Flashback.
"Kamu ini bagaimana sih, nggak becus jaga diri. Udah dikasih kebebasan sama keluarga, malah dipatahkan gitu aja. Kalau tahu bakal begini, Mama nggak akan lengah." Jihan marah-marah kepada putrinya yang sudah terlanjur menikah dengan Yudha kemarin lusa.
Keluarga Gladys kaget bukan main saat menerima tamu yang mengaku sebagai calon mertuanya Gladys dan ingin melamar Gladys karena kehamilannya. Mulanya Jihan ingin menyelesaikan masalah ini sendirian tanpa meminta pertanggung jawaban dari pihak keluarga Yudha, tapi Marsel dan Alexa tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Pada akhirnya mau tak mau, Jihan dan suaminya menerima lamaran Marsel untuk Yudha dan langsung menikahkan mereka. Padahal sebenarnya Jihan sama sekali tidak bisa menerima Yudha sebagai menantunya.
"Aku juga nggak tahu kalau bakal kayak gini, Ma. Kejadiannya juga 'kan nggak disengaja. Aku nggak dengan sengaja minta dihamilin sama Yudha." Gladys membela diri karena merasa dirinya memang tidak sepenuhnya bersalah.
Jihan melirik tajam ke arah putri satu-satunya yang menunduk, menyesali kesalahannya sendiri yang memang tidak bisa dia kendalikan. Andai saja dulu Gladys tidak mabuk, pasti kejadiannya tidak akan seperti ini.
"Terus apa rencana kamu sekarang? Mau udahan bermusik? Kamu mau mengubur semua cita-cita dan mimpi kamu hanya karena kehamilan kamu itu?" Jihan terus mencecar Gladys yang dianggap sangat salah karena kehamilannya.
Gladys menghela napas, lelah harus bicara hal yang sama dengan sang mama. Seolah-olah tidak ada ujungnya. Terus saja berputar-putar tanpa ada hentinya.
"Aku tetap bakal ngelahirin anak ini, Ma. Aku nggak mau bikin namaku dan nama keluarga kita jadi jelek kalau semisal aku kabur atau melakukan hal yang nggak mereka inginkan." Gladys rasa ini pilihan yang tepat.
Dalam hati, Gladys ingin dibela oleh papanya. Namun sayangnya, harapan Gladys tidak akan terwujud. Papanya pasti akan membela mamanya, selalu saja seperti itu. Rasanya, Gladys seolah-olah tidak memiliki sosok seorang papa.
"Lagian kamu tu kurang pinter, harusnya kamu bisa lebih baik lagi sembunyi-sembunyi dari orang tuanya Yudha biar nggak ketahuan pas mau aborsi," ucap Jihan lagi. Nada suaranya terdengar sangat marah.
Ada senyuman tipis di wajah Gladys. Dia sudah tahu, kalau mamanya pasti akan setuju dengan keputusannya untuk aborsi daripada bertanggung jawab atas kehamilannya.
"Aku juga nggak tahu, Ma, kalau orang tuanya Yudha bakal tahu mengenai rencana kami yang ingin aborsi di Singapore," balas Gladys. Tak henti-hentinya dia membela diri. Gladys rasa, kalau bukan dia sendiri yang membela dirinya, maka tidak akan ada yang berpihak padanya.
"Pa, asik banget ya korannya?" Gladys menyapa papanya yang sama sekali tidak mengeluarkan suara. Meski lelaki itu tahu terjadi perdebatan di antara dirinya dan Jihan.
Ringgit, papanya Gladys menutup korannya dan berfokus melihat anak perempuannya. "Asik, kamu mau coba baca?" tanyanya dengan polosnya.
Gladys berdecak kesal. Benar-benar tidak ada yang bisa diharapkan oleh Ringgit. Apalagi adiknya yang masih kecil, mana tahu dia mengenai perdebatan orang tua seperti ini. Tentu saja adiknya Gladys lebih fokus bermain ketimbang membela sang kakak.
"Nggak usah, Pa. Aku mau makan kue aja," balas Gladys seraya mengambil kue dari atas piring yang ada di depannya. Belum sampai Gladys membuka mulutnya, dia sudah lebih dulu merasa mual dan tak jadi memakannya. Gladys berjalan cepat ke wastafel kamar mandi yang jaraknya tak jauh dari sana.
"Mama ini gimana sih, masa anaknya hamil tapi Mama sampai nggak tahu. Padahal Mama 'kan sudah pernah hamil dua kali," tegur Ringgit.
Jihan menatap Ringgit tajam, tidak terima dengan perkataan suaminya yang menyalahkan dirinya. Hanya ditatap begini saja sudah membuat nyali Ringgit menciut dan tidak jadi mendebat istrinya.
Gladys kembali dari kamar mandi. Sekarang dia geli saat melihat kue yang disuguhkan mamanya tadi di atas meja. Tidak ada selera lagi untuk memakannya. Gladys jadi merasa lebih sulit setelah dia hamil. Terlebih lagi setelah semua orang tahu mengenai kehamilannya, dia jadi lebih sering merasa mual, pusing dan lelah. Berbeda dengan kondisinya di saat-saat dia masih menyembunyikan kehamilannya. Rasanya tidak seberat ini, tapi mungkin memang itulah rintangan yang harus Gladys alami dan lewati.
"Gimana, nggak enak 'kan rasanya mual-mual? Makanya jangan sok-sokan hamil kalau belum siap menerima semuanya. Mama juga belum siap punya cucu," ucap Jihan secara terang-terangan.
Jihan ikut duduk di sofa bersama suaminya yang kembali sibuk membaca koran sambil menikmati sepotong kue buatan Jihan subuh tadi. Auranya sangat berbeda, dari yang awalnya Jihan tidak bergabung dan sekarang jadi ikut-ikutan. Jelas saja Gladys jadi lebih ngeri saat Jihan memutuskan ikut bergabung.
"Ma, aku minta maaf sekali lagi. Aku beneran nggak bermaksud bikin Mama sama Papa kecewa." Gladys sudah hampir berbusa meminta maaf kepada kedua orang tuanya yang tidak ada henti-hentinya memojokkan, menyalahkan, dan menyudutkannya.
"Terus kalau kamu memilih melanjutkan kehamilan kamu sampai melahirkan, siapa yang bakal nyari uang buat Mama? Kami butuh kamu sebagai penopang hidup kami, Glad," kata Jihan.
Poin utama yang membuat Jihan sangat kecewa dan tidak menginginkan pernikahan ini terjadi itu karena Gladys tidak bisa sepenuhnya lagi menjadi miliknya seperti saat Gladys belum bersuami. Jihan takut keuangan keluarganya akan menurun drastis kalau Gladys berhenti bermusik. Sementara hamil dan melahirkan itu butuh waktu istirahat lebih banyak dari sakit biasa.
"Mama nggak bisa mengirit keuangan hanya karena status kamu sekarang berubah menjadi menantunya orang kaya. Mama nggak bakal tinggal diam gitu saja," balas Jihan.
Goresan di hati Gladys lagi-lagi bertambah. Gladys memang tahu kalau sebenarnya orang tuanya menyukai dirinya karena dia itu sumber uang bagi keluarga. Entah karena ketulusannya atau apa juga Gladys tidak tahu karena hidupnya sedari kecil memang sudah seperti ini. Penuh dengan tekanan dari orang tuanya. Tidak! Tekanan ini hanya Gladys dapatkan dari mamanya saja.
"Iya, Ma. Aku juga masih kerja paruh waktu kok. Mama tenang aja, lagi pula tabunganku juga masih ada kalau untuk memenuhi kebutuhan Mama sekeluarga di sini selama beberapa bulan ke depan." Gladys sama sekali tidak merasa sayang meski harus mengeluarkan uang untuk keluarganya.
"Harus begitu kamu. Jangan mentang-mentang hamil, terus kamu nggak ngasih uang belanja buat Mama." Jihan benar-benar tidak memedulikan perasaan dan posisi Gladys sekarang. Sungguh, semuanya jadi terasa lebih sulit usai dirinya resmi menjadi istrinya Yudha.
"Iya, Ma," balas Gladys.
"Nggak usah ngeluh, jangan manja, ini risiko yang memang harus kamu hadapi. Mama nggak bisa kasih kamu kelonggaran hanya karena kamu sekarang berbadan dua. Kamu tetap punya kewajiban itu. Jangan langsung lepas tanggung jawab gitu aja." Jihan memperingati putrinya dengan banyak sekali kata-kata yang sebenarnya kurang pas dilontarkan sekarang. Namun sepertinya Jihan jadi lebih gila karena kehidupan Gladys tidak berjalan sesuai yang dia rencanakan.