Setelah membereskan barang bawaan, Queeny yang menggunakan baju gamis, ia segera mengganti bajunya dengan kaos berwarna putih, dan mengenakan celana bahan berwarna biru cerah, ia juga mengenakan hijab berwarna biru. Entah, sejak kapan Queeny mempunyai celana, meskipun berbahan bahan tetapi selama ini Queeny sangat dilarang berpakaian ketat apalagi celana.
"Marlina, aku pergi dulu ya," seru Queeny kepada teman barunya yang bernama Marlina.
"Cie … mau healing ya? Dasar anak pesantren yang baru keluar kandang! Sampe kostum juga berubah" ledek Marlina.
Queeny hanya tertawa mendengar candaan Marlina.
"Dah ah, bye!"
Meskipun mereka baru kenal Queeny dan Marlina sudah bertukar cerita banyak mengenai keluarga dan kehidupan masing-masing. Jadi Queeny dan Marlina jadi tidak malu-malu bertukar candaan ataupun ledekan.
Malam ini Furqon mengajak Queeny ke sebuah kafe. Furqon bilang, dia sering ke sini ketika berlibur. Queeny baru pertama kalinya datang ke sini dan sama sekali tidak menyangka kafe di tengah kota ini bercahaya temaram, terdapat lampu sorot di berbagai sudut, dan ada musik dj yang disetel memenuhi ruangan. Queeny tahu definisi dari tempat ini. Dia masuk ke sebuah cafe, tetapi yang namanya tempat malam pasti ini adalah tempat alkohol sering dijual belikan secara bebas. Apalagi Queeny sekarang berada di ibu kota, ya, Jakarta.
"Furqon, balik, yuk!" kata Queeny saat dia dan pacarnya baru sampai di depan pintu.
"Kok, balik, si? Baru nyampe, loh."
"Aku nggak mau di sini."
"Kenapa? Katanya mau bebas. Ini yang namanya bebas, Queeny," tegas Furqon sambil menarik lengan Queeny ke tengah-tengah cafe untuk mencegah alasan lain gadis itu.
"Denger, kamu bisa lakuin apa aja di sini tanpa khawatir apapun. Aku yakin, kamu bakalan ketagihan!" bisik Furqon saat mereka berdua berada di tengah-tengah orang yang sedang menari.
Lampu sorot membuat Queeny merasa sangat pusing. Di sampingnya, Furqon sudah berjoget ria mengikuti irama lagu.
"Queeny, ayo! Tunjukkan dirimu!" seru Furqon di tengah suara musik.
Queeny menatap sekeliling. Melihat para wanita mengenakan pakaian terbuka, rambut mereka terurai membuat mata para lelaki termanjakan. Queeny teringat akan mimpinya dulu ketika dia masih SMA, dia ingin sekali sebebas mereka. Bisa mengenakan pakaian apa saja dan bertindak apa saja. Kemudian, dia masuk ke pesantren dan menjadi anak yang tau aturan agama. Queeny jadi teringat pesan orang tuanya sebelum dia berangkat ke Jakarta.
Musik berganti menjadi lebih keras. Queeny mulai merasa pusing. Tetapi entah kenapa suara musik itu membuatnya terhipnotis dan mulai merasakan suasana ini sama sekali tidak membahayakan. Sah-sah saja baginya untuk ikut menikmati kebebasan seperti yang sudah Furqon katakan.
"Ya, Queeny!" seru Furqon saat Queeny mulai menggerakkan tubuhnya. Queeny mulai menikmati kebebasan yang Furqon maksud.
Musik silih berganti. Furqon menarik lengan Queeny ke arah meja bartender. "Mau minum?"
Queeny menatap gelas berukuran kecil yang sedang diisi cairan bening mirip air putih. Tapi Queeny yakin, itu bukan air putih.
"Kopi aja," sahut Queeny sebisa mungkin terlihat santai padahal dia mulai terheran melihat Furqon yang ternyata juga minum alkohol. Furqon meneguk segelas cairan bening itu ke mulutnya. Kedua matanya menyipit menahan rasa terbakar di area tenggorokan.
"Beneran nggak mau coba?" tanya Furqon dengan raut menggoda.
Queeny menggeleng tegas. Masuk ke sini saja sudah jadi kesalahan terbesarnya, akan sebesar apa masalahnya jika ditambah minum alkohol?
Furqon sudah meneguk habis tiga gelas kecil minuman bening itu. Dia mengerjapkan mata dan menarik Queeny ke tengah-tengah area dansa. "Lo bakalan nyesel nggak minum minuman tadi, Queeny," gerutu Furqon dengan suara tak seperti biasanya. Dia menarik Queeny mendekat ke dadanya dan tersenyum aneh ke wajah gadis itu.
"Lepasin, aku. Aku nggak nyaman kayak gini."
Tetapi Furqon tidak melepaskan Queeny sama sekali. "Kamu dengar aku nggak?" bentak Queeny membuat beberapa orang menoleh ke arahnya. "Lo denger gue?"
"Nggak, Sayang. Gue nggak denger! Musiknya keras banget, nggak denger apa-apa," sahut Furqon lantas tertawa dan melepaskan Queeny dari pegangannya. Gadis itu menghela napas. Dia pikir, Furqon benar-benar tak sadarkan diri gara-gara minuman tadi.
"Kamu jangan nakut-nakutin gitu, dong!" kata Queeny dengan nada kesal. Wajahnya cemberut.
"Kamu takut?" Furqon menahan tawa. "Aku pacar kamu, ngapain takut?"
Queeny tidak tahu alasan apa yang harus ia katakan. Tetapi dia senang Furqon membawanya ke tempat yang tepat untuk melampiaskan kebebasannya. Keduanya kembali berdansa seperti pengunjung lain.
Saat Queeny akhirnya terbiasa dengan lampu sorot yang menyapu matanya berkali-kali, Furqon menghentikan gerakan tubuhnya. Laki-laki itu menahan keningnya yang berkunang-kunang.
"Kenapa?" tanya Queeny khawatir.
"Kayaknya gue mau ke toilet sebentar, deh."
"Ya udah, sana."
Furqon mengangguk setuju.
"Jangan lama-lama. Ini udah malem!" seru Queeny saat Furqon menghilang di balik kerumunan.
Sepeninggal Furqon, Queeny kebingungan. Dia merasa canggung menggerakkan tubuh seperti tadi sendirian. Akhirnya dia mundur ke arah meja bartender untuk duduk di salah satu kursinya. Seorang bartender laki-laki sempat menawarinya minuman, tapi Queeny menggeleng tegas.
"Hay, cantik!" sapa seorang laki-laki berjambul panjang hingga menutupi dahinya. Queeny memperhatikan penampilan pria itu yang mengenakan jaket levis. Senyumnya terlihat aneh.
"Hay, " sahut Queeny berusaha ramah. Siapa tau, laki-laki ini cuma mau ambil minuman lalu pergi.
"Namanya siapa?" pria itu semakin memperlihatkan senyum lebarnya.
"Queeny."
"Namanya cantik. Anak mana?"
Queeny semakin yakin pria ini bukan hanya ingin mengambil minuman lalu pergi, melainkan untuk menggodanya. Dia menatap ke pintu toilet tempat Furqon masuk, pacarnya itu belum juga terlihat. "A-aku dari Bandung," sahut Queeny memberanikan diri.
"Mau ke sana, nggak? Ada tempat sepi, tuh!" laki-laki itu meraih punggung tangan Queeny. Sudah bisa dipastikan, laki-laki ini bukan orang baik-baik. Queeny langsung menarik tangannya dan bangkit dari sana.
"Mau kemana?" tanya laki-laki tadi sambil mengejar Queeny. "Jangan takut. Gue nggak akan apa-apain, kok. Sayang, sini!"
Queeny merasa risih. Dalam hati menyalahkan Furqon yang sejak tadi tidak muncul dari kamar mandi. Queeny keluar dari club. Dia mengecek ponselnya di sebuah bangku kecil untuk menelepon Furqon. Panggilan itu sama sekali tidak dijawab, bahkan hingga panggilan ke lima.
"Furqon, kamu lagi ngapain, si?" gerutu Queeny sambil menatap pintu di depannya. Dia menelepon nomor Furqon sekali lagi, seperti sebelumnya, dia harus menelan kekecewaan seperti sebelumnya.
Queeny pasrah. Dia sudah memutuskan akan memarahi Furqon begitu bertemu laki-laki itu lagi, bahkan hati kecilnya sedikit berharap dia tidak akan bertemu pria itu lagi karena saking kesalnya. Ini sudah jam pulang. Gara-gara Furqon, dia terpaksa pulang sendiri. Padahal malam-malam seperti ini sudah tidak ada taksi atau angkutan umum.
***
Akhirnya Queeny jalan kaki dengan langkah kesal. Hatinya beberapa kali menggerutu, menyalahkan Furqon untuk kesekian kalinya.
Langkah kesal Queeny terus membawanya menyeberangi trotoar. Saking frustasinya, Queeny tak sadar sebuah mobil sedang melaju ke arahnya. Queeny berteriak saat lampu sorot sebuah mobil jatuh di sekujur tubuhnya. Untung saja si pemilik mobil berhasil menginjak rem tepat waktu meskipun Queeny sudah lebih dulu terjatuh di jalanan.
Queeny meringis merasakan luka di telapak tangannya. Dompet dan ponselnya terlempar beberapa senti dari kakinya. Si pemilik mobil yang merupakan sosok laki-laki berkemeja biru lengkap dengan dasi menjuntai di dadanya keluar dari mobil untuk membantu Queeny.
Gadis itu mengerang kesakitan.
"Maaf. Saya sedang terburu-buru," kata laki-laki itu. Suara merdunya menarik perhatian Queeny. Dia meraih tangan laki-laki itu untuk bangkit.
"Kamu baik-baik saja?" tanya laki-laki itu. Queeny bisa melihat potongan wajah sempurna lewat sorotan lampu mobil. Laki-laki ini membuatnya nyaris melayang.
"Iya, aku nggak papa."
"Ada yang perlu diganti rugi?"
Queeny memungut dompet dan ponselnya. Semuanya aman. Membuatnya mengangguk tenang. "Tidak ada," sahutnya dengan nada bergetar.
"Saya bisa antar kamu sampai ke rumah. Masuk saja."
Queeny menatap mobil yang nyaris menabraknya, kemudian ke arah laki-laki yang kini masih menatap peduli ke arahnya.
"Nggak perlu, saya bisa pesan ojek online."
"Ini sudah malam, jarang-jarang ada ojek online. Aku nggak bermaksud membujuk. Kalau tidak mau, tidak apa-apa."
Queeny akhirnya setuju. Dia pulang dengan laki-laki asing ini.
Sesampainya di depan gerbang kost, Queeny turun dari mobil dengan perasaan sedikit lega. Ya, Queeny tidak salah orang untuk mengantarkannya pulang.
Sebelum turun Queeny tidak lupa mengucapkan terima kasih, "Terima kasih sudah mengantarkanku pulang, Om."
Pria itu hanya tersenyum menjawab ucapan Queeny. Kemudian, mobilnya berlalu dari pandangan Queeny.
'Awas aja kau, Furqon!' pekik Queeny mengingat kembali pada pacarnya yang sudah membawa Queeny ke tempat tadi.
***