Boss kissed

1348 Words
Alex menarik rambut bagian belakang Laura, hingga gadis itu meringis kesakitan. Menggunakan seluruh kekuatan untuk mencoba melepaskan tangan Alex namun tidak sedikit pun membuat lelaki itu tergerak. Alex menggenggam kuat rambut Laura, detik berikutnya ia hempaskan tubuh kecil itu, hingga tersungkur ke atas ranjang. "Kau membuat semua ini jadi sulit, Laura. Padahal ini sangat mudah, kau tinggal melayaniku setelah itu beres," ucap Alex. Sambil sibuk melepaskan kancing kemejanya dari urutan bawah. Dengan penampilan rambut acak-acakkan dan terdapat luka di sudut bibirnya, Laura tampak frustasi. "Aku mohon ... biarkan aku keluar, Alex. Aku tidak ingin bersamamu!" Napasnya membuat dadanya naik turun akibat luapan emosi yang sudah membakar jiwa. Semua itu bertambah memancing gairah Alex. "Wow ... kau sudah pandai berteriak rupanya. Suara itu pasti sangat indah jika nanti kau berteriak memanggil namaku saat aku memberimu kepuasan." "Dalam mimpimu!" Laura membicing. Sorot matanya benar-benar dipenuhi dengan rasa kebencian. Terlebih lagi ketika Alex berhasil membuka pakaiannya. Lelaki itu menaikkan kaki ke atas ranjang berhasil membuat Laura bergetar hebat. Tapi tidak bisa gerkutik ketika punggungnya menempel pada kepala ranjang dan kakinya di duduki oleh tubuh Alex yang besar. "Lepaskan aku!" "Layani aku dulu, baru aku akan melepaskanmu gadis cantik. Setelah itu aku akan menjualmu pada manajer tadi." Laura menggeleng kuat sorot matanya penuh kewaspadaan. Ketika Alex merangkak naik di atasnya, tangan lelaki itu mulai menjamah area-area sensitifnya. Di liriknya samping ranjang terdapat sebuah meja kecil ada beberapa botol minuman yang masih bersegel di sana. Laura meraih satu botol bening yang memperlihatkan isinya dan memilki cap berwarna hitam. PYAR!! Seketika Alex tersungkur ke belakang memegangi kepala yang mengeluarkan darah. Laura segera turun dari ranjang, memanfaatkan kesempatan ia kembali menunduk untuk meraih kunci tersebut. Lagi-lagi sangat sulit untuk dijangkau, ia kembali berdiri kemudian menggunakan tenaga untuk mendorong nakas tersebut. Sesekali ia menoleh sambil terus saja mendorong sebab Alex mulai merangkak turun dari ranjang. Laura semakin panik ia tidak mau berakhir dengan Alex kemudian di jual pada laki-laki hidung belang. Akhirnya setelah mengerahkan seluruh tenaganya Laura berhasil menggeser nakas berat itu. Ia segera mengambil dengan penampilan acak-acakan membuka pintu. "Kau mau ke mana? Jangan berpikir kau bisa lepas dariku." Alex layaknya zombie berjalan ke arah Laura. Hingga akhirnya pintu terbuka gadis itu segera memanfaatkan kesempatan ini. Ia berlari menuju pintu belakang. Jika lewat depan tidak mungkin teman-teman Alex akan menangkapnya. Bruk! Laura tersungkur ke belakang ketika menabrak seorang laki-laki berbadan besar berdiri tegak. Ia meringis memegangi bahunya karena rasanya seperti habis menabrak tiang besi. Namun bukan waktunya untuk mengeluhkan rasa sakitnya saat ini. Terlebih lagi suara Alex terdengar berteriak memanggil namanya di antara musik sayup-sayup yang terdengar dari ruang belakang. "Tuan, tolong bantu saya." Ia menyatukan kedua telapak tangan memohon pada pria di hadapannya. "Kau lagi, entah apa yang harus membuatku bertemu denganmu. Aku tidak ingin berurusan karena kau pasti akan membawa hal tidak baik padaku." Alaric membuang wajah sementara satu sudut bibirnya tertarik membentuk sebuah seringai. Laura masih dalam posisi duduk di bawahnya kemudian bangkit. Ia meraih tangan Alaric matanya nanar. "Aku tahu kau sangat membenciku, Tuan. Tapi aku mohon, selamatkan aku dari sini. Setidaknya kau mempunyai rasa empati pada orang lain." "Apa yang kudapatkan jika aku menolongmu, hem?" Alaric memandang malas saat Laura kesulitan menjawab. Lantas lelaki itu melangkahkan kakinya hingga beberapa langkah menjauh dari Laura. "Laura! Jangan lari dariku, b******k!" Suara Alex kain dekat. Laura tidak memiliki pilihan lain selain minta tolong pada Alaric. Sebab di ujung sana terdapat dua orang suruhan Alex siap untuk menangkapnya. Laura berlari mengajar Alaric, ia raih tangan kekar itu hingga berhenti. "Tuan, aku akan melakukan apa pun, asalkan kau membantuku keluar dari sini." Alaric menaikkan sebelah alisnya, tampaknya gadis di hadapannya kini tidak main-main dengan ucapannya. "Apa pun?" "Iya apa pun itu." "Kalau begitu ikutlah aku." Alaric menarik pergelangan tangan Laura. Membawanya keluar melewati jalan utama. Ketika itu Laura melihat Alex berjalan ke arahnya. Ia menarik Alaric untuk menutupi dirinya kemudian dengan posisi punggungnya menempel pada dinding kedua tangan mencengkram jas Alaric hingga posisi mereka berhadapan begitu intens. Alex menatap punggung Alaric penuh curiga, ingin melihat siapa yang berada di balik kungkungannya. Alaric menunduk menyatukan bibirnya dengan gadis di hadapannya. Laura terkejut atas apa yang dilakukan ia hanya berdiam kaku. "Balas, kalau kau tidak ingin tertangkap oleh orang itu," bisik Alaric lirih, hingga perlahan-lahan Laura membuka bibirnya dan membalas ciuman dari Alaric. Uhuk! Laura tersengal ketika Alex sudah menyingkir dari sana. Butuh waktu beberapa detik untuk menstabilkan pernapasannya. Ini adalah ciuman yang pertama dan ia tidak paham sama sekali tata caranya mengatur napas dengan benar. "Ciumanmu sangat buruk sekali." Alaric mengusap bibirnya yang basah sambil menyeringai seolah mencemooh. Bibir Laura terasa perih akibat tamparan dari Alex tadi. Ditambah lagi serangan bibir dari Alaric yang begitu ganas, ia berpikir dia ingin menolong atau memanfaatkan kesempatan? Namun ia saat ini tidak boleh memikirkan berprasangka buruk dulu pada Alaric. Terpenting dia harus segera keluar dari sini. Tangannya tersentak saat tiba-tiba Alaric menarik membawanya keluar dari sana tanpa seorang pun berani bertanya. Kecuali satu orang dia Maikel sekretarisnya. "Boss, apa yang terjadi? Bukankah kau datang untuk? Tapi kenapa bersama gadis ini?" Pertanyaan Maikel terhenti ketika mata elang Alaric menatapnya tajam. Lelaki itu bergeming kemudian membuka pintu mobil mempersilahkan bossnya itu masuk. "Masuklah!" perintah Alaric dengan aura penguasanya. Laura menurut masuk ke dalam mobil setidaknya berteman dengan musuh lebih bagus untuk melawan musuh lainnya. "Apa yang membuatmu sampai tempat itu?" tanya Alaric yang duduk berdampingan dengan Laura. Sementara Maikel fokus menyetir. "Apa dipecat dari pekerjaan, membuatmu frustasi hingga kau ingin menjual tubuhmu?" Laura hanya diam, beberapa kali menghela napas untuk menahan emosi. Ya, Laura sampai tempat ini memang karena Alaric memecatnya, tapi tuduhan atas dia menjual diri itu sama sekali tidak benar. Terlebih lagi andai saja lelaki itu tidak memecatnya, pasti dia tidak akan terkena bujuk rayu Alex yang membawanya ke tempat hampir merenggut kehormatannya itu. "Kalau kau takut seharusnya kau tidak perlu melakukan itu. Dibutuhkan pengalaman untuk menjajakan diri. Sedangkan kau? Ciuman saja tidak bisa." Pipi Laura memerah mendengar kata-kara Alaric. Namun bukan itu tujuannya, ia harus menjelaskan pada lelaki ini supaya selalu tidak berprasangka buruk padanya. "Aku pergi bukan seperti yang kau tuduhkan. Apa kau tahu?" Butuh jeda untuk Laura bicara lagi. "Ini semua gara-gara kau." "Aku?" Alaric menunjuk dirinya sendiri. "Iya, kau! Kalau saja kau tidak memecatku pasti aku tidak akan sampai tempat ini. Kakak iparku membawaku datang ke mari dengan berdalih mencari kan ku pekerjaan. Aku sangat senang saat manajer tadi menerimaku sebagai bartender. Tapi kakakku ternyata memiliki nait buruk padaku." Laura berdecih emosi dadanya kembali memanas ketika mengingat kejadian tadi. "Kau tidak bisa mengalahkan atas kebodohanmu pada orang lain. Harusnya kau bisa menilai seseorang dari gelagatnya, bukan karena perkataannya. Dasar gadis bodoh!" "Siapa bilang aku bodoh? Aku pintar, buktinya aku bisa keluar dari kamar itu." "Dan itu atas bantuanku, gadis kecil bodoh." Alaric merasa bicara dengan anak kecil saat ini. "Kau membantuku saat di luar, harusnya kau ingat itu. Dan ... kau juga sudah menikmati ciumanku. Kita impas sekarang," ucap Laura menatap depan terlihat jalan yang gelap. "Kau pikir aku berselera menikmati bibir gadis kecil sepertimu itu. Ck tidak sama sekali." Alaric menyeringai kemudian menatap arah samping melihat suasana luar. "Aku tidak peduli kau menikmati' atau tidak. Yang jelas kita sudah impas," cuit Laura. "Siapa bilang? Kau masih berhutang budi padaku, dan yang tadi itu justru sebuah pertolongan. Ingat, kau masih berhutang padaku. Aku akan menagihnya jika aku mau dan kau tidak bisa menolaknya, atau aku akan mengembalikanmu ke bar itu?" "Baiklah, baiklah, aku mau. Asal jangan bawa aku ke tempat itu lagi." "Bagus gadis kecil." Alaric menyeringai melirik sejenak kemudian kembali menatap jendela sampingnya, dengan kaki saling bertumpu satu tangannya memegang bibir. Mobil yang mereka tumpangi melaju dengan cepat. Tampaknya Alaric sedang berbaik hati kali karena sudah mengantar Laura sampai rumah. "Terima kasih, Tuan," ucap Laura saat tiba di halaman rumah berukuran kecil tanpa pembatas pagar itu. Alaric tidak menjawab, justru mengajak bicara Maikel. "Maikel, bawa aku pulang ke apartemen. Aku sedang tidak ingin pulang malam ini." Kemudian mata hazelnya memutar ke samping. Melihat Laura masih berdiri di sana. "Ingat, kau masih berhutang budi padaku." Setelah berujar mobil melaju meninggalkan Laura yang masih berdiri kaku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD