Gladys membereskan alat musik, dibantu dengan murid lainnya. Dia baru saja selesai mengajar di kelas musik tempat lesnya.
"Mrs. Glad, biar kami saja yang membereskannya." Seorang anak meminta Gladys diam saja, dia juga mengambil alih gitar yang ada di tangan Gladys.
"Terima kasih ya," balas Gladys. Tangannya mengusap kepala anak itu dengan lembut.
Mendadak Gladys jadi teringat akan kehidupannya di masa depan nanti kalau bayi dalam kandungannya ini sudah lahir. Mungkin akan seperti ini, tapi Gladys tidak berani membayangkannya lebih dalam. Entahlah, Gladys takut kalau semisal kehidupannya mendatang tidak akan berjalan sesuai apa yang dia inginkan.
Gladys ke luar dari ruang latihan. Tak sengaja dia bertemu dengan pemimpin tempat les yang dulunya juga termasuk menjadi salah satu pelatihnya. Gladys menyapa dengan sopan.
"Mrs. aku pulang dulu," pamit Gladys.
"Hati-hati di jalan ya. Gaji kamu bulan kemarin sudah aku transfer ke rekening seperti biasa. Aku kasih bonus sedikit," kata pemimpin tempat les musik itu.
"Ya ampun, Mrs. padahal tidak perlu repot-repot, tapi makasih banyak," balas Gladys. Tentu saja dia senang, tidak ada yang tidak senang kalau mendapatkan bonus seperti Gladys sekarang ini.
Mereka berpisah di sana. Gladys masuk lift dan menuruni tangga menuju luar. Kehamilannya sekarang sudah memasuki usia 18 minggu, jadi dia harus ekstra hati-hati. Tanpa sadar, Gladys juga takut melukai janin dalam kandungannya kalau sampai dia terjatuh karena tidak hati-hati dalam melangkah.
Gladys merasa ponselnya berdering. Ternyata mamanya yang memanggilnya. Meski sedikit bimbang, Gladys akhirnya menerima panggilan dari mamanya.
"Hallo, Ma," sapanya sopan.
"Kamu di mana sekarang? Mama ada di kafe dekat tempat les kamu. Mama tunggu di sini sekarang juga, jangan bikin Mama nunggu lebih lama lagi." Jihan mematikan sambungan teleponnya secara sepihak sebelum Gladys menjawab akan menemui mamanya atau tidak.
Helaan napas panjang terdengar dari hidung Gladys. Sebenarnya dia ingin pulang sekarang, dia sudah kelelahan tapi mamanya malah mengacaukan rencananya. Mau tak mau, Gladys cepat-cepat menyusul mamanya ke kafe tempat biasa mereka makan setiap kali Jihan menjemput Gladys pulang les. Tentu saja Gladys sudah tidak asing dengan tempat ini, karena saking seringnya dia ke sini.
Wajah mamanya langsung terpampang jelas saat Gladys baru saja masuk ke kafe. Dia tidak bisa berjalan cepat seperti yang diminta sang mama. Di sana Gladys melihat mamanya sedang asik makan, tanpa menunggu dirinya datang.
"Ada apa Mama ngajak ketemu aku di sini?" tanya Gladys polos.
Jihan menatap Gladys tajam, membuat putrinya itu menundukkan kepala.
"Aku tahu, tapi maksud aku 'kan bisa lewat transfer aja, Ma. Kita nggak usah ketemu kayak gini," ucap Gladys yang tahu apa maksud mamanya.
Benar sekali, Jihan mengajak Gladys ketemu itu bukan karena ingin menanyakan kabarnya atau kondisi kandungannya. Melainkan untuk meminta uang bulanan darinya. Gladys sudah sangat hafal. Mamanya tidak akan menghubunginya kalau tidak berhubungan dengan uang dan uang. Gladys hanya mesin uang di mata Jihan.
"Ya tapi kamu nggak ada transfer Mama sampai sekarang 'kan? Kamu pura-pura lupa kalau uang bulanan Mama sudah habis?" Jihan menggertak putrinya sendiri.
Kadang kala, Gladys bertanya-tanya mengenai statusnya. Dia ingin mengetahui yang sebenarnya. Mungkin saja Jihan itu bukan ibu kandungnya. Mungkin saja Gladys ditemukan di pinggir jalan lalu diasuh oleh keluarga Jihan, atau mungkin Gladys diadopsi dari panti asuhan. Namun semua kemungkinan yang terlintas di benak Gladys itu sama sekali tidak berdasar. Tidak ada yang terbukti. Dari semua data-data mengenai dirinya, Gladys benar-benar terlahir dari rahimnya Jihan dalam ikatan pernikahan dengan Ringgit, tapi Gladys menyayangkan sikap mamanya kepadanya yang seperti menganggap dirinya bak orang asing.
"Aku 'kan habis transfer Mama dua minggu yang lalu. Masa udah habis sih?" Gladys rasanya ingin marah. Uangnya benar-benar terkuras karena gaya hidup mamanya.
"Ya kamu pikir aja, memangnya uang lima juta cukup untuk berapa hari?" Jihan malah membalikkan kata-kata Gladys.
Gladys mendesah, kepalanya rasanya hampir pecah. Mamanya selalu begini, tidak pernah puas dengan uang. Selalu haus rupiah dan yang ada di dalam pikirannya hanyalah uang dan uang.
"Ma, gajiku sebulan itu cuma sepuluh juta, aku udah kasih ke Mama lima juta. Sisa buat aku juga lima juta. Harusnya Mama tahu dong, kalau aku juga butuh hidup. Aku juga lagi libur nyanyi, libur kontes lomba." Gladys membela diri.
"Kamu 'kan punya suami, keluarga Yudha juga kaya. Kamu pasti dapat uang bulanan dari mereka, terus untuk apa kamu masih butuh uang dari gajimu?" Jihan mendebat omongan Gladys.
Perkataan Jihan membuat Gladys terkekeh. Dia tahu, hidupnya cukup miris. Namun Gladys tidak ingin membagi kisah ini dengan orang lain. Gladys selalu memendamnya sendirian, sehingga inilah alasan kenapa dia lebih sering diam dan tidak memiliki teman.
"Mama juga punya suami. Aku tahu, jumlah uang bulanan yang Papa kasih ke Mama itu nggak sedikit. Terus kenapa Mama masih ngerecokin aku?" Gladys berusaha melawan, walau akhirnya tetap dia yang bakal mengalah dalam perdebatan ini.
Jihan menyilangkan kedua tangannya di depan d**a. Menatap Gladys penuh kemarahan.
"Kamu ingat ya, Glad. Dari sejak kamu masih berada di dalam kandungan itu, kamu sudah memerlukan banyak biaya. Perlengkapan bayi, biaya persalinan, sekolah, les, uang jajan, dan masih banyak lagi sampai kamu bisa seperti sekarang. Terus setelah kamu punya suami dan bisa nyari uang sendiri, kamu lupa sama apa yang udah kami kasih ke kamu? Nominal uang yang udah kamu kasih itu belum bisa menebus semua utang kamu ke Mama. Jadi kamu harus ingat." Perkataan Jihan jelas membuat Gladys sakit hati. Seolah itu tidak pantas keluar dari bibir seorang ibu.
Gladys terlanjur kecewa, sakit hati dan marah akan perkataan mamanya. Cepat-cepat dia mentransfer uang sebanyak enam juta ke rekening mamanya. Dia tidak ingin mendengar perkataan mamanya lebih dari ini. Cukup segini sakit yang bisa Gladys tampung.
"Aku udah transfer Mama uang, itu untuk satu bulan ke depan. Untuk ke depannya, aku bakal langsung transfer Mama kalau aku habis gajian. Jangan ngajak aku ketemu lagi, dan aku harap kita nggak pernah sengaja ketemu." Gladys bangun dari duduknya. Saat ini Gladys sangat ingin membuang Jihan dari hidupnya. "Dan satu lagi, Ma. Aku nggak minta dilahirkan. Mama yang memutuskan untuk melahirkan aku. Kalau Mama nggak mau, harusnya dulu Mama aborsi pas hamil aku."
Gladys meninggalkan Jihan begitu saja di sana tanpa banyak bicara. Sekarang ini Gladys sedang menahan air matanya sekuat tenaga. Gladys tidak ingin terlihat seperti orang cengeng. Tidak mungkin juga Gladys menangis di jalanan.
"Arhk!" Gladys otomatis memegang perutnya sendiri yang terasa sakit. Sepertinya Gladys kram, dan dia memilih duduk di bangku kosong yang tersedia di sisi jalan untuk beristirahat dan berharap nyeri di perutnya akan mereda.
Begitulah Jihan, mamanya Gladys yang hanya mencintai uang. Bahkan Jihan sama sekali tidak menanyakan kondisi kesehatan Gladys setiap kali mereka bertemu.