05. Tentang Sidir

1028 Words
Costa dan Alison sampai di atap rumah sakit, yang sengaja Costa minta untuk menikmati pagi hari bersama dengan Alison. Mungkin hari itu saat yang tepat untuk mereka bercerita, untuk mengorek sedikit tentang hidup Alison. Dengan kursi roda uap Alison naik keatas sana, tanpa susah Costa mengangkatnya. Kursi roda itu sudah di produksi masal guna kesehatan, hampir seluruh rumah sakit di Ingerdia memilikinya. Cara kerjanya sama seperti kursi roda biasa, hanya memiliki uap di bawah untuk terbang. Ketika sampai di atas, Costa langsung memperlihatkan pusat kota Sidir dengan beberapa bangunan utama pencakar langit, rumah-rumah rapi bercat putih dengan atap rendah, beberapa rumah menyerupai bentuk setengah bulat. Jalanan kota terlihat dari atas sana, tak ada kemacetan, atau suara bising kendaraan yang saling sahut-menyahut, karena flying car sebagai kendaraan elit juga ikut lalu-lalang. Kendaraan bermotor dengan bahan bakar dasar fosil dan minyak bumi hampir tak terlihat, karena ada penekanan pemakaian, harga per-unitnya yang sengaja di permahal dengan pajak yang tak begitu murah. Costa melihatnya begitu nampak tenang, Berlin bahkan tak pernah sesepi ini, setiap saat kota penuh dengan kendaraan, ramai orang di jalanan. Penduduknya juga begitu banyak, itu dipusat kotanya saja. “Kotamu indah, indah sekali,” puji Alison berbicara pada Costa tanpa sedikitpun mengalihkan matanya dari melihat sidir. “Berapa orang yang ada disini? Kenapa nampak sepi?” “Ini pusat negara Ingerdia, ada sekitar tiga juta penduduk dari e-data yang kami miliki. Kenapa nampak sepi, karena jam seperti ini anak-anak di bawah 18 tahun sedang sekolah, di batas usia 25 sedang kuliah, dan sisanya bekerja ataupun istirahat di rumah. Jika mau melihat Sidir ramai, datangnya di pusat kota setelah pukul enam malam. Mereka akan istirahat sambil berpesta,” papar Costa matanya juga tak henti menatap wajah Alison. “Pesta,” ulang Alison saat mendengar Costa mengucapkan kata itu. “Kami menyebut istirahat setelah beraktivitas dengan kata pesta, menggambarkan betapa lelahnya kami,” ujar Costa lagi, Alison hanya bisa mengangguk tanda paham. “Apa kau tak bertanya kenapa kota sebesar dan semewah ini hanya memiliki sedikit gedung pencakar langit?” “Aku ingin bertanya soal itu, karena Berlin saja setiap sudutnya penuh dengan gedung, apartemenku sendiri memiliki 10 lantai, aku berada di lantai tujuh.” “Beberapa turis, traveler, atapun kedutaan negara lain bertanya begitu. Kami bekerja sama dengan banyak sekali ahli letak tata kota, kami meminta saran, jadi kami buat Sidir begini. Alasan gedung sedikit kami ingin mengurangi efek rumah kaca, penyerapan air agar lancar dan banyak lagi, kau lihat itu...” Costa menunjuk sebuah rumah setengah bulat berwarna putih. “Itu rumah anti gempa dan tsunami, berwarna putih agar bisa menyerap panas. Sebagai negara buatan Ingerdia harus tahan erosi dan tsunami kan.”  “Negara buatan?” Lagi-lagi Alison hanya bisa mengulang kata-kata Costa. Costa menceritakan bagaimana Ingerdia yang di bangun tahun 2025 dari tanah buatan di lepas samudra pasifik, alasan mereka tidak membangun negara baru yang di salah satu dari 25.000 pulau itu adalah karena mereka tak ingin negara mereka lenyap sebab air yang tiap hari terus naik keatas. “Sekarang ceritakan tentangmu,” ujar Costa mengakhiri ceritanya. “Aku...” kata Alison yang masih ragu untuk bercerita. Costa memang banyak bercerita tentang kota Sidir. “Bagaimana sebelum aku bercerita siapa aku, lebih dulu kau bercerita siapa kau.” Costa menatap Alison, ia memang belum bercerita sepenuhnya tentang dirinya pada perempuan itu. Sejak kemarin ia hanya mengoceh tentang kota Sidir dan Ingerdia. Bukan lupa hanya saja ia juga ragu, bagaimana jika Alison tahu bahwa sebenernya ia orang penting di Ingerdia, seorang calon kepala negara pula. “Aku seorang dosen di salah satu universitas di kota ini,” ujar Costa berbohong. “Dosen apa? Aku kadang juga mengambil kelas sebagai dosen biotani,” kata Alison, nampak sekali tertarik. “Dosen matematika, ya matematika.” Kata itu yang keluar dari mulut Costa setelah ia bingung mencari alasan lainnya. Alison hanya mengangguk mendengar ucapan Costa itu, tak ada pikiran lain tentang ucaapan laki-laki yang ada disampingnya itu. “Sekarang kau yang bercerita, siapa dirimu dan bagaimana hidupmu.” Setelah Costa mengatakan itu, mungkin tak ada salahnya Alison bercerita, karena sepertinya Costa terlihat baik sekali. “Aku lahir di Jerman, tepatnya kota pelabuhan Hamburg, tapi kuliah dan bekerja di Berlin, anak kedua dari tiga bersaudara,” papar Alison. “Lalu kenapa kau bisa berada di kapal itu?” “Seingatku setelah kami pulang dari Brazil menuju Jerman, kami yang kami tumpangi terkena badai.” Costa mengangguk-angguk mendengarkan ucapan Alison. “Apa ini barangmu?” sambung Costa sambil bertanya, Aliosn menoleh lalu matanya melihat tabung yang memang miliknya. “Dari mana kau dapat benda itu?” kini Aliosn yang bertanya dengan penuh harap, ia pikir tabung pemberian profesor Reinhard akan hilang selamanya. “Jadi benar ini punyamu, aku menemukannya tak jauh dari puing-puing kapal, hanya ini yang ada di dalamnya tak ada benda lain.” Kemudian Costa memberikan tabung yang itu pada Alison, Aliosn menerimanya dengan sangat bahagia. Alison menggenggam tabung itu dengan sedikit gemetar, seketika saja di kepalanya teringat rasa sakit akibat runtuhan puing-puing kapal, suara teriakan para penumpang, dan deburan ombak yang membentur badan kapal. Semuanya terasa masih membekas di kepalanya, dan membuatnya merasa sedih. “Aku ingin kembali kekamar,” ujar Alison kemudian. Costa hanya bisa mengangguk setelah melihat perubahan sikap Aliosn yang mulai diam. Lalu Costa menyalakan Lift Hologram yang dengan tombol dari gadgetnya, sebuah lift yang mampu mengantarkan manusia dengan kapasitas tertentu dan dapat di akses dari gedung tertinggi. Sebuah ilmu sihir tingkat tinggi dengan sains sebagai ilmu dasarnya. Tak berapa lama Aliosn dan Costa sampai di lantai dasar, menuju kamar Aliosn dan membembiarkan Aliosn istirahat sendiri, karena dari raut wajahnya nampak sekali Alison teringat sesuatu. Alison hanya terdiam, tak memejamkan matanya, ia berpikir banyak hal. Seharusnya ia kembali secepat mungkin setelah melakukan penelitian untuk mengunjungi sang ibu dan melakukan acara peringatan kematian sang ayah di gereja. Tapi sepertinya itu tak akan terjadi, karena bahkan ia tak tahu saat ini sedang berada di mana, di tempat yang masih membuatnya sendiri bingung. Ia tak ingin melihat ibunya  bersedih kehilangan anak perempuannya yang bandel, anak perempuannya yang sering membantah omongannya, namun masih begitu ia sayangi. Alison ingin kembali tapi bagaimana caranya. Di tahun 1994 di waktu yang lain, tepatnya bulan maret bulan-bulan terakkhir sebelum musim dingin selesai. Nyonya Este terdiam sambil memandangi perapian, anak pertama dan ketiganya duduk di sofa yang tak jauh dari sana sambil melihat sang ibu. Harusnya malam itu ia dan kedua anaknya pergi ke gereja untuk mengirim doa pada mantan suaminya, tapi ia urungkan karena sampai saat ini Alison tak kunjung kembali, padahal seharusnya ia datang satu minggu yang lalu sesaat setelah kapal berlabuh di Hamburg, tapi sampai saat ini kapal dari Brazil juga tak nampak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD