Dua hari sudah Luna menunggu Vigo dirumah sakit, segala keperluan Vigo semua Luna yang melakukan, seperti makan. Kebiasaan itu membuat mereka dekat, bahkan perasaan jijik dan tak suka yang awalnya dirasakan Vigo kini mulai sedikit hilang. Meski Vigo masih penasaran dari mana sebenarnya gadis itu berasal.
Seperti hari itu, saat matahari terik bercampur dengan dinginnya pagi. Vigo sudah melihat Luna mondar-mondar didekat ranjang, seperti sedang memikirkan sesuatu. Dia gelisah memikirkan bagaimana caranya untuk tahu dimana sebenarnya rombongannya pergi, dia ingin cepat-cepat pulang karena takut akan terjadi hal yang tak diinginkannya.
“Ngapain sih loe mondar-mandir kayak Vacum Cleaner?”
“Vacum Cleaner?”
“Gak udah diulang kata-kata gue, kalau emang gak paham gak usah.” Vigo jengkel mendengar Luna sering mengulang omongannya.
Sebenarnya Luna tidak seperti itu, hanya saja apa yang diucapkan Vigo baru dia dengar. Selama berkumpul dengan para siluman yang mereka ucapkan hanya seperlunya.
“Eh sini deh loe,” Vigo berusaha meraih tangan Luna yang masih didepan perut. “Gue gak tahu harus ngomong apa, tapi makasih ya buat pertolongan loe.”
Semakin intens pegangan Vigo pada tangan Luna, yang membuat darah dibagian tangannya mengalir lebih cepat dari biasanya. Jantung silumannya berdetak tak karuan, hingga rasanya ada yang ingin meledak disana. Keringat panas dingin mulai terlihat lagi dibarengi geteran hebat ditubuhnya.
“Loe kenapa Lun? Kok gemetar gitu,”
“Enggak. Itu, anu, apa namanya. Aku ingin buang air.” Buru-buru Luna berlalu untuk menyembunyikan rasa gemetarnya. Selian itu dia memang ingin kekamar mandi.
Ditutupnya pelan pintu ruangan Vigo, lalu berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang banyak orang . Sambil terus memegangi baju bawahnya dia berjalan cepat.
Saat berada dilorong dekat toilet, sepasang mata menatap tingkat aneh Luna. Tatapan mata yang tajam dan menusuk itu menoleh dengan putaran leher 900 derajat. Ada yang sedang dipikirkan Tuan Candra ketika melihat gadis aneh yang berlari kecil itu. lagi-lagi aroma yang keluar dari tubuh Luna membuat beberapa orang sadar, termasuk Tuan Candra.
Sudah lebih dari bertahun-tahun dicarinya aroma itu, dan kini tanpa bersusah payah ia mendapatkannya. Satu siluman yang akan menjadikannya anggota pemburu kembali. sudah lama ia tersingkir dari sana, semua karena kesalahan sahabatnya dan karena kesalahan itu juga istrinya harus meregang nyawa didepan matanya.
“Pak, kenapa anda masih disini? Rapat segera dimulai.” Seorang laki-laki membuatnya tersadar dari lamunannya sesaatn yang lalu mengajaknya pergi.
%%%
“Sebenarnya loe ini siapa sih, Lun? Gak mungkin kan tiba-tiba loe datang Cuma buat nyelametin gue. Asal usul loe gak jelas.” Tanya Vigo saat terlibat obrolan tak jelas dengan Luna.
Vigo dan luna mulai nampak akrab, saat gadis bermata amber itu begitu antusias dalam cerita, yang kadang dibumbui kekocakan. Gaya bicaranya yang aneh menarik perhatian Vigo untuk terus bertanya dan berusaha membuat suasana sore itu nampak lebih ceria. Karena selama dua hari ini.
“Gue bukan anak kecil yang bisa loe bohongi, Lun. Ayo ngomong gue gak bakalan marah kok,” lanjut Vigo
Luna sedikit ragu untuk bercerita, meski sebenarnya dia tetap tak ingin mengatakan bahwa dia adalah siluman musang. Maka dari itu dia mencari cara untuk berkata bohong pada Vigo. Agar pikiran Vigo bisa sedikit terobati. Saat mencari cara itu digigitnya bibir bawahnya sambil kembali bergetar.
“Aku nggak bermaksud mau ngebohongi kamu, tapi sebenarnya aku nggak mengingat apa pun tentang diriku. Yang kuingat, aku kabur dari sebuah gubuk kecil ditengah hutan, saat aku menyebrang jalan aku hampir tertabrak motor kamu.”
“Sebentar-sebentar,” potong Vigo. “Hampir tertabrak gimana maksud loe? Yang gue inget dan gak mungkin gue lupa, saat malam hampir pukul satu dini hari gue baru pulang dari pesta ultah temen gue dan saat itu gue hampir nabrak hewan sejenis musang atau sigung.”
“Yang kamu ingat salah, Go. Sebenarnya saat itu aku sedang menyebrang jalan dan tak sengaja kalungku terlepas aku berusaha mengambilnya, tapi dari arah depan ada kamu. Kamu mengelak dan menabrak pohon.”
“Iya, itu gue inget. Tapi, yang hampir gue tabrak itu bukan loe.” Vigo terus ngeyel dengan apa yang dikatan Luna, karena semua yang dikatakan Luna tak sama dengan apa yang diingatnya malam itu.
Vigo semakin dibuat pusing, bagaimana mungkin seekor musang itu ternyata gadis yang sedang merunduk, hal itu nampak konyol dan tak masuk akal. Apa saat itu ia tengah dibawah halusinasi, sehingga apa yang dipikirikannya menjadi kenyataan? Sepertinya tidak. Malah yang diingatnya saat ia sedang berdansa dengan Cindy, gadis cantik pacar si ketua osis. Mungkin karena pikiran ngaco’ itulah, ia sampai lupa tentang kejadian malam itu.
“Sudahlah mungkin gue yang lupa. Oh iya besok gue udah boleh pulang, loe jadi ikut kan?”
“Emang nggak apa-apa aku ikut, aku kan bukan anggota keluarga kalian?”
“Emang bukan, tapi sekarang loe udah resmi jadi asisten pribadi gue. Selama loe belum inget apa-apa.”
“Asisten pribadi?”
Mendengar omongan Luna lagi, Vigo Cuma bisa nepok jidat. Kok ada makhluk kayak dia?
“Asisten pribadi itu orang yang tugasnya disuruh-suruh.”
“Oh itu ya.”
“Loe sebenarnya amnesia apa alzaemar sih, bingung gue. Gih bantuin gue bangun.”
“Alzaemar? Kamu mau kemana?”
“Toilet. Cepetan. Bisa-bisa gue keluar disini nih.”
“Jangan, nanti bau.”
“Yaudah cepetan.”
Luna membantu Vigo berdiri dari duduknya, dengan badan yang tidak begitu kuat dia berusaha membopong Vigo. Lagi-lagi saat dekat dengan Vigo jantungnya berdetak lebih cepat. Dia bahkan hampir jatuh kalau Vigo tidak bertahan. Dia tidak pernah merasakan seperti ini sebelumnya. Apa dia jatuh cinta? Tidak! Ini terlalu dini untuk mengatakan hal itu, dan seharusnya hal itu tak terjadi, karena keinginan terbesarnya adalah pulang kerumah dan bukannya mengurusi hal yang tak penting tentang cinta atau apalah itu.
Luna menunggu diluar pintu toilet sementara Vigo sibuk dengan ritualnya, saat itulah tiba-tiba tubuhnya merasa dingin dan menggigil, bahkan mantel yang ia gunakan tak mampu menahan hawa dingin yang masuk ketubuhnya.
Seperti ada sesuatu yang masuk kesana, bukan seperti angin tapi lebih tepatnya hawa yang tak bisa diterka. Tubuhnya kini mulai melemas, bibir ungunya semakin pucat dan bergetar, bahkan dia sampai terjatuh didepan pintu toilet. Dia tidak kuat lagi berdiri, bahkan tiba-tiba dia tak ingat apapun, selain bayangan hitam yang menerjang penglihatannya.
Dan kini yang keluar dari mulutnya hanya rintihan pelan. “Ibu, Ibu, Ibu.”
Saat itulah Vigo keluar dari toilet dan menemukan Luna tergeletak tak berdaya. Digoyangkannya tubuh Luna pelan tapi tetap tak ada reaksi apa pun.
“Lun, bangun Lun. Loe kenapa?” Vigo terlihat panik melihat kondisi Luna, ia tak mau jika terjadi sesuatu pada gadis dekil itu. “Tolong! Dokter, suster! Siapa pun!” teriaknya mengencang agar ada yang mendengar. Tak mungkin ia membopong Luna, karena ia sendiri sudah untuk berjalan.
%%%
Vigo nampak cemas, saat seorang Dokter masih memeriksa tubuh Luna yang terbaring disebelah kamarnya. Ia tak lagi berada dikamar, tapi diluar pintu kamar Luna. Keadaan Luna memang tidak baik semenjak ia temukan didepan pintu toilet, dan ia takut terjadi sesuatu pada gadis itu.
Saat kecemasan itu masih datang, seorang pria berjas putih dengan titel DR keluar dari sana, yang langsung membuat Vigo bertanya. “Dok, bagaimana keadaan adik saya?”
“Tidak apa-apa. Dia hanya butuh istirahat, dia kelelahan dan tidak perlu menginap. Dia bisa menemanimu lagi, hanya saya jangan biarkan dia tidur terlalu malam.”
Kata-kata sang Dokter membuat Vigo bernafas lega. Untung tidak terjadi apa-apa dengannya. Kenapa dia sebegitu khawatirnya pada Luna, dengan gadis dekil yang baru dikenalnya tiga hari? Ia mulai care pada gadis itu. Apa dia tertarik? Ah tidak mungkin, Luna bukan tipenya.
Setelah dokter berlalu pergi, Vigo dan batang botol infusnya datang kekamar Luna. Melihat lebih dekat bagaimana keadaan Luna, atau bahkan ingin marah dengannya.
“Kok loe gak ngomong sih, kalau loe gak enak badan?”
“Nggak enak badan?” katanya lemas.
“Coba loe bilang kalau sakit, loe kan bisa istirahat. Gak usah sebegitunya nungguin gue.”
“Kamu marah?”
“Gue gak marah Lun, gue Cuma khawatir. Dari sore sampai dini hari loe baru sadar.”
Khawatir? Luna hampir saja tak percaya dengan apa yang didengarnya. Baru kali ini ada yang mengatakan rasa khawatirnya. Bahkan rasanya kata khawatir itu sangat bermakna untuknya.
“Aku juga nggak tahu, tiba-tiba saja badanku dingin eh bangun-bangun udah ada disini.”
“Itu namanya loe gak enak badan, kecapean, meriang, dan sbgnya (sebagainya).”
“Oh gitu ya.”
“Gitu ya-gitu ya. Yaudah gih, balik kekamar terus tatain baju gue, besok pagi kita pulang, jadi biar gak bingung.”
Luna tersenyum, lalu bangun dari berbaringnya dan mendekati Vigo.
Sementara itu hal berbeda diruang kerja Tuan Candra yang sepi, hanya ada ia dan jam yang terus berdentang dengan jarum tepat didekat angka dua belas. Sudah hampir tengah malam, tapi matanya tak kunjung ingin ditutup, sebenarnya ia yang belum ingin menutupnya, sampai ia temukan satu ide untuk menangkap siluman itu. Ia harus mendapatkannya bagaimana pun caranya, karena ini satu-satunya jalan untuk membalas dendam.
Kesalahannya dulu karena melepaskan Bobcat, membuat sang ketua anggota pemburu mengeluarkannya dan untuk kembali masuk ia harus menangkap satu siluman. Padahal hal itu sudah terjadi lama, bahkan ia sendiri tidak tahu apakah perkumpulan itu masih ada atau tidak.
Meskipun perkumpulan itu telah bubar, tapi ia tetap ingin menangkap siluman-siluman yang telah merenggut nyawa istri yang dicintainya, setelah kematian sang istri ia harus merawat sang anak seorang diri selama dua belas tahun.
“Dendam ini akan terus aku bawa, sampai aku menghabisi siluman-siluman itu.” gumamnya sendiri.
Tanpa ia sadar seorang remaja tengah memandanginya dari ambang pintu.
“Balas dendam pada siluman apa maksud, Papa?”
“Sayang?” kata Tuan Candra gugup. “Ngapain kamu kesini? Inikan sudah malam.”
“Harusnya aku yang bertanya, kenapa Papa semalam ini belum masuk kamar? Papa besok kan harus ke rumah sakit.”
“Ini Papa sudah mau tidur kok.” Kata Tuan Candra bohong sambil berjalan mendekati sang anak.
Selama bertahun-tahun anaknya tak pernah mengetahui rahasia yang dia sembunyikan. Yang diketahuinya hanyalah sang Mama meninggal karena dibunuh seorang pria yang telah masuk penjara. Dan rahasia itu akan terus Tuan Candra simpan, sampai kapan pun._