Dari luar, rumah itu terlihat seperti rumah bertingkat dua biasa yang letaknya di perumahan pinggiran kota. Walau rumah itu bergaya bangunan lama dan belum pernah direnovasi sejak puluhan tahun lalu, namun bangunannya masih berdiri kokoh dan dalam keadaan baik. Teras depan rumah itu pun rapi dipenuhi oleh tanaman-tanaman yang membuat suasananya jadi lebih hidup dan segar.
Jika orang-orang melewati rumah itu, mereka pasti akan mengira yang tinggal di sana merupakan satu keluarga seperti pada umumnya. Bahkan, tetangga-tetangga di sekitar pun berpikir demikian. Karena kondisi perumahan itu yang terbilang sepi dan para tetangga di sana jarang bersosialisasi, mereka hanya tahu jika rumah itu dihuni oleh pasangan muda kaya raya.
Rumah tersebut hanya lah salah satu dari sekian banyak rumah yang mereka miliki di negara ini, sehingga jarang ditinggali. Karena itu pemiliknya tidak sering terlihat, bahkan petugas RT di sana pun hanya pernah bertemu beberapa kali dengan sang pemilik rumah. Lebih sering bertemu dengan asisten rumah tangga serta orang-orang yang bertugas untuk merawat rumah itu.
Namun, mereka tidak tahu saja jika hanya bagian luar rumah itu saja yang terlihat normal, serta ruang tamu yang sesekali didatangi oleh tetangga yang mau mengantarkan undangan atau pihak RT yang memiliki kepentingan khusus. Mereka semua tidak tahu saja jika rumah itu menyimpan rahasia, yang andai saja diketahui oleh mereka, pasti akan membuat mereka semua ketakutan setengah mati. Dan lebih parah itu, bisa juga membuat mereka kehilangan yang namanya nyawa.
Dari data yang dimiliki oleh pihak administrasi setempat, rumah itu tercatat dimiliki oleh seorang pria berusia akhir dua puluhan bernama Javon Arden. Dan ia tinggal di sana bersama seorang istri bernama Cassandra Rowena. Katanya, mereka sudah lima tahun lamanya menikah, namun belum dikaruniai anak-anak. Bahkan dari desas-desus yang beredar, mereka sendiri yang memutuskan untuk child free karena ingin terus bersenang-senang dan keliling dunia berdua.
Tidak banyak tetangga yang pernah melihat mereka, tapi menurut orang-orang yang pernah secara tidak sengaja melihat pasangan itu, mereka sangat takjub akan pesona pasangan yang memiliki visual di atas rata-rata. Si suami sangat tampan, sementara sang istri pun sangat cantik. Rasanya sungguh disayangkan karena mereka tidak mau punya anak dengan gen unggulan yang mereka punya itu.
Sayangnya, orang-orang tidak tahu saja rahasia besar apa yang disimpan oleh Javon Arden dan Cassandra Rowena, dan bahaya yang bisa mereka timbulkan. Terutama si kepala keluarga...Javon Arden.
PRAAANG.
Semua yang ada di ruangan itu bergeming dan tegang di posisi berdiri mereka masing-masing ketika Javon Arden yang menjadi pusat perhatian di ruangan itu, melempar dengan keras sebuah gelas kristal hingga benda tersebut pecah berkeping-keping ke lantai, menyebabkan darah yang sebelumnya menjadi isi dari gelas tersebut, berpindah menodai lantai.
Ruangan tempat mereka berada sekarang merupakan ruangan bawah tanah dari rumah itu. Tidak ada orang di luar rumah itu yang tahu jika di dalam rumah putih bertingkat yang terlihat ramah, justru terdapat sebuah ruangan bawah tanah yang remang dan bau anyir darah.
Tidak ada banyak benda di ruangan tersebut. Hanya ada sebuah singgasana yang didominasi oleh warna emas dan darah di sana, selain itu tidak ada perabotan apapun sehingga menjadikan ruangan itu lengang.
Javon Arden duduk di singgasana tersebut. Di sebelahnya, ada seorang perempuan berambut hitam legam yang setia berdiri di sana. Sementara di depan Javon, sekumpulan vampire berlutut dan menundukkan kepala. Sama sekali tidak berani menatap pada Javon, raja mereka, yang kini sepasang mata keemasannya menyalang marah.
Lalu, di sudut ruangan terdapat tumpukan mayat dengan keadaan bersimbah darah, kulit tercabik-cabik, dan tubuh yang menyusut. Bau anyir yang menguar di ruangan ini berasal dari tumpukan mayat tersebut. Namun, tidak ada satu pun dari mereka yang merasa terganggu akan mayat-mayat itu.
Kemarahan sosok Javon Arden adalah satu-satunya yang ditakutkan oleh semua yang ada di sana.
Ketika Javon berdiri dari singgasananya, aura di ruangan itu kian terasa kelam. Javon medekati seorang vampire laki-laki yang berada paling dekat dengannya. Tanpa ragu sama sekali, satu kaki Javon yang dilapisi sepatu kulit dengan sol yang keras digunakannya untuk mendorong kepala vampire itu hingga mendongak.
Vampire yang bahkan Javon tidak tahu namanya siapa itu pun terlihat begitu ketakutan menatap sang raja yang balas memandangnya dengan begitu dingin dan marah.
"Jadi, kalian masih belum berhasil menemukannya?" Nada suara Javon memang tidak terkesan marah sama sekali. Ia menanyakan itu dengan begitu tenang dan santai, padahal semua orang tahu semarah apa Javon setelah tahu bahwa lagi-lagi, pasukannya tidak berhasil melakukan apa yang disuruh olehnya.
Sebuah jawaban sudah ada di ujung lidah vampire yang ada di bawah kaki Javon. Namun, belum sempat jawaban itu keluar dari bibirnya, Javon sudah terlebih dahulu menendangnya hingga terjengkang. Lalu, dengan sangat cepat ia menewaskan vampire itu hanya dengan menusukkan kukunya yang tajam tepat di d**a sang vampire, kemudian mencabut jantungnya begitu saja tanpa perlu berusaha keras, dan melemparkannya ke lantai.
Semua yang menyaksikan itu terkesiap, namun tidak ada satu pun dari mereka yang berani melihat ke arah Javon. Sebab mereka tahu, Javon bisa dengan mudah melakukan hal yang sama terhadap mereka.
"Saya tanya sekali lagi, apa kalian masih belum berhasil menemukannya?" Javon kembali mengulang pertanyaannya tadi.
Kali ini, masih tidak ada yang berani menjawab, namun mereka menggelengkan kepala pelan.
Tawa Javon pun menggema di ruangan itu. Dan hanya dirinya saja lah yang tertawa, di saat yang lain justru ketakutan. Walau jumlah mereka semua jauh lebih banyak dibandingkan Javon yang sendirian, tetapi tidak ada yang berani melawan Javon karena tahu sekuat apa sosoknya.
Tanpa perlu bersusah payah pun, Javon bisa memusnahkan mereka sekaligus dalam satu waktu. Dan mungkin, ia memang akan melakukannya sebentar lagi.
"Tugas kalian hanya mencari Zora dan membawanya pulang ke sini, tapi sudah lebih dari seminggu, kalian yang jumlahnya banyak belum dapat apa-apa?"
Hening.
"Kenapa tidak ada yang menjawab?"
Akhirnya, seorang vampire perempuan yang berada paling belakang memberanikan diri untuk menjawab, "Maaf, Tuan...sejauh ini kami sudah berusaha keras untuk mencarinya...tapi kami kenduga kalau Nyonya Zora sengaja berpindah tempat hingga sulit untuk dideteksi keberadaannya. Yang kami tau...lokasi terakhirnya ada di universitas itu..."
Javon kembali tertawa, kali ini ditambah lagi dengan sebuah seringaian yang menghiasi wajahnya. Membuat laki-laki itu semakin meninggalkan kesan yang menyeramkan dan begitu mengintimidasi.
Kini Javon melangkah menuju vampire perempuan yang tadi sudah menjawab pertanyaannya. Vampire itu sudah ketakutan ketika tahu Javon berjalan ke arahnya. Ia pun mulai menggumakan maaf dan permohonan ampun pada Javon ketika pria itu memegang dagunya agar mereka bertatapan.
"Ampun Tuan...jangan bunuh saya..."
Javon tersenyum sembari menepuk-nepuk pelan pipi vampire itu. "Saya tidak akan membunuh kamu," katanya. "Walau kamu sama bodohnya dengan yang lain karena tidak berhasil menjalankan misi yang saya berikan, tapi kamu boleh pergi dari sini karena sudah menjawab pertanyaan saya tadi."
"Terima kasih banyak." Vampire perempuan itu bergumam, kemudian cepat-cepat ia beranjak dari sana sebelum Javon memutuskan untuk berubah pikiran.
Setelah perempuan itu pergi, fokus Javon kembali teralih pada semua yang tersisa di ruangan itu. Kini senyumnya sudah hilang tak bersisa.
"Saya benar-benar kecewa karena kalian sudah gagal menjalani misi yang menurut saya mudah. Padahal, jika saya atau Rowena yang turun tangan, kami bisa dengan mudah melakukannya? Apa mau kalian kami yang turun tangan langsung? Atau kalian sengaja terlalu santai untuk menggagalkan ritual saya di bulan merah nanti?"
Berbeda dengan keheningan seperti sebelum-sebelumnya, kali ini beberapa di antara mereka berebut untuk menjawab secara bersamaan, berharap bisa dibebaskan seperti perempuan tadi. Namun, dengan tangannya Javon memberi gestur untuk perempuan bernama Rowena untuk maju dan menyerang semua yang berebut untuk bicara tadi. Tanpa butuh waktu lama, Rowena berhasil menghabisi mereka.
Javon tersenyum puas dengan hasil kerja wanita itu. Ketika Rowena berjalan mendekat padanya, Javon menjilat percikan darah yang ada di pipi Rowena. Lalu, ia berbisik di telinganya, "Aku sudah tidak membutuhkan mereka lagi. Kamu boleh menghabisi semuanya."
Rowena menganggukkan kepala dan ikut menyunggingkan senyum. Dengan senang hati, ia melakukan titah yang diberikan oleh Javon padanya, sementara sang raja kembali ke singgasananya, menonton bagaimana sang tangan kanannya menghabisi dengan brutal para pasukan tidak berguna yang telah membuat Javon marah hari ini.
***
"Banyak yang kamu bunuh hari ini."
Javon menyeringai saja mendengar penuturan Rowena yang kini sedang berbaring tanpa busana di balik selimut di sebelahnya. Yang dibicarakan oleh Rowena tentu saja adalah kejadian semalam, ketika amarah membuatnya membantai lebih dari sepuluh pasukannya.
"Aku cuma bunuh satu dengan tanganku sendiri," ujar Javon. Ia mengangkat meraih tangan Rowena yang ada di balik selimut, lalu mengangkatnya. "Sisanya dilakukan oleh tangan ini."
Rowena berdecih. "Kamu selalu saja begitu, tidak mau mengotori tanga sendiri."
"Itu karena mereka bukan lah tandinganku, Sayang. Akan jadi terlalu mudah jika aku yang melakukannya."
"Ya, ya, ya, aku tau."
Javon kembali menyeringai, lalu ia menunduk untuk mendekat pada Rowena dan menciumnya tepat di bibir. Pagi mereka hari ini pun kembali dimulai dengan sebuah aktivitas ranjang yang panas.
Sama seperti manusia, vampire juga punya nafsu terhadap lawan jenis, dan nafsu mereka itu pun perlu disalurkan. Caranya pun sama saja dengan yang dilakukan oleh manusia pada umumnya. Dan itu lah yang dilakukan Javon dan Rowena pagi ini, saling memenuhi hasrat seksual masing-masing, seolah melakukannya semalaman masih belum cukup untuk mereka.
Kegiatan mereka pagi ini pun diakhiri dengan sebuah ciuman rakus. Rowena sudah berada di atas pangkuan Javon ketika mereka memisahkan diri. Satu hal yang membedakan vampire dan manusia, mereka tidak akan merasa setelah melakukan hal itu. Terlebih lagi Javon dan Rowena, mereka sama sekali tidak merasa lelah dan bisa saja kembali melanjutkan aktivitas tadi. Namun, mereka perlu bicara. Tepatnya, Javon yang butuh bicara kepada Rowena.
"Mereka semua tidak becus."
Rowena mengangkat sebelah alisnya. Ia memiringkan kepala, sepasang mata bulatnya memandang Javon penasaran. "Jadi, kenapa?" tanyanya.
Tawa kecil lolos dari bibir Javon. Dikecupnya sekilas bibir perempuan di dekapannya sekarang sebelum menjawab, "Giliranmu untuk menyelesaikan tugas mereka."
Rowena memutar bola mata.
"Kamu masih punya banyak pasukan yang lain, kenapa aku yang harus turun tangan?"
"Karena mereka semua bodoh dan tidak akan bisa menangkap Zora dengan cepat. Sedangkan aku sudah tidak punya waktu untuk berlama-lama lagi. Karena itu, kamu harus turun tangan untuk membawa calon istriku kembali."
Rowena merengut, membuat Javon terkekeh dan mencolek dagunya.
"Oh, ayolah Cassie." Javon menggoda Rowena dengan memanggil nama depannya. "Dia hanya akan jadi istriku untuk satu malam, setelahnya aku akan kembali jadi milikmu lagi."
Tetap saja, Rowena masih merengut, menunjukkan rasa tidak sukanya.
"Kenapa tidak kamu sendiri saja yang turun tangan mencarinya? Kamu pasti bisa menemukannya dalam sekejap dan dengan mudah menyeretnya kembali ke sini."
Javon menggelengkan kepala. "Aku tidak mau buang-buang waktu untuk itu."
"Oh, jadi kamu mau membuang waktuku?"
"Itu memang sudah tugasmu."
Rowena mengerang sebal. Kalau Javon sudah berkata begitu, ia tidak akan bisa melawan perkataannya lagi. Terlepas dari hubungan rumit di antara mereka dan perbedaan sikap yang ditunjukkan Javon pada Rowena dibanding pasukannya yang lain, tetap saja Javon adalah raja yang harus dituruti.
"Jadi, bagaimana?" tanya Javon sembari memuntir rambut panjang Rowena di jemarinya. "Kamu sanggup untuk mencari perempuan itu dan membawanya ke sini, kan?"
Mau tidak mau, Rowena menganggukkan kepala. "Aku tidak punya pilihan lain, kan?"
Javon menggelengkan kepala. "Yasudah kalau begitu. Aku akan mencarinya sampai dapat dan menyeretnya kembali ke sini. Tapi, setelahnya kamu harus memberiku imbalan."
"Itu bukan perkara yang sulit."
"Oke, aku tidak akan melupakan perkataanmu itu."
"Tapi..." Javon mendekatkan wajahnya kepada Rowena hingga bibirnya menyentuh telinga wanita itu samar saat ia berbisik, "...kalau kamu juga berakhir tidak becus dan gagal seperti yang lainnya, akan ada hukuman yang menanti. Kamu tau itu, kan?"
Kepala Rowena terangguk santai. "Tentu saja aku tau. Karena itu, aku tidak akan gagal." Sebuah seringai kecil terukir di bibirnya, seiring dengan semangat yang mulai berkobar dalam dirinya. "Aku akan membawa calon istrimu kembali, lalu membiarkan kalian menikah di bulan merah, dan melihat dia melahirkan anakmu. Tapi, setelah itu kamu harus berjanji untuk membiarkan aku yang membunuhnya dengan tanganku sendiri."
Sebagai ciptaan Javon yang terkuat, Rowena tidak akan mengecewakan pria itu, seperti yang sudah dilakukannya selama ini.
"Oh, Sayang..." Javon pun membelai wajah dan tubuh polos Rowena dalam pelukannya dengan lembut. "Tentu saja aku tidak akan melarangmu untuk melakukan itu. Yang pasti, kamu harus membawa Zora kembali dulu dengan hidup-hidup, tidak peduli bagaimana caranya. Dan siapapun yang menghalangimu dalam misi itu, boleh kamu bereskan."
"Bereskan sampai mati?"
Javon terkekeh. "Memangnya bagaimana lagi?"