Ada rasa lega, senang, haru, sedih dan segala macamnya di dalam hati Gladys karena kelahiran putrinya. Semua keluarga Fabiano sedang berbahagia menyambut kehadiran putri kecil Yudha dan Gladys.
"Udah siapin nama belum?" tanya Zulla sambil menyenggol lengan Yudha yang sibuk bermain ponsel.
"Gak ada!" jawab Yudha tanpa menoleh ke arah Zulla.
"Kalau lo, Glad?" Zulla ganti menatap Gladys.
Sambil nyengir kuda, Gladys juga menggelengkan kepalanya. "Gak kepikiran," jawabnya singkat.
"Kalian ini gimana sih, harusnya dipikirin juga dong." Marsel menghela napas mendengar kalau tidak ada yang menyiapkan nama untuk cucu pertamanya.
"Kakak ada ide nggak?" tanya Alexa seraya memegang bahu Zulla.
"Emang boleh kalau aku yang ngasih nama, Bun?" tanya Zulla.
"Tanya sama adek kamu tuh, dia yang punya anak." Alexa menunjuk Yudha pakai dagunya.
"Boleh nggak?" Zulla melihat ke kanan dan kiri, di mana Zulla dan Yudha berada.
"Terserah Kak Zulla aja," jawab Yudha acuh tak acuh.
Gladys juga hanya menganggukkan kepalanya seakan menyerahkan semuanya kepada Zulla kalau memang Zulla ingin memberi nama.
"Kalau aku kasih nama Eunha Sintiana Fabiano gimana, Yah? Boleh nggak?" tanya Zulla.
"Bunda sih oke," sahut Alexa yang memang suka dengan Korea Selatan seperti putri sambungnya.
Marsel tidak bisa melarang, sampai akhirnya dia memperbolehkan gadis kecil yang menjadi cucunya itu diberi nama Eunha. Meski tidak ada keturunan darah Korea Selatan dari leluhur.
"Kok pakai nama Fabiano sih?" Yudha protes, seakan tidak terima nama Fabiano ikut berada di dalam nama anaknya sendiri.
“Ya 'kan emang anak kamu, Yud. Gimana sih? Biar keren gitu," sahut Zulla.
"Nggak pakai nama Fabiano juga nggak apa-apa kok." Gladys ikut menyahut.
"Nggak apa-apa pakai Fabiano namanya, Ayah setuju kok." Marsel menengahi perdebatan kecil ini sebagai final. Kalau sudah begini, Yudha sudah tidak bisa membantah.
"Oke, jadi nama kamu sekarang itu Eunha Sintiana Fabiano." Zulla terlihat bahagia bisa menyumbangkan nama untuk keponakan cantiknya. Beginilah sejarah nama Eunha di keluarga Fabiano.
Meski di sekeliling Gladys sedang dipenuhi kebahagiaan, tapi juga ada kesedihan di hatinya karena kedua orang tuanya dan siapa pun dari keluarganya tidak ada yang datang. Bahkan dari yang Gladys dengar, kedua orang tuanya tidak bisa dihubungi ketika Marsel mencoba menghubungi Jihan dan Ringgit. Belum ada batang hidungnya dari salah satu orang tuanya yang datang menjenguk kondisi Gladys.
Sebuah hal yang selalu Gladys tutupi selama ini memang ketidakharmonisan keluarganya kepada dirinya. Sikap mereka sangat berbeda jauh dengan sikapnya kepada adiknya Gladys. Benar-benar berbeda, sampai Gladys sering mengira kalau dirinya anak dari panti asuhan.
"Gue mau ke bawah bentar, lo jangan aneh-aneh." Yudha pamit, entah akan ke mana juga Yudha tidak mengatakannya.
Usai kepergian Yudha, di ruang rawatnya Gladys tidak ada siapa-siapa selain Gladys seorang. Marsel tentu piket di rumah sakit, Alexa tadi mendapat telepon dari sekolah untuk menghadiri rapat orang tua murid yang diadakan dadakan, Zulla ada ulangan di kampus dan kedua adiknya Yudha masih berada di sekolah. Benar-benar tidak ada siapa-siapa setelah Yudha ke luar.
Gladys mendengar suara pintu kamar rawatnya terbuka. Mulanya Gladys mengira itu Yudha, ternyata bukan. Gladys tidak menyangka kalau Jihan bakal datang ke ruang rawatnya.
"Mama dateng?" Gladys jelas senang.
Jihan mendekati putrinya. Melihat ke sekitar, seakan sedang memastikan kalau di dalam kamar tidak ada siapa-siapa selain mereka berdua.
"Kalau Mama mau lihat cucu Mama, dia ada di ruang bayi. Namanya Eunha Sintiana Fabiano." Gladys antusias memberi tahu nama Eunha kepada mamanya.
"Mama ke sini bukan untuk nengokin cucu, tapi Mama mau ngingetin kamu untuk secepatnya mengurus perpisahan dengan Yudha. Kasih anak itu ke keluarga ayahnya, dan kamu bisa kembali ke Mama serta bisa kembali lagi untuk berkarier." Jihan menyerahkan kartu nama seorang pengacara perceraian kepada Gladys.
Sebagai perempuan yang sudah resmi menjadi ibu, Gladys jadi bimbang. Mulanya memang dia rasa akan begitu mudah kalau semisal selesai melahirkan dia akan menyerahkan Eunha kepada keluarga Fabiano, tapi nyatanya Gladys sulit berpisah setelah dia mendengar suara tangisan Eunha yang menyapa telinganya saat baru saja lahir.
"Ma, kenapa Mama harus ngomong kayak gini sih? Aku itu baru selesai melahirkan loh, terus Mama seenaknya ngomong begitu. Harusnya Mama ini nanyain bagaimana kondisi aku atau kondisi anakku," protes Gladys yang tentunya sakit hati karena perkataan mamanya.
Di sini terlihat sekali kalau Jihan tidak peduli pada putrinya, apalagi cucunya. Gladys tahu, yang ada di dalam pikiran Jihan saat ini hanyalah bagaimana caranya Gladys kembali menghasilkan uang.
"Kamu harus ingat dong, yang pengen anak itu lahir 'kan keluarga mereka. Bukan kamu atau keluarga kita, jadi ya biarkan saja mereka yang mengurus anak itu. Keluarga kita tidak berkewajiban untuk tanggung jawab sama sekali, Glad." Jihan masih mengompori Gladys agar mau menceraikan Yudha.
"Mama ingatkan, kalau kamu minta cerai dari Yudha, pastikan kamu mendapatkan banyak uang sebagai upah kamu mengandung dan melahirkan keturunannya. Kamu harus minta yang banyak, Glad. Jangan mau rugi, biaya sewa rahim per bulannya itu juga mahal," kata Jihan.
"Kayaknya aku nggak bisa ninggalin anak aku sama keluarganya Yudha doang deh, Ma. Aku pengen bareng sama anakku, dan aku nggak setega itu untuk ninggalin anakku sendirian. Dia masih butuh ASI eksklusif." Gladys sudah mengambil keputusan.
"Kamu nggak boleh fokus sama anak kamu, Glad. Kamu harus tetap fokus dengan karier bermusik kamu. Mama butuh uang lebih banyak dari transferan kamu. Selama kamu hamil, Mama sudah menahan untuk memakai uang yang kamu kasih sebanyak enam juta itu doang. Mama pengen punya uang lebih, Glad," keluh Jihan.
Gladys tertawa miris. Belum sampai dia membalas apa kata-kata Jihan, pintu ruang rawatnya sudah terbuka. Gladys kaget, di pikir itu Yudha tapi ternyata Alexa.
"Maaf Bu, tapi Gladys nggak akan pergi ke mana-mana. Selamanya dia akan tetap menjadi bagian dari keluarga Fabiano sebagai istrinya Yudha. Lagi pula, saya juga tidak akan membiarkan mereka bercerai sementara Gladys ingin bersama Yudha." Alexa menyela.
Gladys maupun Jihan kaget mendengar perkataan Alexa barusan. Keduanya yakin, pasti Alexa sudah tidak sengaja mendengar percakapan antara ibu dan anak itu.
"Bunda," ucap Gladys yang tidak menyangka kalau Alexa membantu dan mempertahankan dirinya.
"Tapi Gladys ini anak saya, Bu. Saya lebih berhak atas hidup Gladys, bukan kalian." Jihan masih ngeyel, tidak mau kalah.
Alexa tersenyum sinis. "Gladys sudah menikah, sudah memiliki suami dan sekarang resmi menjadi seorang ibu. Tidak hanya itu, tapi usia Gladys juga sudah termasuk usia resmi untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Jadi mulai sekarang, jangan pernah Ibu mengganggu menantu saya lagi dan mengatakan hal yang tidak-tidak seperti barusan."
Jihan tersulut emosi, tapi masih berusaha menahannya di depan Alexa karena tidak ingin usahanya gagal.