag itu pada Ceisya dengan senyum terkembang.
"Sebenarnya ini hadiah ulang tahun Kakak untuk bulan depan. Tapi, aku sudah tidak sabar ingin memperlihatkannya pada Kakak."
Penasaran, Ceisya meraba ke dalam kantong. Mengeluarkan benda di dalamnya. Ia seketika terpana. Ukiran ini kelihatan bagus sekali. Pahatannya begitu halus, detail dan rapi. Jemari Ceisya menelusuri permukaan kayu yang hitam mengilap. Meraba fitur kuda hitam dan ksatria berzirah yang tengah mengangkat pedang ke langit. Setiap detailnya tampak begitu rumit. Ini pasti barang antik yang harganya jelas amat mahal. Dari mana Zicho mendapatkanya?
Ceisya melirik adiknya.
"Kamu menghabiskan uang tabunganmu untuk hadiah ini?"
Zicho menggeleng cepat. "Aku tidak beli, aku buat sendiri."
Mata Ceisya membelalak takjub.
"Kamu bikin sendiri, Dek? Ukiran sebagus ini?"
Zicho mengangguk penuh semangat.
"Sama siapa kamu belajar mengukir?"
"Awalnya sama Daddynya Raizel."
"Temen dekat kamu itu?"
Ya. Ceisya sudah sangat sering mendengar Zicho bercerita tentang Raizel dan keluarganya yang sangat baik pada Zicho.
"Jadi, Daddy Raizel juga pintar mengukir?"
"Ya. Tapi sebenarnya aku juga dilatih seseorang secara pribadi."
Ceisya mengernyitkan alisnya. "Siapa?"
"Kakak ingat ulang tahun Kakak tahun kemarin? Aku memberi Kakak ukiran berwujud Kakak dengan sayap seperti Bidadari. Tapi Daddy tidak suka dan membantingnya sampai patah."
Ceisya sontak memeluk saudaranya. Ia teringat saat itu, betapa kecewanya raut wajah Zicho. Padahal adiknya itu sudah berbulan-bulan membuat pahatan dirinya. Zicho diam-diam menyusup ke kamar untuk menyerahkan kado pada Ceisya. Tapi Daddy dan Tante Raya memergokinya, kemudian malah menuduh adiknya ingin mencuri di kamar Ceisya.
Ceisya yang saat itu mendengar keributan, menghampiri kamarnya. Ia membela adiknya di hadapan Daddy mereka. Ceisya ingat bagaimana Zicho berlari membawa ukiran dirinya yang telah rusak. Mendekap ukiran itu di d**a dengan berlinang air mata. Ceisya bahkan tidak bisa mengejarnya karena dihentikan Daddy. Sampai sekarang ia tidak pernah melihat ukiran itu lagi. Zicho juga tidak mau membicarakan hal itu hingga detik ini.
⠀
"Nggak apa-apa, Kak," Zicho menarik dirinya perlahan. "Ada untungnya sebenarnya Daddy waktu itu mematahkan ukiranku. Aku jadi bertemu seseorang yang menawarkanku untuk bekerja dengannya. Tapi dia ingin melatihku meningkatkan keterampilan mengukirku lebih dulu."
"Jadi dia yang mengajarimu?" tanya Ceisya penuh perhatian. Ia senang ada seseorang yang menghibur adiknya di saat yang tepat. Ingin rasanya Ceisya mengucapkan terima kasih pada orang itu secara langsung.
"Tidak selalu. Dia mempekerjakan guru privat pemahat profesional untuk melatihku secara berkala selama satu tahun ini."
Hah?
Membayar pemahat profesional?
"Gratis?"
"Ya. Tapi sebagai gantinya aku membayar dengan hasil pahatanku."
Oh, jadi anggap saja Zicho menjual ukirannya pada pria itu. Pertukaran yang lumayan adil, batin Ceisya tenang.
"Apa dia juga bisa memahat?"
Zicho mengangguk. "Dia pernah mengajakku ke mansionnya. Di sana ada begitu banyak pahatan kayu. Ada juga miniatur bangunan dari kayu. Sejujurnya aku lebih tertarik membuat miniatur bangunan seperti yang dia buat, dibandingkan ukiran hewan atau manusia. Aku ingin menjadi arsitek kayak dia," ucap Zicho dengan mata berbinar-binar.
Ceisya tersenyum kecil. Hatinya terasa sakit membayangkan adiknya justru mengidolakan sosok lain yang bukan Daddy mereka.
"Jadi kapan kamu akan memperkenalkan Bapak itu pada Kakak? Kakak ingin mengucapkan banyak terima kasih padanya karena sudah begitu baik menolong adik kesayangan Kakak ini," tukas Ceisya seraya mencubit hidung mancung Zicho.
Adiknya hanya meringis dengan kebiasaan Kakaknya itu.
"Dia bukan Bapak-Bapak," cetus Zicho tergelak. "Dia masih muda, Kak ...."
Ceisya membelalak tak percaya. "Oh, ya ...?"
"Serius. Dia juga model dari ukiran ini," Zicho menunjuk ukiran ksatria berkuda di tangan Ceisya."
"Kamu sudah minta izin dia untuk menjadikannya model ukiran? Nggak boleh sembarangan loh, Dek ...." Ceisya menghela napas.
"Malah dia senang sekali saat aku meminta izin mengambil foto dia yang sedang bermain polo^ untuk aku jadikan model ukiran. Apalagi pas tahu aku ingin menghadiahkan ini buat Kakak. Dia bahkan meluangkan waktu untuk aku mempelajari proporsi bentuk tubuh kuda dengan mengajakku ikut olahraga polo bersamanya."
Ceisya mengejapkan mata. Baik sekali. Namun ... kenapa jadi mencurigakan, ya. Orang asing yang tiba-tiba datang melatih adiknya dengan cuma-cuma. Apalagi di zaman sekarang yang segala jasa pasti ada harganya. Masih ada rupanya orang seperti itu.
Hatinya berdesir aneh saat matanya kembali menatap ukiran di tangannya. Kenapa perasaannya menjadi tidak enak setelah mengetahui orang yang banyak menolong adiknya ternyata masih muda.
Ia menelusuri sosok pria di atas kuda dengan teliti. Bahu yang bidang dengan pinggang yang ramping. Otot yang tercetak begitu ketat saat mengangkat pedangnya. Ceisya menyentuh tutup helmet^ di wajah nya. Tersentak menoleh ke arah Zicho yang begitu gembira memperhatikan keterkejutan Ceisya.
Rupanya helmet perang ini bisa disingkap tutupnya ke atas. Ceisya menatap wajah sang ksatria. Hidung mancung, wajah tegas dengan dagu berbelah. Tampan sekali. Kenapa rasanya ia agak familiar dengan wajah ini, ya?
"Dia tampan, 'kan?" cetus Zicho.
"Ya."
"Aku sungguh berharap suatu hari nanti Kakak akan menikah dengan orang secerdas, setampan, sekuat dan sebaik dia."
⠀
Mansion Reyes
Ceisya melangkah menaiki tangga mansion menuju kamarnya. Tangannya menenteng tote bag hadiah Zicho tadi. Pikirannya menerawang. Ia bukan lagi memikirkan penyebab kenapa kekasihnya memutuskan hubungan mereka. Ceisya sudah terlalu sering kecewa karena setiap pria yang berhubungan dengannya selalu berakhir putus dalam waktu singkat. Sungguh ia sudah terbiasa.
Namun bukan itu yang benar-benar menyita perhatian Ceisya. Ia merasa sangat khawatir dengan sosok pria yang diidolakan Zicho. Apalagi Zicho tidak mau memberitahu siapa pria itu, apa pekerjaannya, di mana tinggalnya. Zicho bahkan menolak mempertemukan Ceisya dengan pria misterius itu karena sang ksatria berzirah tidak mau privasinya diketahui siapa pun.
Aneh.
Sungguh aneh.
Padahal Ceisya hanya ingin mengucapkan terima kasih sekaligus ingin tahu apakah adiknya benar-benar mengagumi orang yang baik dan bukannya penjahat. Ceisya tidak ingin terjadi apapun yang berbahaya terhadap saudaranya.
⠀
PRANG ...!!!
⠀
Ceisya terkesiap mendengar suara mengerikan di kamar yang sepertinya kamar orang tuanya.
Mereka bertengkar lagi?
Hati Ceisya terasa kecut. Ia menghampiri kamar orang tuanya dengan langkah gontai. Mencoba mencuri dengar penyebab pertengkaran mereka dari balik pintu.
⠀
"Kenapa Adam? Kenapa kamu lagi-lagi melakukan hal itu? Kenapa kamu tidak pernah mau berubah?"
Tidak ada sahutan dari Daddynya.
"Kenapa kamu tidak pernah mencoba memberi hubungan kita kesempatan? Apa salahku? Apa selama ini aku kurang sabar mengahapimu?"
"Stop Clara! Aku baru pulang ke rumah dan kamu sudah menyambutku dengan keluhan!"
Ceisya mendengar Daddy menghempaskan napas kasar. Tangisan Mommy semakin keras terdengar.
"Kamu tahu, aku capek! Perusahaan kita menjelang ambang kehancuran. Dan kamu malah mengeluh hal wanita padaku?!"
"Kamu tidak lihat semua foto-foto ini? Kamu selalu berselingkuh! Wanita mana lagi yang kamu jadikan peliharaanmu?!
Aku istrimu! Harusnya kamu cukup dengan aku saja. Kenapa kamu tidak pernah menghargai pernikahan ini, Adam?!" teriak Mommy bercampur tangis.
"Kamu tahu sebabnya, Clara. Aku-tidak-sudi menyentuhmu dan tidak-akan-pernah mencintai kamu sampai kapan pun!"
Ceisya mendengar suara tubuh yang terpuruk di lantai.
"Aku membencimu, juga seluruh keluargamu karena telah membuat hidupku berakhir tragis dan menyedihkan seperti ini. Menikahimu adalah hal paling mengerikan dalam hidupku! Jadi jangan berharap lebih dariku. Paham!"
Isak tangis Mommy terdengar begitu pilu. Air mata Ceisya turut mengalir dengan sendirinya. Hatinya berdenyut sakit. Berarti ia adalah anak yang lahir tanpa cinta kedua orang tuanya.
"Tidak bisakah kita mulai dari awal? Dulu kamu pernlah mencintaiku," ucap Mommy lirih.
"Dulu, ya. Sebelum kamu ... berkhianat!"