Kekasih Revan.

1244 Words
Terangnya siang telah berlalu, berganti dengan pekatnya malam. Malam ini, kegelapan tak terlalu menyelimuti, karena bulan purnama bersinar dengan terang. Seorang wanita muda baru saja turun dengan anggun dari kuda besi miliknya. Mobilnya terparkir rapi di halaman sebuah rumah yang terlihat cukup besar, bangunan rumah bercat putih dengan tiga lantai dan memiliki halaman yang luas. Sambutan hangat pun diterima oleh wanita yang berusia dua puluh lima tahun itu. Wanita berusia setengah baya dengan gaya glamour berdiri di depan pintu, menyambut kedatangan wanita yang menjadi kekasih putranya itu. "Selamat datang, Cia," sambutnya dengan gembira. "Halo, Tante, apa kabar?" balas wanita bernama lengkap Felicia Abraham itu. Ia memeluk wanita paruh baya yang menjadi ibu kekasihnya, lalu saling menempelkan pipi kiri dan kanan mereka. "Kabar Tante sehat, Nak. Kamu gimana? Makin cantik dan sukses kayanya." Keduanya tertawa ringan bersama. "Tante bisa aja," jawab gadis itu dengan senyum merekah. "Ayo masuk, Tante udah masakin makanan enak untuk kamu?" "Tante masak sendiri?" tanyanya menggoda. "Bibik, maksudnya." Tawa renyah mengalir dari bibir keduanya. "Revan belum pulang, Tan?" tanya Cia yang sedari tadi tak melihat sosok pria yang dicarinya. "Palingan masih mandi, baru aja pulang sepuluh menit sebelum kamu ke sini tadi," jelas wanita paruh baya dengan nama Inneke. "Oh iya, Tan. Aku bawa oleh-oleh." Cia menghentikan langkahnya, kemudian merogoh tas hitam yang dibawanya, lalu dari tasnya ia mengeluarkan sebuah kotak berwarna pastel. Kemudian diulurkan pada wanita di hadapannya. "Apa ini?" tanya Inne penasaran sembari mengambil kotak yang diberikan untuknya. "Tante buka aja." Dengan segera, Inne membuka kotak pemberian dari Cia. "Wah, Cantik banget. Ini kan barang edisi terbatas yang Tante pengen banget. Kok kamu bisa dapet? dan tahu lagi kalo Tante pengen." Ia mengangkat sebuah kalung berwarna rose gold dengan berhiaskan sebuah batu Ruby yang diukir sedemikian cantiknya. "Tahu dong, Tan." Hanya sebuah senyum tanpa penjelasan. Tak lama kemudian, lelaki berbadan tegap berjalan menuruni anak tangga. Ia mengenakan celana panjang bahan berwarna hitam juga kemeja lengan panjang berwarna abu gelap. "Hai, Honey," Felicia berlari kecil menghampiri Revan yang sudah berada di bawah. ia mencium pipi kiri Revan kemudian memeluknya tanpa merasa sungkan, padahal di situ ada ibunya Revan. Justru wanita paruh baya itu hanya tersenyum menyaksikan pemandangan di hadapannya. "Hai. Sudah lama?" Revan melingkarkan lengan kirinya memeluk pinggang ramping Felicia. "Baru saja." "Kita makan dulu, baru ngobrol. Okey. Pacarannya nanti aja, tunggu Mami tidur," ujar Inneke dengan mengedipkan sebelah matanya menggoda dua insan itu, sementara wajah Felicia sudah bersemu merah. Mereka bertiga berjalan menuju meja panjang yang sudah tersaji beberapa hidangan yang menggugah selera. Selesai menyantap makan malam, mereka menuju ruang keluarga. Menghabiskan waktu untuk sekedar mengobrol. Felicia sendiri terlihat terus menempel dan menyandar pada lengan kokoh Revan, sementara Inneke bersikap santai melihat pemandangan itu. Felicia dan Revan menjalin hubungan beda agama, tapi baik Revan maupun Inneke tak mempermasalahkan hal itu. Bagi Revan, siapa pun bisa berpindah dan mengikuti agama pasangannya, jikapun tidak, maka mereka akan tetap menjalani pernikahan beda agama. Toh Revan bukan termasuk orang yang taat dan menganggap penting perkara agama. Baginya, semua agama sama. Felicia sendiri, bekerja sebagai model internasional. Karirnya yang sukses, membuatnya banyak mendapat panggilan kerja dari negara mana saja untuk memamerkan brand-brand ternama. "Jadi, kapan nih kamu bisa resmi jadi menantu Tante?" tanya Inneke dengan tak sabar. "Kontrak kerja aku masih ada setahun lagi, Tan. Dan begitu kontrak kerja ini selesai, aku pastikan akan bisa resmi menyandang status nyonya Revan Baskara," jawabnya dengan penuh keyakinan. "Dan kamu yakin, bakalan rela melepas karir kamu?" Inneke memastikan. "Aku juga butuh pendamping. Gak mungkin hidup ini akan aku habiskan dengan terus mengejar karir. Selama ada Revan, aku yakin semua pasti berjalan lancar." Felicia mengusap rahang tegas Revan dan tersenyum penuh arti. Inneke hanya tersenyum-senyum melihat kedekatan dua orang muda yang sedang dimabuk cinta itu. Ia seperti melihat dirinya di masa lalu, di mana pernah ia rasakan rasa cinta yang menggebu-gebu. "Oh iya... lusa aku bakal pergi lagi, Tan. Gimana kalau besok, kita habiskan waktu berdua. Jalan-jalan, perawatan, shopping-shopping." Felicia mengedipkan sebelah matanya pada Inneke. "Ide bagus. Tante mau ngenalin kamu ke teman-teman Tante, biar mereka tahu, seperti apa calon mantu Tante. Tante jengah banget, mereka selalu menanyakan calon istri Revan," ujar Inneke sedikit pongah. "Okey, kita habiskan waktu berdua dengan happy-happy." Keduanya melakukan tos setelah bersama-sama bersorak senang. Revan sendiri hanya tertawa geli melihat kedekatan dua orang yang sama-sama berarti dalam hidupnya itu. Obrolan yang terasa menyenangkan itu, membuat mereka tak sadar jika waktu terus bergeser dengan cepat, hingga tak terasa sudah larut malam. "Kamu mau nginap di sini atau balik?" tanya Inneke lagi. "Sayang sekali, aku harus pulang, Tan. Mami tidak izinin aku menginap," ujar Felicia dengan raut murung. "Tante tahu sendiri kan, mami sama papi masih memegang tradisi keluarga kami, tidak ada hubungan s*x sebelum pernikahan," bisiknya pada Inneke. "Dan aku takut, jika terus bersama Revan, bisa-bisa aku melanggar larangan keluarga," ujar Felicia sambil terkekeh tanpa malu yang juga dibalas kekehan dari wanita paruh baya itu. Inneke sendiri tak melarang putranya perihal hubungan sebelum menikah, karena baginya ini zaman modern. Hal seperti itu sudah lumrah terjadi di kalangan masyarakat, meskipun masih merupakan hal tabu bagi masyarakat Indonesia. Yang terpenting baginya, Revan tak jajan sembarangan dan melakukan itu dengan wanita yang disukainya, karena ia tak mau mengambil resiko dan menanggung akibat dengan mendapatkan cucu dari wanita sembarangan di luaran sana. Baginya, cucunya harus terlahir dari rahim wanita yang jelas bibit, bebet, dan bobotnya. "Okey, biar Revan yang antar kamu pulang. Tante tidak tega membiarkan kamu pulang sendiri. Mobil kamu ditinggal saja di sini, dan besok sopir Tante yang akan mengantarnya," ujar Inneke dengan kesan memberi perintah. "Siap, Tante." Felicia meletakkan tangannya pada keningnya dengan posisi layaknya menghormat, tak lama tawa renyah pecah dari bibir ketiganya. Setelah berpamitan, Revan segera mengantar Felicia untuk pulang. Sepanjang perjalanan pulang, Revan terus menggenggam jemari Felicia, seolah tak ingin berpisah. Sebesar itukah rasa sayang Revan? Ya, dia memang bucin parah terhadap Felicia. Entah apa yang membuatnya bersikap demikian, mungkin karena wajah cantik Felicia. "Berapa lama kamu akan pergi?" tanya Revan sembari mengecup jemari Felicia. "Entahlah, bisa jadi tiga bulan, enam bulan, atau lebih. Kenapa? kamu akan merindukanku?" tanya Felicia menggoda. Ia menopang dagunya dan menatap wajah Revan. "Jangan tanya lagi, itu sudah pasti, Cia. Kamu tahu apa yang aku rasakan bukan?" Revan mencubit gemas hidung mancung Felicia. Tak terasa, lima belas menit perjalanan mereka, akhirnya Revan telah sampai di depan rumah Felicia. Revan melepas seatbelt miliknya, kemudian beralih pada Felicia. Rasanya berat untuk berpisah. Revan terus saja memandang wajah Felicia. "Apa ada sesuatu di wajahku?" tanya Felicia menggoda. "Ya, ada," jawab Revan tanpa mengalihkan pandangannya. "Apa itu?" Felicia meraba wajahnya. "Kecantikanmu, Cia." Tatapan Revan semakin dalam. Ia menangkup wajah mulus wanita dengan kulit putih di hadapannya, kemudian mendaratkan ciuman pada bibir gadis itu. Ciuman yang semakin dalam dan menuntut. Setelah cukup lama, ciuman itu terlepas saat pasokan oksigen terasa menipis dalam rongga d**a. "Begini saja boleh bukan?" tanya Revan memastikan. "Ini bukan termasuk larangan dari keluargaku," jawab Felicia yang wajahnya sudah bersemu merah. "Aku mencintaimu, Cia," ujar Revan lalu kembali mendaratkan ciumannya. "Aku juga." Keduanya melanjutkan ciuman mereka. Dan sebuah panggilan telepon dari ponsel Felicia membuat mereka harus menghentikan aksi keduanya. Revan berdecak kesal, sementara Felicia hanya tersenyum. Wanita muda itu meraih ponsel dari dalam tasnya, membaca nama si pemanggil. "Siapa?" tanya Revan. "Manager aku," Felicia menunjukkan layar ponselnya pada Revan. "Angkatlah," ujar Revan memberi izin. "Halo." Setelah mendapatkan izin, Felicia segera mengangkat panggilan itu. Mimik wajahnya berubah serius. "Apa? Besok? bukannya jatah cutiku masih sampai lusa?" ujar Felicia tampak keberatan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD