2009
TARGET LOCKED
"Ini adalah awal aku menandaimu.
Pertama kalinya bersua ....
Dengan mangsaku yang lugu.
Kali ini kubiarkan kalian semua pergi dan berlalu.
Tapi nanti ....
Tunggu saja pembalasan dariku.
Aku akan menghitung semua jejak kesalahan masa lalu.
Dan kalian ..., akan membayar satu per satu."
ZEKRION A. LAITH
⠀
Pria itu menggenggam kembali kertas di tangannya. Menggigil mengingat saat pertama kali ia membaca kata demi kata. Masih terlukis dalam ingatannya bagaimana letih, sedih dan nelangsanya ia melihat tubuh wanita yang dicintainya tergeletak dalam genangan darah di dalam bathtub. Kelopak bunga Safari Red Marigold bertebaran di sekitar jasad itu. Wajah yang pucat pasi dan dingin akibat kehilangan begitu banyak darah. Mengerikan sekaligus menyedihkan.
Kertas dalam genggamannya ini adalah saksi bisu betapa berat hidup yang dialami wanita yang ia cintai. Betapa sebentar kebahagiaan yang direngkuh wanita itu. Betapa banyak pengorbanan yang dia lalui dengan tabah. Hingga akhirnya ciut, lalu menyerah kalah pada jalan hidup yang buruk. Sungguh akhir hayat yang begitu mengenaskan.
Jiwa pria itu seakan ikut terkubur dalam makam wanita yang teramat dicintainya. Wanita satu-satunya yang sanggup membuatnya meninggalkan keluarga, kemewahan serta kemudahan yang biasa ia dapat.
Kematian tragis wanita itu adalah akibat perbuatan orang lain. Orang yang tadinya ia anggap sebagai dewa penolongnya, ternyata telah menghancurkan hidupnya, impiannya, istrinya dan rumah tangganya.
Sungguh pria kejam dan licik.
⠀
Pria muda itu melangkah mendekati pagar taman kota. Menyaksikan anak-anak yang sedang mengadakan lomba melukis bersama. Bukan karena ia berminat pada anak-anak ataupun berhasrat mengadopsi salah satu di antara mereka. Ia bahkan tidak tertarik lagi memiliki anak sendiri.
Sayangnya, kali ini situasinya berbeda. Ia penasaran. Sebelum pergi meninggalkan negara ini, ia harus melihat lebih dulu rupa anak itu. Barulah ia bisa mengatur siasatnya.
Matanya menjelajah mencari-cari. Lalu menemukan targetnya. Gadis kecil itu tengah menunduk mencelupkan kuas ke atas palet, kemudian menyapukan benda itu ke permukaan kanvas. Kepang kuda-nya melambai menyentuh pinggul. Dia mengibaskan poninya ke samping karena menutupi pandangannya dari lukisan yang tengah dia buat.
Gadis kecil itu menegakkan badan. Memberi ruang lebih jelas untuk mengamati wajahnya. Hidung mancung, mata bulat yang berkilat ceria dan senyum manis dari bibir mungilnya yang merah jambu. Rion ingin mendengar bagaimana suara tawanya ketika gadis itu bergurau dengan teman di sebelahnya. Ingin mendekatinya lebih jauh. Sejenak ia melupakan tujuannya. Lalu mendengus sinis begitu teringat kembali rencananya semula.
Apa gunanya tertarik pada bocah kecil, batinnya memprotes. Yang seperti ini harus menunggu lama untuk dipanen.
Namun pikiran seperti itu pun tidak membuat matanya beralih dari gadis tadi. Dan keinginan yang semakin kuat untuk melihat anak itu lebih dekat. Dia tidak mungkin secantik yang terlihat dari jarak jauh, 'kan? Mungkin Rion harus kecewa nantinya ketika mendekati gadis kecil itu. Dia masih anak-anak!
Dan kesempatan itu datang.
Lomba melukis di taman telah selesai. Sebagian besar anak sudah dijemput oleh orang tua mereka. Tapi yang satu ini masih di sana. Duduk di atas ayunan, di bawah pohon rindang sudut taman. Menyandarkan kepalanya pada tali ayunan, dengan mata menatap kakinya yang terus mendorong-dorong ayunan dengan perlahan. Jelas sekali tampak bosan.
Jantung Rion mulai berdentam-dentam dan kakinya sudah berjalan mendekati anak itu tanpa bisa dicegah olehnya. Ia hanya tahu, ia telah berada di hadapan gadis kecil yang menjadi misi balas dendamnya nanti.
Bayangan Rion mungkin mengganggu anak itu, sehingga membuatnya menengadah menatap pria besar di hadapannya.
Mata yang indah. Benar-benar indah. Iris perpaduan biru cyan dengan biru benhur yang sangat menabjukkan. Memperjelas darah blasteran gadis kecil di depannya. Netra memesona itu menatap heran padanya. Sementara, bibir gadis itu sedikit terbuka. Begitu tipis dan mungil, dengan warna yang merah alami dibingkai wajah oval dengan dagu bulat yang runcing. So pretty.
Luar biasa cantik. Bahkan di usia sedini ini dia sudah punya pesona yang mematikan. Bayangkan beberapa tahun lagi.
Rion bergerak resah, membuat cahaya mentari mengenai kulit gadis kecil itu. Bersinar. Bukan putih pucat, bukan pula kuning langsat. Jernih, sepertinya juga bukan kata yang tepat. Tapi, tak bercacat.
Apa benar gadis imut serupa peri ini adalah anak seorang pria iblis yang telah menghancurkan hidup banyak orang?
Atau ibunya yang seorang dewi telah salah mengira menikahi iblis alih-alih malaikat?
Rion terhanyut menatap gadis di hadapannya. Belum terlihat ada yang menggairahkan dalam diri anak itu. Tapi anehnya tetap membuat napasnya tertahan. Sampai ia mulai tersadar, ketika gadis kecil itu mengerutkan alis curiga. Mulai waspada atau mungkin ketakutan padanya.
⠀
“Maaf, Om siapa?” tanyanya sambil memiringkan kepala.
Suara yang merdu.
Rion menarik napas, menghirup oksigen sebanyak mungkin. Membiarkan kesadarannya kembali, meskipun ia ingin memprotes panggilan ‘Om’ tadi. Ia belum cukup tua untuk dipanggil ‘Om’!
“Uhm ... maaf …,” ia ragu sejenak sebelum mengatakan, “Om pikir ... kamu keponakan Om. Dia juga ikut lomba melukis.”
Kebohongan yang baru buatnya karena ia tidak pernah berbohong. Bukannya tidak pernah mencoba, tetapi setiap kali melakukannya ia selalu gagal. Tapi paling tidak, anak kecil tidak akan tahu bedanya.
“Oh … namanya siapa? Mungkin aku kenal,” ucap gadis kecil itu ceria, mulai mengendorkan kewaspadaannya.
Kebohongan lagi.
‘Nama’, otak Rion berusaha mencari nama-nama yang bisa ia gunakan. Terlalu lama.
“Cika.”
“Cika? Anak kelas berapa?”
Mengarang nama saja sudah sulit, lalu kenapa dia harus menyebutkan nama kucingnya?
“Hmm … kelas 5F.”
Gadis imut itu menaikkan ujung bibir kanannya. Lalu tertawa terbahak-bahak. Tawa yang renyah. Sangat mengganggu sebenarnya untuk seorang yang selalu sempurna dan tidak pernah ditertawakan oleh siapa pun sebelumnya. Tapi mendengar tawa sebagus itu, gadis kecil itu rasa-rasanya layak dimaafkan.
“Maaf Om, tapi di sekolah aku cuma sampai kelas 5E.” gadis kecil itu mengerucutkan bibirnya dengan lucu, memandangnya dengan mata yang seakan menganggap Rion adalah orang yang bodoh dan konyol. Membuatnya nyaris tersinggung. “Om lupa ya, nanya sama Cika dia kelas berapa? Kasihan.”
Kasihan?
Ia dikasihani?
Rion tersedak, tidak sengaja menyemburkan tawa. Lalu menahannya menjadi batuk-batuk kecil.
Tadi ia dipandangi seakan-akan anak itu sedang berhadapan dengan orang gila dan bodoh, lalu sekarang anak itu mengasihaninya? Rion mendengus setengah lucu, setengah sinis. Suatu saat nanti giliranku untuk mengasihanimu, batinnya. Tapi tidak ada salahnya mengikuti prasangka anak itu dibanding mengarang cerita versinya sendiri.
Ia beranjak ke ayunan di sebelah gadis kecil itu.
“Iya, Om lupa. Om kira semua yang ikut melukis di sini kelasnya sama.”
Gadis itu tersenyum lagi.
“Oh, nggak …. Kita selalu ada pertandingan melukis setiap akhir semester. Nah, semua kelas digabung. Lukisan kelas mana yang menang akan dipajang di aula sekolah. Nanti juga ada pameran dan bazar. Lukisan itu akan dilelang. Hasilnya disumbangkan ke yayasan amal.
Aku mau lukisanku menang, nanti aku akan menjualnya mahal, lalu menyumbangkannya untuk anak-anak panti asuhan yang tidak punya orang tua,” ucap gadis itu ringan sambil mendorong ayunan ke depan dan ke belakang. Semilir angin menerbangkan anak-anak rambutnya.
Hati Rion tersentuh dengan niat tulus si peri mungil. Membersitkan rasa bersalah di dadanya. Apalagi ketika teringat bahwa almarhumah istrinya juga anak yatim piatu yang tidak punya orang tua.
“Memangnya Ceisya melukis apa?”
Anak itu membelalak kaget. Ayunannya terhenti seketika.
“Dari mana Om bisa tahu namaku?”
Rion menggigit lidah. Sial, apa yang sudah ia lakukan?!
“Hmm,” matanya mencari-cari pendukung kebohongannya. Lalu melihat satu celah, “Itu, gelang di tangan kamu.”
Anak itu menepuk jidatnya. “Oh, iya, ya. Ada namanya,” katanya sambil tertawa.
“Memangnya Ceisya melukis apa?” Rion mengulang pertanyaannya kembali.
“Aku bikin lukisan pegunungan yang sangat indah. Ada matahari pagi yang berkilau, terus ada pelangi, lalu ada danau juga. Teman-teman bilang lukisanku paling bagus.”
“Oh, yah ...,” Rion tersenyum tulus mendengar kepercayaan diri gadis kecil itu. Terlihat cerdas untuk anak seusianya. “Uhm ..., kenapa Ceisya belum pulang?”
Wajah mungil itu berubah sendu.
“Daddy nggak jadi jemput Ceisya. Tadinya Daddy dan Mommy bilang mau ikut menemani Ceisya lomba melukis seperti anak-anak lain yang ditemani orangtua mereka.
Tapi sepertinya mereka nggak sempat datang. Daddy pasti sibuk dan Mommy barangkali sakit lagi. Pak Hadi juga, mungkin sebentar lagi datang. Tapi kok, sudah satu jam belum muncul juga.”
Gadis imut itu menoleh menatap Rion dengan bibir tertekuk ke bawah. Binar mata yang sarat dengan kekecewaan, berkaca-kaca memandanginya. Rion sempat merasa panik. Bagaimana kalau gadis itu tiba-tiba menangis dan dia tidak pernah berhasil sebelumnya membuat anak kecil berhenti menangis. Bisa-bisa Rion diteriki penculik anak oleh para pengunjung taman yang lain. Gawat!
Namun belum sempat Rion mengucapkan kata-kata penghibur, gadis kecil itu menarik napas dalam-dalam, lalu kembali menampilkan pendar ceria di matanya. Membuat Rion terpana. Betapa cepatnya dia mengendalikan emosinya. Wow!
“Nanti aku pasti dijemput. Nanti pasti semua yang tidak menyenangkan akan berlalu,” katanya sambil tersenyum dengan tatapan lembut, seakan tidak ada kesedihan yang tadi mengganggunya.
Rion merasa tersentuh. Otak warasnya mulai berpikir ulang. Mana mungkin ia bisa setega itu menyakiti anak yang tak bersalah ini. Rion menghempaskan napas berat.
Beberapa saat kemudian. Seorang wanita memanggil nama gadis kecil itu dari arah jalan setapak taman, membuatnya segera berlari memeluk wanita tersebut. Lalu sosok yang paling dibenci Rion muncul di belakang mereka. Membuat darah Rion kembali mendidih. Rasanya ia ingin menyerang pria itu saat ini juga. Tapi ia berpikir ulang, tersenyum sinis.
Tidak.
Ia akan bersabar. Masih panjang waktu untuk balas dendam sempurnanya. Ia akan membuat rencana paling elegan. Bukan terburu-buru dan cenderung ceroboh dan bodoh. Ia harus mempersiapkan ganjaran paling mematikan buat pria tak bermoral itu beserta keluarganya. Sekarang nikmati saja kebahagian kalian, sebelum kalian membayar semuanya nanti, tekadnya dalam hati. Tatapannya membara, menukik tajam pada mangsanya.
Rion segera beranjak, mengintip dari tempat yang tak terlihat dari pandangan mereka. Ia melihat gadis kecil bermata biru itu tertawa, kemudian menunjuk ayunan tempat mereka duduk tadi. Terpana sesaat karena tidak melihat pria ber-hoodie putih dengan lengan dan topi hitam yang tadi menemaninya. Tercengang karena pria itu ternyata sudah pergi. Gadis cantik itu menggaruk kepalanya bingung, sebelum akhirnya orang tuanya membawanya beranjak dari sana. Sesekali mata biru tadi kembali melirik ke belakang. Mencari seseorang yang hilang.
Rion tersenyum sinis. Paling tidak, fisiknya tidak mengecewakan. Mungkin penantiannya beberapa tahun ke depan tidak akan sia-sia.
Ia sungguh tidak sabar menunggu.
Pembalasan yang sempurna.