NT 8

1173 Words
"Kaf Hp lo dari tadi bunyi mulu" Faisal memangil-manggil Kahfi yang dengan sibuk bermain ps Kahfi tidak mengubris sedikitpun perkataan Faisal, Faisal yag mulai tidak nyaman dengan deringan ponsel tersebut lantas mengambilnya didalam tas. "Woi Bokap lo ni yang telpon" teriakan Faisal mampu membuat Kahfi menghentikan aktivitas bermainnya. "Do lanjut ni mainnya, bentar lagi lo menang lawan Bima" Kahfi menyerahkan stik psnya kepada Edo dan mengambil ahli smartphone ditangan Faisal. "Iya Pa ada apa" "Pulang sekarang" Nada yang dikeluarkan oleh papanya bukanlah nada biasa. Dan Kahfi paham betul bahwa itu adalah nada dimana papanya menahan emosi marah. "Kok perasaan gue gak enak gini" batin Kahfi. "Bro gue balek dulu, bokap nyuruh pulang" Kahfi berteriak pamit sebelum memasuki mobilnya. Kahfi melangkah kaki memasuki rumah yang sudah 19 Tahun dia tempati. "Assalamu'alaikum pa" "Wa'alaikumsalam, duduk kamu" Raut wajah Angga sangat menakutkan bagi orang yang melihatnya, tetapi Kahfi tidak merasakan ketakutan sama sekali. "Kenapa pa" "Kamu dari mana" Angga mencoba mengontrol emosinya agar tidak lepas. "Main sama Bima" Kahfi menjawab apa adanya tanpa berbohong. "Kamu tau kalau kamu udah nikah dan kamu masih suka keluyuran. Dimana otak kamu" Perkataan itu keluar dengan nada yang cukup tegas dan keras. "Kahfi cuma main pa, bosen dirumah"Dia membela diri. Salahkan dia ingin bermain. "Iya sampai Fiyah sakit kamu gak tau sama sekali. Dan yang buat Papa marah sama kamu, Papa baru pulang kerumah dan langsung lihat dia pingsan dilantai. Kamu bisa mikir dimana salahnya" Ucap Angga menjelaskan. "Tadi dia tidur waktu Kahfi keluar" Kahfi sama sekali tidak mengetahui bahwa Fiyah sakit. Kalaupun sakit dia juga tidak akan terlalu peduli. "Kamu udah nikah Kaf, tolong untuk sedikit berubah" permintaan Angga kepada Kahfi. "Coba papa pikir, apa menikahkan anak papa yang masih SMA ini yang terbaik. Kahfi masih mau main sama teman-teman, masih punya mimpi dan dengan teganya papa buat Kahfi harus nikah diumur segini" Kahfi mulai mengeluarkan semua keluh kesah dibenaknya. "Papa tau yang terbaik untuk kamu, Ayah mana yang memberikan hal buruk buat anaknya. Gak ada Kaf" ucap Angga "Terbaik kata Papa, ini bukan terbaik untuk Kahfi Pa. Jadi kalau Fiyah menderita jangan pernah salahkan Kahfi. Karena ini semua salah Mama dan Papa" bantah Kahfi. "Kamu ngelawan sama papa" Angga sudah tidak paham dengan jalan pikiran anaknya. "Salah Papa yang paksain Kahfi Nikah, kalau anak itu sakit malah bagus. Kalau perlu dia mati sekalian" Kahfi tidak mengerti kenapa dia bisa berbicara seperti ini. Plak Tamparan keras mengenai pipi Kahfi. Ini pertama kalinya Kahfi mendapatkan perlakuan secara fisik. Selama ini Papanya hanya akan menghukum seperti menyirma seluruh badan dikamar mandi atau mengambil beberapa Fasilitas. "Papa Tampar Kahfi" "Iya, Mulut kamu seperti tidak pernah disekolahkan. Sekarang masuk kekamar kamu" bentak Angga. Kahfi sudah mulai ketakutan melihat pancaran kemarahan di wajah Angga. Dia berlari dengan cepat menuju kamar. "Kamu dari mana" Rahmi langsung membondong Kahfi dengan pertanyaan. Kahfi hanya menatap Rahmi tanpa menjawab pertanyaannya. "Pipi kamu merah kenapa" Rahmi mendekat kearah Kahfi untuk melihat lebih jelas pipi anaknya. "Enggak apa apa Ma, Mama keluar dulu" Suruh Kahfi. "Enggak, Mama mau jagain Fiyah" tolak Rahmi. "Tolong Ma, percaya sama Kahfi , Dia bakal baik-baik aja" Kahfi sudah meminta dengan nada memohon. Karena Fiyah masih tertidur pulas, Rahmi memutuskan untuk keluar kamar. Pintu kamar sengaja Kahfi kunci agar tidak ada yang masuk kedalam. Dia ingin menenangkan diri dari segala macam kekacauan. "Brengsekk" Maki Kahfi. "Gue benci hidup gue, Gue benci. Gue pengen bebas, gue pengen bebas" Teriakan Kahfi menggema di ruangan kamar. Mendengar teriakan yang cukup keras membuat Fiyah terbangun. Kepala yang masih sakit dan tubuh yang lemah membuatnya hanya mampu berbaring sembari mendengarkan segala macam umpatan suaminya. Air mata Fiyah mengalir dengan deras. Dia menahan suara tangisnya agar tidak bisa didengar oleh Kahfi. "Bang apakah hidupmu hancur karena kehadiran ku" batin Fiyah. "Gue harus gimana, Gue capek. Pikiran gue kalut. Tuhan kalau memang ini jalan yang terbaik buat Gue tapi kenapa gue gak bisa nerima" Pecahan-pecahan pas bunga yang berada dikamar bertebaran dilantai. Fiyah sudah tidak bisa diam lagi. Fiyah tau bagaimana jauhnya Kahfi dari agama. "Bang" lirih Fiyah. Tatapan tajam yang tersirat rasa dendam ditujukan Kahfi kepada Fiyah. "Lo puas buat hidup gue hancur. Lo puas iya. Lo berhasil Fiyah lo berhasil. Hari ini gue ditampar Papa cuma karena lo" bentak Kahfi. Emosi sudah lebih dulu menguasai diri Kahfi. "Maaf bang, Maaf" Fiyah menangis melihat bagaimana berantakannya hidup suaminya itu. Pecahan kaca menancap di bagian kaki Kahfi, darah yang keluar tidak menghadirkan rasa sakit sedikitpun pada nya. "Bang, Kaki abang berdarah. Ayo berdiri dulu" Walaupun fisik Fiyah lemah, dia tidak akan bisa diam melihat darah yang mengalir di telapak kaki Kahfi. "Lo gak usah sok baik" Kahfi menolak uluran tangan Fiyah. "Kalau memang abang merasa tersiksa dengan kehadiran Fiyah. Ayo kita pindah dari rumah ini. Kalau kita tidak satu rumah dengan Ayah, maka kalau abang tidak peduli dengan Fiyah tidak akan ada yang memarahi. Kali ini tolong dengarin Fiyah" Fiyah tidak tau apakah usul yang dia berikan yang terbaik atau malah membuat keadaan semakin buruk. Kahfi yang sudah terlalu lelah menyebabkan dia tidak membantah keinginan Fiyah untuk mengobati lukanya. "Lo sakit" ucap Kahfi yang sudah terbaring diatas kasur. "Udah mendingan kok, abang istirahat aja. Fiyah obati kaki abang pelan-pelan kok" Fiyah mulai membersihkan luka akibat pecahan kaca yang bertebaran dilantai. "Untuk usul lo itu, gue setuju. Setidaknya gue bisa hidup bebas sebelum lo datang" lirih Kahfi. "Iya nanti kita coba bicara sama Papa dan Mama" Setelah membersihkan luka Kahfi, Fiyah melanjutkan untuk membersihkan pecahan kaca yang berada dikamarnya. Ada suatu kebingungan untuk dirinya sendiri, seharusnya melihat kondisi badannya yang lemah tidak akan memungkinkan untuk melakukan aktifitas. Tapi dirinya bisa bergerak seperti biasanya. Fiyah bersyukur karena semua tidak lepas dari kuasa Allah. Azan magrib berkumandang dengan merdunya. Suara azan bisa masuk kedalam kamar Fiyah melalui balkon yang berada dikamar mereka. Fiyah mendengar ketukan pintu lantas keluar. "Sayang kok kamu yang buka, Kahfi dimana" tanya Rahmi dengan raut wajah khawatir. "Mama tenang saja, Fiyah Alhamdulillah sudah baikan. Abang didalam Ma" jawab Fiyah tersenyum. Melihat senyum itu hadir lagi, membuat Rahmi bernapas lega walaupun wajah menantu kesayangannya itu pucat. "Ya udah. Mama hanya khawatir. Jangan lupa shalat. Abang juga disuruh shalat ya. Fiyah harus sabar ya sama anak Mama yang sudah jauh dari Allah" Kesedihan Rahmi akan anak satu-satunya bisa Fiyah rasakan. Semua orang tua didunia ini menginginkan seorang anak yang sholeh dan sholeha. "Insya Allah Ma, Fiyah butuh doa Mama dan Papa. Doa dari seorang ibu dangat mudah di ijabah oleh Allah" "Iya sayang, Mama tidak pernah berhenti berdoa untuk kebahagian kalian berdua". Fiyah melihat Kahfi yang masih tertidur pulas mencoba membangunkannya. "Bang ayo bangun, udah magrib" Fiyah mengguncang sedikir badan suaminya. "Gue ngantuk" jawab Kahfi. "Bang shalat dulu, nanti tidur lagi ya" bujuk Fiyah. Kahfi yang mulai kesal karena ada yang menggangu kegiatan tidurnya membuka matanya. "Lo ya buat gue emosi. Kalau mau shalat, sholat aja sana. Jangan ikut campur sama urusan gue" bentak Kahfi. Fiyah tentu kaget mendengar bentakan itu, karena selama ini tidak akan yang membentaknya. Fiyah hanya menahan tangisnya agar tidak keluar. Memulai shalat adalah cara terbaik untuk memberikan ketenangan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD