Dismissal

1345 Words
“Dalam dua Minggu aku akan kembali.” Huff…. Lagi-lagi lelaki bertubuh tinggi 180cm itu menghela napas saat membaca pesan dari istrinya. Menatap pemandangan kota Berlin di malam hari tampak kelap-kelip lampu menghiasi kota dari atas jembatan Oberbaum. Jembatan Oberbaum adalah jembatan dua tingkat yang melintasi Sungai Spree di Berlin. Jembatan ini menghubungkan Friedrichshain dengan Kreuzberg, dua borough yang terpisah saat adanya Tembok Berlin. Tingkat bawah dari jembatan ini terdapat jalan yang menghubungkan Oberbaum Straße dengan Warschauer Straße. Diwaktu sibuknya ia selalu menyempatkan waktu untuk berdiri di sana menatap pemandangan sejenak membuat hati lelaki itu lebih tenang di antara kesunyiannya yang selalu kesepian. Dia, Alaric Williams Hernandez adalah lelaki matang yang mempunyai kekuasaan di belahan dunia. Diusianya yang menginjak 30 tahun Alaric sudah berhasil meraih segudang prestasi. Lelaki yang berstatus anak yatim itu sukses tentunya tidak sendiri. Ada orang yang menjadikan dia seperti ini. Edward Oeberon ketua kelompok geng mafia Javier yang sangat di takuti. Sesosok Edward adalah malaikat bagi Alaric karena semenjak tamat sekolah dasar dialah yang membiayai sekolah Alaric sampai lulus di Universitas ternama di negara Amerika. Edward berhasil mendidik Alaric sebagai sesosok pria tangguh bisa menghadapi musuh dengan dengan tepat. Bahkan Alaric yang dari kecil tidak mengetahui siapa ayah kandung yang sebenarnya tidak pernah merasa kan mencari kehadiran seorang tersebut karena ada Edward di sampingnya selalu memberi dukungan. Hingga sampai saat ini Edward sangat berjasa bagi Alaric. Bahkan Alaric tidak pernah sedikitpun menolak atau membantah perintah dari Edward. Walau pun menghabisi nyawa seseorang. Bukan hanya soal perkerjaan yang ditentukan Edward pada Alaric. Tetapi jodoh pun lelaki itu sudah menyiapkan. Edward memiliki seorang putri satu-satunya di antara dua bersaudara yang satu lagi laki-laki bernama Richard dan yang perempuan bernama Faullina. Edward menikahkan Alaric dengan Faullina bahkan tanpa meminta persetujuan. Tiga tahun sudah lamanya Alaric menikah dengan Faullina, hubungan mereka tampak baik-baik saja bahkan mereka pasangan yang diidam-idamkan semua orang, hingga sering dijuluki sebagai pasangan ideal. Hidup mereka bak sultan yang selalu bergelimang harta dan selalu tampil mesra di muka umum. Tapi siapa sangka, hubungan keduanya tidak seindah seperti apa yang dilihat orang. Nyatanya mereka sering mengalami pertengkaran disaat hanya berdua saja tanpa dilihat oleh publik yang selama ini mengeluh-eluhkan hubungan mereka saat ini. Setelah puas melihat pemandangan dan membuat kegundahan hatinya sedikit berkurang, Alaric memutuskan untuk meninggalkan tempat itu. Kota Berlin sangat dingin malam ini hingga suhunya mencapai 3⁰c. Hawa dingin mulai terasa menusuk tulang-tulangnya. Ia berbalik badan memutuskan sebaiknya kembali ke mansion. Tidak butuh waktu lama mengendarai mobol BMW keluaran terbarunya Alaric tiba di halaman luas hamparan rumput hijau bak lapangan sepak bola sementara sebuah mansion didominasi warna putih berada di tengah-tengah tampak menyala terang seperti siang hari karena lampu yang menyala. “Surprise!” Suara tiupan terompet kecil begitu terdengar bersahutan begitu antusias menyambut perayaan ulang tahun Alaric. “Happy birthday, Tuan ….” Seorang gadis berambut hitam dan bertumbuh kecil itu tampak antusias untuk memberi kejutan untuk pria yang merupakan boss tempat di mana dia bekerja. Sebegitu antusiasnya dia tidak menyadari kalau ada wajah yang tidak menyukai ini semua hingga seorang temannya menyenggol lengannya. Seketika netra hitam itu melihat wajah Alaric yang memerah dan rahangnya mengeras. "Kau lagi." Alaric menunjuk Laura dengan geram rahangnya mengetat. Baru saja kemarin pagi begitu banyak membuat masalah padanya dan kini muncul lagi di hadapannya. Oh Tuhan ... entah dosa apa yang diperbuat Alaric di masa lalu sehingga harus selalu berhadapan dengan gadis ini. Sementara tiga orang dua perempuan dan satu laki-laki itu menunduk. Saling melirik satu sama lain dalam diam. "Siapa yang memerintahkan kalian melakukan ini semua?” tanya Alaric geram. Tatapan mata begitu menyala sehingga membuat tiga orang yang hanya seperti kecil itu menunduk tidak berani menjawab. “Katakan padaku, siapa orang di balik ini semua?” tanya Alaric sekali lagi mengintimidasi. “Maafkan kami, Tuan. Kami hanya menjalankan tugas, Tuan Carles yang menyuruh kami, karena dia menganggap Anda pasti akan senang mendapat ucapan ini.” Siapa pun orangnya Alaric pastikan akan memberi hukuman yang berat. Dan, tiga orang ini? Lihat saja apa yang akan terjadi. “Pergi.” Alaric mengibaskan tangan sebagai pengusiran. "Maafkan kami, Tuan." "Pergi kataku!" Tidak ingin menambah kemarahan boss besarnya itu mereka bertiga pergi dari halaman mansion Alaric. “Orang kaya begitu aneh, ya?” gerutu Laura. Gadis berusia 21 tahun itu begitu kesal karena usahanya sia-sia. "Kau benar, padahal apa salahnya kita mengucapkan ulang tahun padanya," jawab Alice perempuan berambut cokelat itu. "Orang kaya memang bebas melakukan apa saja. Mungkin bukan cara seperti ini yang mereka suka." Seorang laki-laki berpakaian rapi teman Laura menimpali. "Apa maksudmu?" tanya Laura mengerutkan dahinya. "Orang seperti mereka suka merayakan malam ulang tahun dengan pesta ke klub dengan para wanita penghibur. Kurasa kau tau." Lelaki itu menggeleng kemudian berjalan lebih dulu meninggalkan Laura yang masih menganga. Langkah Laura gontai ketika berjalan keluar dari halaman rumah Alaric. Salah satu atasannya mengatakan kalau membuat Alaric—CEO perusahaan BERLION-Group senang Laura akan terbebas dari ancaman pemotongan saparuh gaji dan pemecatan atas kesalahan yang dia lakukan kemarin. Tapi kini apa yang terjadi? Bukan senang yang Tuan besarnya itu dapatkan, namun justru kemarahan. Dengan langkah gontai Laura melangkah pergi meninggalkan mansion boss yang menyebalkan itu. “Maikel, pecat Carles sekarang juga! Pastikan dia tidak memperlihatkan wajahnya lagi besok di hadapanku!” Perintah itu paten, tidak bisa diganggu gugat. Maikel hanya bisa menuruti tanpa membantah. “Baik Tuan.” Dengan satu jawaban itu Alaric menganggap semua perintah sudah beres. Kemudian lelaki memiliki alis tebal itu menutup teleponnya. Sementara Alaric setelah berucap masuk ke dalam mansion. Hidupnya kembali sunyi, tidak ada yang spesial di hari ulang tahunnya. Bahkan, istri yang seharusnya menemaninya kini justru pergi dengan seribu urusan tidak ada tepi. “Matilah riwayatku ….” Di pagi hari saat Laura baru saja duduk di kursi tempat dia bekerja, seorang teman memanggilnya dan mengatakan kalau Alaric memerintahkan untuk datang ke ruangannya. Langkah Laura terasa berat bagai menarik jangkar saat akan memasuki rungan Alaric. Ia tahu bossnya itu memanggil karena ada sangkut pautnya dengan kejadian semalam. Belum juga bertatapan dengan Alaric namun Laura sudah berkeringat, bahkan tangannya begitu dingin. Ketegangan otot-otot di wajahnya semakin bertambah saat berada di depan ruangan mendapati kedua teman seprofesi yang datang memberi kejutan ulang tahun Alaric semalam keluar dengan wajah lesu diiringi dengan sebuah gelengan samar. Apa ini pertanda mereka telah dipecat? Ah, tidak, tidak. Mana mungkin hanya karena masalah sepele seperti itu mereka dipecat. “Sekarang giliranmu, Laura. Tuan Alaric sudah menunggumu sejak tadi, dan pastinya akan menambah kemarahannya karena kau datang terlambat,” ujar salah satu karyawan yang baru keluar dari ruangan Alaric. “Benarkah?” Ah, sial. Bahkan Laura merutuki dirinya sendiri kenapa selalu bangun kesiangan akhir-akhir ini. Itu semua pasti gara-gara mimpi yang selalu membayangi setiap malam, mimpi yang selalu membuatnya bangun dan tidak bisa tidur lagi, hingga terpejam setelah waktu menjelang dini hari. “Tuan, maaf aku terlambat.” Hanya itu yang bisa dia ucapkan saat memasuki ruangan Alaric yang a menatap tajam mengintimidasi. “Kau mau hukuman apa untuk kuberikan padamu?” Suara Alaric begitu dingin mengintimidasi. Maksudnya? Laura tampak bingung menaikkan sebelah alisnya, kemudian saat melihat mata elang itu ia menunduk. “Kau mempunyai dua pilihan. Mengundurkan diri atau dipecat?” “Hah?” Kedua bola mata Laura membulat saat mendengar kalimat Alaric. “Bagaimana bisa, Tuan?” tanyanya ragu, “Bahkan itu bukan sebuah pilihan.” Laura bicara tidak berani menjawab. Netra hitam itu terarah ke meja di mana tangan Alaric bergerak mendorong sebuah amplop berwarna putih dengan satu jarinya. “Ini surat pemecatanmu. Mulai sekarang kau bukan lagi bagian dari perusahaan ini.” Seolah tidak memiliki belas kasihan sama sekali Alaric menyandarkan punggung di kursi kebesarannya sambil menatap Laura penuh cemooh. Tidak, tidak. Bagaimana mungkin dia dipecat semudah ini. Lalu bagaimana dengan kebutuhan obat-obatan ibu Laura yang untuk dibeli setiap bulannya? Dengan wajah nanar ia menatap Alaric namun sebelum bibirnya terbuka tangan Alaric sudah lebih dulu mengibas sebagai tanda pengusiran. "Tuan." "Di sini aku berkuasa. Kau tidak bisa lagi menolak keputusanku walau kau merayuku dengan tubuhmu itu sekali pun," ucap Alaric berdecih. Tangan Laura mengepal dalam sambil meremas kertas di sana. Seenaknya saja lelaki tua itu mengatakan seperti itu. "Jangan menatapku seperti itu, karena aku juga tidak akan tertarik padamu. Aduh!" Damn it! Sebuah gumpalan kertas mendarat di wajahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD