Mendengar ucapan Revan, Hanum menoleh, menatap ke arah Revan dengan pandangan yang sulit diartikan. Ia sudah menyangka ini akan terjadi. Namun, ia tak menyangka jika ternyata secepat itu Revan mengatakannya.
"Aku akan membiarkanmu tinggal di rumahku, akan kuberikan nafkah yang semestinya juga padamu. Tapi jangan berharap lebih dari pernikahan ini. Kau boleh tinggal, tapi jangan pernah beritahukan pada siapa pun jika kau istriku," tegas Revan sekali lagi.
Hanum kembali menatap kosong lantai di hadapannya. Ia menunduk kemudian mengangguk paham. Hanum tak mengatakan apa pun. Lidahnya terasa kelu. Lagipula ia tak tahu harus berkata apa.
"Siapkan semua barang-barang yang mau kau bawa," titah Revan sembari berdiri. "Aku akan menunggu di luar," imbuhnya lagi.
Revan segera menuju ke luar kamar kost Hanum. Ia duduk pada dipan di depan kamar Hanum. Mobil miliknya yang sempat ia tinggalkan semalam, sudah ia ambil dari depan kelab. Namun ponselnya tetap saja mati, karena tidak ada charger yang cocok, sehingga Revan tak bisa menghubungi siapa pun.
Sementara itu, Hanum masih merenung di dalam kostnya. Ia masih belum mempercayai semuanya. Hanum hanya bisa berusaha menata hatinya untuk bisa menerima ini semua. Hanum mengerti dan faham, jika kedepannya cobaan hidupnya akan bertambah. Dan yang perlu ia lakukan, hannyalah mempersiapkan diri saja. Ia percaya, semua yang terjadi padanya saat ini, merupakan takdir yang sudah digariskan oleh Tuhan.
Setelah selesai mengepak semua barang-barang miliknya, Hanum segera menyusul Revan keluar.
Sebelum benar-benar membuka pintu, Hanum memperhatikan sekitarnya. Ada rasa berat untuk meninggalkan kamar petak yang selama ini menjadi tempatnya tinggal. Tapi takdir yang memintanya untuk meninggalkannya.
Hanum segera menghampiri Revan setelah ia keluar dari kamar kostnya.
"Tuan." Hanum sedikit ragu untuk berujar. Namun Revan menatapnya, tapi ia tak mengatakan apa pun. "saya mau mengembalikan kunci pada ibu kost dulu," ujar Hanum. melanjutkan.
"Hem." Dengan enggan Revan menjawabnya.
Hanum meletakkan tas yang ia bawa ke lantai. Tas berisi baju dan beberapa barang-barangnya. Memang tak begitu besar, karena barang-barang Hanum memang tidak banyak.
Hanum kemudian melangkah meninggalkan Revan. Ia berjalan menuju sebuah rumah yang paling besar di antara rumah yang lain. Rumah pemilik kost yang ditempati oleh Hanum.
"Assalamualaikum," ujar Hanum sopan saat melihat seorang wanita yang mengenakan daster batik sedang menyirami bunga di depan rumahnya.
"Wa Alaikum Salam, Nak Hanum." Wanita paruh baya itu segera meletakkan selang air yang dipegangnya, kemudian mematikan kran air. "Ada apa?" tanyanya sembari mendekat ke arah Hanum. Ia mengelap telapak tangannya pada bagian belakang daster yang ia kenakan.
"Saya mau kembalikan kunci, Bu," ujar Hanum sambil memberikan kunci besi dari tangannya.
"Kamu, mau langsung pergi sekarang?" tanya wanita yang merupakan induk semang Hanum.
"Iya, Bu. Maaf jika selama ini saya menyusahkan dan pernah membuat ibu marah," ujar Hanum sambil menunduk.
Wanita itu menarik tubuh Hanum dalam pelukannya. "Ibu juga minta maaf sama kamu, jika selama ini ibu punya salah padamu, Nak."
Hanum mengusap air matanya yang tiba-tiba menetes. Wanita ini, selalu baik padanya. Hanum seperti bisa merasakan sosok ibu ketika bersamanya. Seringkali, wanita bernama Susi itu, mengirimkan makanan pada Hanum. Ia juga sudah menganggap Hanum seperti putrinya sendiri. Karena ia pernah memiliki seorang putri seusia Hanum. Namun sayangnya, putrinya sudah meninggal karena sebuah kecelakaan. Di samping itu, kehadiran Hanum yang sebatang kara, membuatnya merasa iba pada gadis itu.
"Sering-seringlah main kemari, Nak," ujarnya sembari mengurai pelukan mereka. Ia mengusap wajah Hanum dan menunjukkan senyum terbaiknya.
"In shaa Allah, Bu," jawab Hanum sambil mengangguk. "Saya pamit dulu. Assalamualaikum."
"Wa Alaikum Salam." Bu Susi mengusap jejak air mata dari pipinya.
Setelah memberikan kunci kostnya, Hanum melangkah pergi. Ia kembali ke tempat Revan yang sudah menunggunya.
"Sudah, Tuan," ujar Hanum memberitahu.
Tanpa menjawab, Revan segera berdiri dan melangkah menuju mobilnya.
"Letakkan barangmu di bagasi," ucap Revan memerintahkan.
"Ba... baik, Tuan," Hanum menuju ke bagian belakang. Meletakkan sebuah tas hitam di dalam bagasi. Kemudian ia kembali ke bagian depan.
Hanum menatap ragu. Haruskah ia ikut masuk ke dalamnya. Jika iya, ia harus duduk di mana. Duduk di samping Revan, rasanya Hanum merasa tak pantas. Akhirnya, Hanum memutuskan untuk membuka pintu bagian belakang. Hanum hendak memasukkan tubuhnya, namun ucapan Revan membuat Hanum mengurungkan niatnya.
"Kau pikir aku sopirmu?" tanya Revan dengan tatapannya yang tajam menghunus. Ia menatap Hanum melalui spion kecil yang ada di dalam mobil.
"Ma... maaf, Tuan." Hanum menunduk, kemudian berjalan ke arah depan, lalu membuka pintu bagian samping kemudi.
Hanum duduk dengan tenang, namun perasaannya sangat canggung, ia merasa tak nyaman. Hanum bahkan tidak berani mengangkat wajahnya.
"Gunakan sabuk pengamanmu," titah Revan.
"Ba... baik, Tuan." Hanum meraih seatbelt yang ada di sampingnya, kemudian mulai mengaitkan pada bagian yang lain.
Revan segera menyalakan mesin mobilnya, kemudian mulai menjalankan SUV hitam miliknya. Mobil Revan keluar dari kompleks kost-kostan Hanum, lalu mulai melaju membelah jalan raya.
Sepanjang perjalanan, keduanya tak mengucapkan sepatah kata pun. Mereka saling diam dan hanyut dalam pikiran masing-masing.
Hanum sendiri hanya terus menunduk, memperhatikan jari jemarinya yang saling memilin satu sama lain. Sementara Revan, lebih fokus ke jalan raya.
Ingin rasanya sesekali Hanum melihat wajah lelaki yang baru saja menikahinya beberapa saat yang lalu, namun ia tak memiliki keberanian.
Hampir dua puluh menit perjalanan mereka tempuh, karena jalanan cukup macet, akhirnya mereka sampai di kediaman Revan. Mobil milik Revan berhenti tepat di depan sebuah gerbang hitam dengan tinggi hampir empat meter.
Revan membunyikan klakson mobilnya. Tak lama kemudian, seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh tahun dengan berpakaian security terlihat membuka gerbang. Lelaki itu kemudian menundukkan kepalanya memberi hormat pada Revan.
Revan kembali menekan tuas gas dan melajukan mobilnya memasuki pekarangan yang cukup luas. Hanum berdecak kagum melihat bangunan tiga lantai di hadapannya. Bangunan mewah yang menjulang tinggi dengan halaman yang luas. Ini pertama kali baginya melihat secara langsung rumah mewah dan besar milik bosnya.
Seorang wanita paruh baya yang Hanum perkirakan ia merupakan asisten rumah tangga di rumah ini, berlari menyapa Revan yang baru keluar dari mobilnya.
"Tuan, baru pulang?" tanyanya sembari menunduk.
"Mama mana, Bik?" tanya Revan tanpa menjawab ucapan ART tersebut.
"Nyonya belum pulang, Tuan," jelasnya memberitahu.
"Ke mana?"
"Saya kurang tahu, Tuan. Nyonya tidak mengatakan apa pun," ujarnya.
"Baiklah," Revan mengibaskan tangannya, memberi isyarat jika wanita itu bisa pergi. "Ambil barangmu," titah Revan beralih pada Hanum.
"I... iya, Tuan." Dengan segera, Hanum mengambil barangnya dari bagasi. Kemudian segera menyusul langkah Revan menuju ke dalam rumah.
Langkah panjang itu menuju sebuah kamar di lantai satu. Ia membuka sebagian pintu bercat putih yang tertutup. "Mulai sekarang, ini kamarmu," ujar Revan.
"Sa... saya, Tuan?" tanya Hanum tak percaya. Kamar yang cukup luas dan bersih. Semua benda tertata dengan rapi. Bahkan, kamar ini lebih luas dari pada rumah kost miliknya. Hanum merasa tidak percaya.
"Ya, dan ingat, jangan pernah mengusik atau pun mengganggu hidupku. Aku akan membiarkanmu tinggal di rumah ini, sampai saatnya aku akan menceraikanmu nanti," ujar Revan tegas.
Hanum tak menjawab. Ia hanya bisa menunduk. Ia sudah menyadari, bagaimana posisinya saat ini.
"Bik," panggil Revan pada wanita yang tadi menyapanya.
"Iya, Tuan." Dengan tergopoh-gopoh, wanita itu berlari ke arah Revan.
"Bantu dia menyiapkan kamarnya," titah Revan.
"Baik, tuan," jawab wanita itu tanpa berani bertanya lebih jauh, meskipun dalam benaknya dipenuhi rasa penasaran.
Setelah mendengar jawaban dari sang ART, Revan segera melangkah meninggalkan keduanya. Ia menaiki tangga dan menuju kamarnya yang ada di lantai tiga.
"Mari, Non, saya bantu," ujar wanita itu ramah.
"I... iya, Bik," jawab Hanum sedikit tergagap karena ia tadi memperhatikan Revan yang menjauh.
Keduanya masuk ke dalam kamar tamu yang Revan sediakan untuk Hanum.
"Non, namanya siapa?" tanya wanita itu sedikit ragu.
"Saya, Hanum. Bibi siapa?"
"Saya, Surti, Non. ART di sini,"
"Salam kenal, Bik," ujar Hanum mengulurkan tangannya, mengajak wanita bernama Surti untuk bersalaman.
"Iya, Non." Surti membalas uluran tangan Hanum. "Em, anu. Maaf kalau saya lancang," ujar Surti sedikit ragu.
"Ada apa, Bik?" tanya Hanum menatap Surti dengan pandangan tanda tanya.
"Non ini siapa, ya? Kok bisa bareng tuan?" Akhirnya pertanyaan itu lolos dari bibir Surti.
"Sa... saya." Hanum bingung harus menjawab apa.
"Kalo belum siap untuk kasih tahu, enggak apa, Non. Semoga betah ya di rumah ini," ujar Surti akhirnya. Ia tak mendesak Hanum untuk bertanya dan menuntaskan rasa penasarannya, begitu melihat kebingungan Hanum.
"Te... terima kasih, Bik."
"Ya sudah, saya tinggal keluar, ya. Non bisa istirahat dulu," ujar Surti ramah.
Hanum hanya mengangguk setuju.
***
Hanum tersadar dari tidurnya saat mendengar suara teriakan dari arah luar. Ia segera mengusap matanya, saat tersadar jika dirinya tertidur usai menata barang bawaannya. Mungkin juga karena lelah yang membuat dirinya tak sadar telah tertidur.
Setelah merapikan diri, Hanum segera melangkah keluar kamarnya.
Begitu membuka pintu kamarnya, Hanum melihat seorang wanita dengan gayanya yang glamour menatap tajam ke arah dirinya.
"Siapa kau?" tanyanya menatap Hanum curiga. Saat itu juga, Revan baru saja turun dari lantai atas.