Hujan turun begitu deras di malam itu tapi tak menyurutkan langkah seorang wanita yang sedang berusaha berjalan cepat menuju rumah. Ada seseorang yang menunggu di sana.
Gerak kaki makin lebih cepat ketika dia makin dekat. Tidak peduli akan tubuhnya yang basah, wanita itu langsung masuk ke dalam ruang keluarga di mana ada seorang remaja lelaki menonton tv.
Dia begitu terkejut melihat si wanita basah kuyup. "Kakak apa yang-"
"Di mana Rey?" potong wanita itu.
"Di dalam kamar." Si wanita bergegas ke dalam kamar, menemukan sosok anak kecil tengah tidur pulas di atas ranjang. Dia membuka lemari mengambil sebuah tas besar dan mengganti pakaian begitu cepat.
Pintu kamar diketuk, tampak seorang wanita lebih tua berjalan masuk menghampiri wanita yang lebih muda itu. "Kau mau kemana, Syifa? Kenapa begitu tergesa-gesa?" tanya si wanita tua.
Si wanita muda-Syifa, masih sibuk mengepak barang melihat pada wanita yang lebih tua. "Aku harus pergi, tempat ini sudah tak aman," jawab Syifa.
"Berarti dia menemukanmu?" Syifa mengangguk cepat.
"Aku harus pergi, jaga diri Ibu baik-baik." Syifa lalu mengambil Rey yang tertidur pulas sekaligus membawa tas besar berisi baju mereka.
Dia lalu mengecup punggung tangan sang Ibu dan pergi dari kamar. Syifa mendekati remaja lelaki yang sekarang gelisah sendiri di ruang keluarga. "Kakak pamit jaga Ibu dan adik-adik yang lain,"
Si remaja lelaki mengangguk. Secara tiba-tiba pintu rumah diketuk kasar pertanda bahwa Syifa harus pergi dari rumah. Dengan membawa payung, Syifa bergegas keluar menggunakan pintu belakang.
Membawa Rey dalam gendongan serta tas jelas membuat Syifa kelelahan akan tetapi tak menyurutkan langkah untuk pergi. Dia terus berjalan lebih cepat ketika mendengar suara bentakan Ibunya dari dalam rumah.
Syifa harus sampai ke jalan raya sebelum orang-orang yang mencarinya tahu. Langkahnya langsung dipercepat saat melihat sebuah mobil terparkir persis di depan jalan keluar kampung.
Di sana ada kembarannya menunggu gelisah. Saat melihat sosok Syifa ditengah hujan yang begitu deras, segera wanita itu bergegas menghampiri membantu dengan barang-barang yang langsung ia masukkan ke dalam bagasi mobil.
"Terima kasih atas bantuannya, Tiara." Syifa berucap.
"Sama-sama. Sekarang kita harus bergegas ke bandara," balas si kembaran-Tiara.
Tiara langsung tancap gas menuju bandara Internasional. Dia berusaha secepat mungkin demi menyelamatkan Syifa dan Rey.
Begitu sampai, Syifa segera mengambil Rey sedang Tiara membuka bagasi. Meski sedikit gelisah, Syifa dengan patuh mengikuti semua instruksi. Tas besar miliknya diangkut dan lain-lain sesuai aturan dari pihak bandara.
"Bagaimana?" tanya Tiara ketika melihat Syifa menghampirinya.
"Satu jam lagi pesawat akan berangkat. Aku harus masuk sebelum mereka datang."
"Baik, ayo kita pergi. Kau tak lupa dengan paspormu, kan?" Syifa menganggukkan kepala sebagai jawaban.
Tibalah mereka di gerbang 2B, keduanya berpisah. Syifa memeluk Tiara berpamitan dengan nada pelan begitu juga dengan Tiara yang mengatakan agar untuk menghubunginya jika terjadi sesuatu.
Segera setelah Syifa masuk, Tiara langsung menuju ruang tunggu di mana dia duduk sendirian. Sesekali ia melihat jam di layar ponsel, tidak lama mendadak tangannya ditarik kasar seorang pria paruh baya.
"Aku menemukannya!" seru si pria paruh baya.
Muncul seorang pria jangkung berpakaian formal menghampiri mereka. Rambutnya yang agak berantakan segera disisir rapi menggunakan tangan. Matanya tajam menatap Tiara sebaliknya wanita itu membalas dengan pandangan kurang ramah.
"Bukan, itu kembarannya Syifa, Tiara. Lepaskan dia!" perintah si pria.
Tiara segera menarik tangannya. Cengkraman bodyguard si pria begitu kuat sehingga menyisakan bekas merah di pergelangan tangan.
"Di mana Syifa, Tiara?" tanya si pria.
"Kau terlambat, Syifa sudah pergi. Kau tidak akan bisa menemuinya lagi." Si pria seakan tak mendengar jawaban Tiara, meminta untuk bodyguard untuk berpencar. Dia tak percaya dengan ucapan Tiara.
"Terserah apapun yang kau katakan, aku tidak percaya padamu dan kalau Syifa serta anakku tidak bisa ditemukan maka aku tidak akan melepaskanmu paham?"
Tiara mendecih. "Kau sudah kehilangan hak menjadi Ayah setelah kau menyakiti perasaan teman Kakakku dan aturan negara juga telah memberikan hak sepenuhnya kepada Kakakku sebagai walinya. Percuma saja kekayaanmu itu, Axelle. Kau tak akan diberi hak asuhnya Rey."
"Kita lihat saja nanti." Pria bernama Axelle membalas sengit. Axelle kemudian pergi menjauh dari Tiara.
Tiara lalu melihat layar ponsel, 1 jam sudah dilewati dan tampak sebuah pesawat melesat meninggalkan bandara terlihat jelas di ruang tunggu.
Tiara menghembuskan napas lega. Tak ada yang perlu dikhawatirkan sekarang dan dia pun pergi dari bandara.
Di pesawat, Syifa melihat pemandangan dari jendela. Ia ikut lega sebab telah meninggalkan negara setidaknya masalah agak sedikit teratasi tetapi Syifa kembali diliputi kecemasan lagi.
Dia berharap semoga akan mendapat pekerjaan yang bagus di sana untuk menghidupi Rey. Syifa sendiri memiliki gelar S1 di bagian administrasi adapun pengalaman menjadi sekretaris selama beberapa tahun di perusahaan kecil sayangnya dia harus mengundurkan diri.
Tapi zaman sekarang jelas pekerjaan akan lebih sulit didapat terutama pesaingnya sangat banyak. Entahlah memikirkan hal itu membuat Syifa menjadi pusing.
❤❤❤❤
Di dalam sebuah restoran yang ramai sesosok wanita tengah menunggu gelisah. Sambil sesekali melihat jam di tangan, si wanita muda kemudian mengambil ponsel membuat pesan singkat di aplikasi.
Tiba-tiba lampu di restoran padam. Suasana gegap gempita untuk sementara, lampu senter dari ponsel lantas dinyalakan oleh beberapa orang sehingga keadaan lebih baik tapi itu tak menyurutkan kegelisahan dari si wanita muda.
Dari arah belakang nyala lilin kecil menerangi ruangan, perhatian orang banyak tertuju pada seorang pria yang membawa kue ulang tahun.
Suara serak dari pria itu sebisa mungkin menyanyikan lagu selamat ulang tahun untuk seseorang yang baginya spesial. Si wanita muda pun ikut melihat dan takjub melihat orang yang ditunggunya membuat kejutan.
Matanya berkaca-kaca tapi tak menyembunyikan senyuman manis. Dia tidak tahu jika kekasihnya akan memberikan sebuah hadiah romantis. "Make a wish honey," kata si pria. Mereka kini berhadapan saling memandang penuh cinta.
Kedua mata si wanita terpenjam sebentar. Ditiupnya lilin dan semua orang bertepuk tangan. Tepat saat itu juga lampu restoran menyala. Barulah ia bisa melihat pria dengan jelas.
Dengan rambut disisir rapi, sang kekasih terlihat tampan dengan tuksedonya. "Silakan duduk." Si wanita patuh dan duduk di tempat yang kekasihnya sediakan.
"Aku tak tahu kalau kau akan memberikanku kejutan. Terima kasih, kau pacar yang baik, Hali." Wanita itu berucap.
"Tentu saja, oh ya ini kado untukmu. Happy birthday, Marisa sayang." Hali menyodorkan sebuah kado kecil berwarna biru gelap dengan pita warna pink di atasnya.
Wanita yang mengenakan gaun berwarna merah tersebut mengambil dari tangan Hali. Sekali lagi ia berterima kasih dan langsung membukanya. Marisa tertegun..
Dia menemukan sebuah kotak beludru berwarna merah. Dengan pelan Marisa membukanya, menemukan sebuah cincin pertama yang indah.
"Apa kau mau menikah denganku Marisa?" tanya Hali dengan senyuman percaya diri.
Marisa tercengang. Tak bisa mengatakan apapun selain mengangguk. "Ya!" jawabnya. Dia tak bisa membendung kegembiraannya sekarang dan langsung memeluk Hali.