2 : Waktu Bicara

1038 Words
Pada akhirnya Raga tetap tidak ingin berpisah. Semua orang dewasa menyarankan mereka untuk berbicara berdua di dalam kamar. Divya tahu tujuannya. Ingin membangun kembali keharmonisan di antara mereka berdua. Namun, yang ada tak semudah itu. Ia menyibukkan diri dengan mengajak Raynar bermain. Beruntung anak itu tidak ingin tidur siang, maka Divya tidak memaksa dan punya alasan untuk tidak memedulikan Raga. "Yah, rusak," keluh Raynar ketika melihat satu ban mobil mainan terlepas. "Itu bisa diperbaiki. Sini, sama Mama." Divya mengulurkan tangan untuk membantu sang anak. "Sama Papa aja," sela Raga yang duduk di atas ranjang. Divya bergeming, menganggap pria itu tidak ada di dalam kamar ini. Raga sendiri yang memutuskan untuk menetap, ia tidak memaksakan. Maka, pria itu pula yang harus menanggung akibat dari perlakuan. Divya tidak akan semudah itu untuk kembali harmonis. Tidak lagi, tak akan membiarkan hatinya kembali patah. Dari suara langkah kaki, Divya tahu bahwa Raga mendekati mereka berdua. Segera saja ia mengangkat Raynar pada pangkuannya, tak ingin jika pria itu merebut kedekatan di antara Divya dan sang anak. "Div, emangnya Mas sehina itu di mata kamu?" tanya Raga. Entah berekspresi seperti apa pria itu, Divya sama sekali tidak peduli. Memang ia tidak punya apa-apa yang bisa dijadikan kesombongan, tetapi Divya punya anak-anak yang selalu menempel padanya. Jika Raga melakukan itu tanpa memikirkan anak-anak, maka akan Divya buat Kayla dan Raynar tidak memedulikan sang ayah. Masih fokus memperbaiki mobil mainan Raynar, tangannya kini digenggam oleh sang suami. Divya menarik pelan, tidak ingin merasakan sentuhan itu. "Kamu boleh marah, Mas bakal nunggu sampai kamu maafin," ucap Raga. Pria itu berusaha untuk melihat wajah sang istri. Namun, Divya sama sekali tidak peduli. Entah sampai kapan akan melakukan hal ini, seperti tak ada ujungnya. "Malam ini kita makan di luar, yuk." Raga terdengar membujuk. "Nggak perlu, di rumah masih ada makanan." Divya menolak. "Aku yang nggak pernah minta diajak keluar rumah, masih aja diselingkuhi, apalagi minta buat makan di luar. Yang ada harus bayar, buang-buang duit." Tidak ada tanggapan dari Raga. Divya memberikan mobil mainan itu kepada Raynar. Tanpa beranjak dari pangkuan Divya, anak itu memainkan mobil tersebut di lantai. "Div, Mas bener-bener minta maaf." Suara itu terdengar sangat menyesal, tetapi Divya tidak peduli. "Selama mendapatkan masalah ini, aku bertanya-tanya, Mas. Ada sikap aku yang Mas nggak suka?" tanyanya sembari menoleh dan menatap tepat di manik mata sang suami. "Jawab," paksanya. Raga menelan ludah, sangat jelas terlihat bahwa pria itu tak bisa berkata-kata. "Mas nggak pernah merasa ada yang kurang di kamu, selama ini Mas cuma khilaf." Itu bukan jawaban yang ingin Divya dengar. "Kalau nggak bisa jawab sekarang, Mas bisa jawab besok atau besoknya lagi. Selamanya aku bakal nunggu jawabannya," tegas Divya. "Mas udah jawab." Raga bersikeras. Namun, Divya masih dengan pendirian. Jika salah satu di antara mereka berkhianat, maka sudah pasti ada sesuatu yang tidak disukai. "Udah sore, Raynar mandi, yuk." Divya berdiri, membawa sang anak dalam gendongan. "Ugh, anak Mama makin berat ternyata." Ia tinggalkan Raga yang masih duduk di lantai. Apapun yang akan terjadi di hari esok, hanya sakit hati yang menjadi pelajaran untuk Divya. Selamanya, ia tidak akan membiarkan dirinya jatuh pada kesakitan yang sama. --- Meskipun masih dengan pendirian yang sama, nyatanya Divya tak bisa abai dengan kebutuhan sang suami. Bukannya tidak ingin diduakan lagi dan memilih bersikap manis untuk mengait hati, hanya saja ia tak bisa berpaling untuk tidak peduli. Meskipun begitu, Divya sekuat tenaga menekan perasaannya untuk kembali percaya. Biarlah ia dengan tugasnya, dan hati kuat mempertahankan pendirian. "Selesai," ucap Kayla, melepaskan sendok ke atas piring. "Ayo, Dek, cepat. Entar kita telat, loh." Divya menyuapkan makanan pada Raynar. Sudah masuk tahun kedua untuk putranya itu bersekolah di PAUD. Raynar sangat menyukai sekolah, karena punya banyak teman. "Selesai." Divya mengatakan itu ketika Raynar minum dan piring sudah kosong. "Hari ini Papa yang anterin." Suara berat itu membuat Divya menoleh. Di rumah ini terdapat dua mobil. Satu untuk dikendarai Raga ke bank tempat bekerja, dan satunya lagi untuk mengantarkan anak-anak ke sekolah. "Nggak apa, Pak Umas udah nunggu," tolak Divya. "Ambil tas masing-masing, segera ke mobil." Divya mengikuti anak-anaknya dari belakang menuju teras rumah. Seperti hari biasa, ia akan ikut mengantarkan anak-anaknya sampai di sekolah, dan akan pulang bersama Pak Umas kembali ke rumah. Hanya begini pekerjaannya, mengurus rumah, suami, dan anak-anak. Itu pun di rumah Divya hanya memasak, sedangkan pekerjaan lain ia serahkan pada kedua ART-nya. "Nggak pamit sama Papa?" Raga mencegah mereka yang hendak masuk ke mobil. Kayla lebih dulu berbalik, dan mencium punggung tangan Raga, Raynar mengikuti dari belakang. "Belajar yang rajin, ya." Pria itu berjongkok dan mencium kepala anaknya satu per satu. "Ayo, cepat, entar kalian telat." Divya sengaja mengatakan itu karena tidak suka melihat anaknya berlama-lama dengan sang suami. "Daa ... Papa!" Kayla melambai sembari masuk ke dalam mobil. "Daa ... Papa!" Raynar mengikuti. "Daaa ...," balas Raga. Divya tidak mengatakan apapun, ia segera masuk ke dalam mobil dan membantu anak-anaknya mengenakan seat belt. Mobil meninggalkan rumah, Divya sama sekali tidak menengok ke belakang. Jika dipikir, ia bisa membawa anak-anaknya pergi ke manapun dimau, tanpa suami tentunya. Namun, memikirkan dirinya tidak punya uang selain apa yang diberikan oleh Raga, membuat semangat itu menjadi surut. Divya memang sudah membulatkan tekad, ingin bekerja agar bisa mandiri. Supaya, jika Raga benar-benar meninggalkannya, maka Divya punya pegangan untuk membesarkan anak-anak. Masa lalu yang dijalani sangat berat, tetapi Divya merasa bisa melalui karena perjuangan ibunya. Meskipun marah pada sang suami, Dania tetap mau menafkahi Divya dan Darsa. Dering ponsel membuat lamunannya terhenti. Divya mengerutkan kening melihat deretan nomor yang tertera di layar ponsel. "Halo," sapanya pada seseorang di ujung sambungan. "Halo, dengan Ibu Divya?" "Iya, saya sendiri. Ini siapa, ya?" tanya Divya. "Saya Ivan. Suaminya Aminah." Nama itu tentu Divya tahu, sosok yang membuat keluarganya renggang, hampir hancur berkeping-keping. Ya, kalau saja Raga lebih memilih wanita itu. "Oh, kenapa, Pak? Suami saya berulah lagi?" tanyanya tanpa merasa ragu. "Bukan, Bu. Saya hanya mau bicarakan sesuatu sama Ibu, boleh kita bertemu pagi ini?" Divya memang tidak peduli dengan apa yang dilakukan sang suami di masa lalu dan masa depan, tetapi mendengarkan Ivan ingin bertemu dengannya, tentu saja ia terima tanpa berpikir panjang. Setidaknya, ia harus mengenal seperti apa kehidupan perusak itu. "Boleh, Pak. Kebetulan saya juga ingin bertemu suami dari Aminah," setujunya tanpa ragu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD