Queeny sedang berlarian menggandeng lengan Marlina untuk mengantarnya pergi ke ruangan Yusuf. Hentakan kaki mereka mencuri perhatian mahasiswa lain di koridor. Ada beberapa kertas di tangan kirinya, sebuah tugas yang harus dikumpulkan sebelum pukul sembilan pagi. Sialnya, saat ini sudah jam 8 lebih 58 menit, yang berarti Queeny hanya punya 2 menit untuk sampai di ruangan Yusuf yang jaraknya masih sekitar dua puluh meter dari keberadaannya.
"Sesak napas gue. Berhenti bentar!" cegah Marlina sambil memperbaiki tas selempangnya yang sudah turun hingga siku. Queeny menghentikan langkah. Menatap lelah ke arah Marlina.
"Dikit lagi, Mar. Tamat gue kalau telat. Bisa kena DO."
"Elo sih, siapa suruh pake lupa segala. Kebiasaan deh!"
Queeny kembali menyuruh Marlina berlarian di belakangnya hingga akhirnya mereka sampai di depan pintu ruangan Yusuf. Setibanya di sana, mereka menghembuskan napas lelah. Queeny meredakan detakan jantungnya dan menghapus pluh di dahinya.
"Telat satu menit," gerutu Queeny sambil melirik jam tangannya.
"Gue berharap lo balik dalam kedaan baik-baik aja," pesan Marlina yang kini sedang bersenderan di tembok. Menatap Queeny yang sudah siap masuk ke dalam ruangan.
"Emangnya dia apaan? Monster yang bakalan makan gue?"
"Udah sana, bawel. Udah telat, nggak usah banyak ngomong."
"Iya iya ... nih." Queeny mengetuk pintu dua kali. Tidak ada jawaban. Lalu mengetuk untuk ketiga kalinya. Barulah dia bisa mendengar seruan dari dalam yang menyuruhnya masuk.
Suasana canggung langsung menyelimuti tubuh Queeny. Gadis itu tidak sempat menatap ke arah Marlina, kakinya lebih dulu masuk ke dalam ruangan tempat dosen tampan sekaligus killer itu sedang menatap layar laptopnya tanpa mengalihkan pandangan.
"Pagi, Pak. Mau ngumpulin tugas!" kata Queeny ke arah Yusuf.
Laki-laki itu melirik dari ujung layar laptopnya. Wajahnya datar, tidak seperti ekspresi yang Queeny lihat saat mereka pertama kali bertemu. "Maaf, Pak. Telat semenit."
Yusuf menutup layar laptopnya dengan gerakan tegas. Queeny langsung mengira dia akan segera dapat ceramahan dan hukuman, tetapi laki-laki itu tidak mengatakan apa-apa. Dia cuma menggeserkan laptopnya dan menarik beberapa tumpukan dokumen di ujung meja.
"Ini, Pak!" Queeny meletakkan tugasnya di atas meja Yusuf.
"Oke," sahut Yusuf tanpa penjelasan apapaun. Queeny setengah heran maupun setengah senang karena tidak mendepatkan teguran.
"Y-ya sudah, Pak. Saya keluar dulu!" Queeny berdehem nyaring. Memundurkan langkah. Dalam hatinya sempat mengharapkan panggilan Yusuf meskipun untuk sekedar menegurnya, tapi laki-laki itu sama sekali tidak melakukan apa-apa.
Queeny keluar dan menutup pintu. Dia menatap sekeliling. Mencari keberadaan Marlina yang ternyata sedang berjalan di koridor dengan seorang cowok berpakaian kasual. Queeny tau dia adalah Rido.
"Lo dari mana aja?" tanya Queeny kesal.
"Habis beli minum. Mau nggak?" Marlina memperlihtkan sebotol minuman yang sedang dia sedot di tangannya.
"Kamu habis ngapain ke ruangannya si killer?" tanya Nasrul.
"Tugas yang kemarin itu loh," sahut Queeny. Masih mengingat dengan jelas bagaimana laki-laki itu menanggapi seruan ramahnya.
"Oh, gara-gara kamu cuman copy paste tugas ya, sampai itu dosen murka! Alhamdulillah kamu keluar dalam keadaan selamat, Queen!" kata Nasrul.
Sementara Agung hanya diam tidak mengatakan sepatah katapun.
"Habis kena ceramah tuh pasti," kata Marlina seraya terbahak.
"Kata siapa? Enggak, kok. Aneh banget tuh Dosen. cuma hm hm sama oke oke doang. Sejak kapan dia berubah jadi dingin gitu, ya?"
Agung dan Nasrul berjalan lebih dulu di depan Marlina dan Queeny yang masih asik berbincang soal dosen tampan tapi killer itu.
"Lagian, lo kenapa merhatiin? Suka, ya?" ejek Marlina.
"Suka, lah. Orang nggak benci." Queeny menarik minuman Marlina dan menyedotnya perlahan. Marlina baru saja ingin berteriak marah, tetapi Queeny lebih dulu menutup mulutnya dan mual-mual.
"Loh, lo kenapa?" tanya Marlina. Dia menyuruh Rido membawakan minumannya agar dia bisa merangkul Queeny yang sedang menahan perutnya. "Minumannya nggak ada racunnya, loh."
Queenny menggeleng, ingin mengatakan bahwa dia bukannya keracunan, tetapi lambungnya lebih dulu bereaksi. Marlina menyuruhnya untuk duduk. "Kok lo tiba-tiba drop begini, sih?'"
"Nggak tahu," saut Queeny. Menahan rasa nyeri di pinggangnya.
"Lo sakit, ya?"
"Gue nggak tidur gara-gara ngerjain tugas si killer itu."
"Yaelah, Queen. Makannya tidur. Kan jadi sakit gini." Marlina mengelus punggung Queeny. "Mau pulang aja apa gimana?"
"Kan masih ada kelas," sahut Queeny dengan ekspresi lemas. Bibirnya sudah memucat meskipun dia mengenakan lipstik.
"Gue anter pulang aja, yuk. Nggak papa izin sekali daripada sakit." Nasrul menatap iba.
"Iya, tuh. Mumpung ada Nasrul sama Agung. Bisa nganter kamu sampai ke kosan. Oh iya dari tadi lo kenapa diem bae?" tanya Marlina kepada Agung.
"Lo, masih marah ya sama Queeny? Lagian bukan si Queeny yang chat lo, si Furqon sialan yang chat. Lo jangan marah sama Queeny!" omel Marlina.
"Nggak ... gue nggak marah kok sama Queen!" kata Agung.
"Yaudah biar aku aja anter Queen, lagian si Nasrul nggak bawa motor, yu!" tawar Agung.
Queeny menyenderkan bahunya di senderan kursi. Dia memang tidak begitu antusias dengan kelas hari ini dan dia juga tidak peduli dianggap alfa di laporan absennya, maka dia akhirnya menganggukkan kepala. Dia akan pulang.
Agung dan Marlina menjaga di kedua sisi Queeny. Gadis itu nyaris terjatuh dan terjerembab ke tanah, untung saja Marlina langsung menangkapnya. "Gue pusing banget, sumpah."
"Iya, makannya pulang dulu. Nggak usah mikirian kuliah. Ntar sore aku anter kamu ke dokter, deh," kata Marlina dengan perasaan agak takut.
Sesampainya di parkiran tempat Agung memarkikan motornya, Furqon muncul dengan jaket tekniknya. Ekspresinya datar. Tangannya berkacak pinggang. Memperhatikan Queeny yang berjalan dengan Marlina dan cowok tak dikenal dengan ekspresi sinis.
"Queeny!" seru Furqon membuat ketiga orang itu terpaksa menoleh.
Queeny melirik Furqon. Tetapi Furqon tidak peka dengan warna pucat di wajahnya.
"Lo belum buka blokir gue, Queen!"
Marlina menelan saliva. Dia sudah pernah melihat kemarahn Furqon sebelumnya. Tidak ada alasan dirinya berani melawan kemarahan cowok itu meskipun untuk membela Queeny yang nyaris pingsan.
Queeny melepaskan pegangan Marlina dan Agung di bahunya. Meskipun kedua matanya berkunang-kunang, dia tetap mengedepankan egonya untuk melawan Furqon, memberi cowok itu alasan sampai Furqon tak punya kata-kata untuk menjawab.
"Masalah kita apa? Gue nggak ngerti. Lo jangan seenaknya mutus hubungan tanpa kepastian dari gue, Queen."
"Alasan apa yang bisa buat gue mempertahankan lo?" sahut Queeny dengan sisa emosi yang ia punya.
Furqon berdecak. "Lo tahu kan? Kita udah lama banget bareng. Lo mau kita pisah gitu aja?" Furqon merendahkan suaranya menjadi lebih halus. "Hubungan kita selama sudah terjalin dengan harmonis, tiba-tiba lo blokir nomor gue dan sekarang lo masih tanya alasan apa yang buat kita harus tetep bertahan?"
Queeny menghelan napas. "Oke, kita udah lama bareng. Tapi kenapa sampai sekarang lo masih menutup diri lo dari gue?"
Furqon mengerling. "Maksud lo?"
"Selama kita bareng, selalu aja ada hal baru yang gue tau dari elo dan sayangnya hal-hal baru itu nggak sesuai sama yang gue pikirkan. Lo lebih buruk dari yang gue kira."
"Buruk darimananya, Queen? Kasih tahu ke gue."
"Lo itu tukang ngekang. Semenjak masuk ke sini, lo jadi berubah. Lo sampe ngajakin ribut si Agung apa maksudnya coba?"
"Elo yang berubah, njing!" sahut Furqon dengan nada kembali naik. Emosinya benar-benar sudah sampai di ujung kepala. Hanya Queeny yang berani melawan emosi itu.
"Elo jangan nuduh sembarang b******k, sialan!" Queeny ingin menyerang Furqon tetapi matanya berkunang-kunang. Lututnya melemas, dunia seakan berubah jadi gelap gulita dan dia tak sadarkan diri.
Furqon terdiam sesaat untuk menyadari keadaan. Dia mengerutkan kening, lalu sadar wajah Queeny semakin pucat. Emosinya hilang, berubah menjadi raut cemas. Marlina dan Agung lebih dulu meraih Queeny, lalu Furqon memapahnya.