Hanya dua menit menyebrangi komplek perumahan Langit menuju kejalan besar tempat Maruna tinggal, Marcel yang menghantarkan Maruna juga Stephanie hingga ke lantai empat tempat kamar Maruna itu berada.
“Terimakasih.” ucap Marun pada Marcel yang ikut memapahnya naik itu.
Marcel sedikit mengumpat dalam hati, Astagaa encok juga naik sampai ke lantai 4 ini.
“Ooh… Iya, sampai kau pulih nanti setiap hari nanti orang-orang Langit akan menghantarkan makanan untukmu, beberapa kebutuhan obat-obatan juga.” Jelas Marcel melihat Runa yang perlahan menyandar di sandaran ranjangnya.
“Ah, jangan! Saya rasa nggak perlu, saya masih bisa mengurusi semuanya.”
“Itu perintah Pak Langit, saya cuma menyampaikan saja, bagaimanapun dia akan bertanggung jawab masalah apapun itu yang menyakut dengannya.”
Marun mencibir jengah, “Saya tidak peduli itu, saya tidak mau berurusan lagi sama Bos anda."
“Runaaa!!” Tegur Stephani, "Jangan seperti itu, lagi pula bukan dia yang akan menanganinya langsung, tapi mbak-mbaknya."
Maruna menarik nafasnya berat, benar-benar sudah di buat ilfeel oleh sikap para lelaki, apapun itu rasanya ia menjadi muak dan melihat mereka bagai Momok yang menakutkan untuknya. Ini tidak tentang sebuah hubungan saja, namun berurusan apapun. Baginya lelaki adalah sosok yang plin-plan sejenis yang mudah baik lalu menyakiti dengan mudah begitu saja.
"Whatever."
Hingga tidak lama Marcel pun bepamitan pulang, Stephanie menghantarkannya keluar kamar.
“Teman kamu itu, kenal dimana Se?”
Stephanie terkekeh, “Runa, pernah kerja di perusahaan tempatku kerja tapi yang di Jakarta, dulu itu dia berkunjung ke sini, lalu kita tukaran kontak dan deket, ya...gitu aja sih, hemm dia kasihan—”
“Kasihan apa?"
"Eh Cel ada lowongan tidak di tempat kamu?” Stephani langsung mengalihkan pembicaraan.
"Buat kamu? Jadi sekretaris aku mau?”
Stephanie menaikan ujung bibirnya, “Ih, bukan buat aku! Buat Runa, dia lagi cari pekerjaan…”
Marcel mengangguk samar, “Di Expedisi ada, tapi kalau di galangan jangan! kasihan dia disana keras, Shipyard panas kecuali di officenya tapi sepertinya di office juga sedang tidak ada lowongan…”
“Di Expedisi entar jumpa Langit kan? Aku kasihan sama Runa, ah…dia diselingkuhi, sekarang dia harus sendirian disini. Maruna jauh dari orang tua, keluarga, kalau aku jadi dia mana sanggup…disini keras, cari kerja susah kalau tidak ada orang dalam.”
“Selingkuh?”
Stephanie terkesiap, dia kelepasan bicara, “Ah tidak-tidak, aku masukin Runa ke Expedisi ya! Tapi…jangan bilang aku yang minta.”
Marcel tertawa. "Hemm okau, kirimkan aja E-mailnya.”
“Kau yakin aman?” Pastikan Stephanie.
“Aman? Hemm tidak ada perang disana.”
“Apa sih nggak lucu! Aku serius mau titip Maruna disana.”Yakini Stephanie lagi .
“Kau titip, aku dorong, setelahnya urusan dia dan pemilikinya.”Marcel mulai menuruni tangga.
Stephanie sedikit tidak yakin, “Tapi— ah baiklah aku segera kirimkan.”
“Sudah itu saja?” Ujar Marcel menatap Stephanie.
“Lalu apa lagi?”
"Kiss gitu."
"Ih nyebelin, udah pulang sana! bye!" kata Stephanie meninggalkan Marcel kembali ke kamar Maruna.
Di dalam kamarnya, sebuah kamar kecil 3 x 3, berisikan lemari, satu meja dan sebuah televisi kecil di dinding, Maruna tampak melantai disana membuka komputer lipat miliknya di atas karpet berbulu. Begitu banyak kertas berserakan di bawah sana.
“Maruunna! Kamu lagi apa? Astaga masih juga mikirin cari kerja dalam keadaan seperti ini.”
“Aku fikir ikut si Marcel pulang, ininsudah malam Steve.. “
“Sese, you can call me, Sese! Disini pada kenal aku Sese tahu!” Stephanie pun melepas sendalnya ikut melantai.
“Stephanie nama kamu itu, biang kerok tahu! Maruna bangkit, “Aku sudah masukin lamaran ke beberapa lowongan yang ada di Jobways, situs lowongan pekerjaan yang hits itu,semoga aja salah satu perusahaan yang mencari pekerja, ada yang tertarik dengan cv aku ya.”
“Ih kamu jangan sembarangan kirim data-data Kesembarangan tempat sekarang itu zaman bahaya, kita tidak bisa sembarang kirim, bisa jadi data kita di salah gunakan.
“Kamu mah gitu… nakut-nakutin.” Maruna menatap Stephanie.
“Kamu kirim ke email aku ya, temen aku salah satu agency penyalur gitu, dia bilang ada sebuah perusahaan Expedition yang butuh beberapa karyawan, entar aku bantuin masukin kesana deh.”
“Penyalur?” Tatap Maruna, “Ah jangan deh potongannya besar.”
Stephanie mengusap kepalanya gini nih kalau bohong, kalimatnya suka berbelit-belit kenapa bisa ke agency penyalur, jadi gak logis gini.
“Ah tidak nanti kita masukin langsung deh ke perusahaannya, coba-coba aja, mana tau ya kan rezeki…”
“Memulai dari awal itu sulit ya, rasanya aku ingin nyerah padahal belum mulai.”
Jika di fikir-fikir Maruna membayangkannya saja sudah malas, memasuki lamaran, menunggu panggilan, lalu interview itupun jika lamarannya dilihat.
Jika tidak di buang atau ditumpuk, belum lagi training segala macam, pengenalan, semuanya harus dimulai dari awal lagi, padahal awalnya dia sudah cukup nyaman menjadi seorang branch Manager disebuah perusahaan swasta di Jakarta.
Namun karena ingin lebih banyak waktu dirumah sebagai istri untuk Kandra lalu pekerjaannya terlalu banyak menyita waktu dia dirumah begitipun kualitas waktu mereka, Maruna pun mengalah memutuskan berhenti dan menjadi ibu rumah tanggasaja.
Sialnya..
Dunianya di jungkir-balikkan oleh si berengsek Kandra.
“Runaaaaa! Kamu bisa, jangan menyerah yaa!!”
Maruna mengulas senyuman, "Hanya kamu yang aku kenal disini Se... Maafi aku jika hari ini nanti dan seterusnya akan selalu merepotkan kamu."
Ada Kesedihan Stephanie lihat dari air muka Maruna, sosok yang terlihat kuat padahal aslinya dia rapuh.
"Aaaa kamu jangan gitu, kamu bisa anggap Mama ku seperti Mama mu kok!" Stephanie pun mendekat menempel pada Maruna. "Aku jadi ingin nangis kan.... Aaaaa."
Stephanie pun menemani Maruna sampai larut malam, menyiapkan semua berkas lamarannya, menghabiskan banyak cerita, hingga hampir tengah malam akhirnya Stephanie pun berpamitan untuk kembali pulang.
•••
Pagi-pagi sekali seorang pembantu dari kediaman Langit sudah naik naik ke kamar penginapan Maruna, Maruna yang baru selesai mandi sedang memakai pakaian pun bergegas membukakan pintu yang diketuk-ketuk.
“Ehhh—”
Maruna terkesiap, ucapan melayaninya sampai sembuh itu benar adanya, beberapa tempatmakanan di tenteng sang pembantu beserta beberapa bungkus kebutuhan lainnya.
“Mbak Marun, saya Dian, saya masuk ya!”
Maruna mengangguk samar, mempersilahkan pembantu itu masuk, “Mbak Runa gimana keadaannya?” wanita itu meletakkan barang-barangnya keatas meja.
“Sudah mendingan sih mbak, bu.”
“Panggil saya mbak saja!” Pembantu itu berinisiatif.
“Eh iyaa, Mbak Dian kan? saya sudah mendingan kok, ya ampun itubawa apa kok banyak banget…?” Maruna Menelik ke atas meja.
“Sarapannya Mbak Maruna, sekalian nanti yang di susuan rantang untuk makan siang, malam-nya entar sore saya datang lagi.”
“Mbak Diann! Ih… ini terakhir ya, saya sudah sembuh loh!”
Pembantu itu melihat wajah Runa yang masih sedikir pucat, “Wajahnya saja masih pucat gitu, lagi pula, Pak Langit atau Mas Marcel belum kasih perintah apapun, entar saya di marahi Mbak gimana dong!”
Seketika Maruna melirik pada mangkuk sarapan bertutup kacaitu, “Sarapannya apa itu Mbak Dian?”
“Itu sama dengan sarapannya Pak Langit, Granola panggang, pure buah-buahan sedikit taburan potongan buah kering di atasnya. “ Jelas Dian.
Maruna menelan ludah, bukan karena tidak sabar memakannya, sebab dia tidak biasa memakan makanan seperti itu.
“Ah iya terimakasih ya, oh ya besok jangan anter makanan lagi ya, saya mungkin tidak ada disini.”
Dian menatap Maruna serius, “Mbak Maruna mau kemana? Kata Pak Dokter belum boleh terlalu banyak aktivitas kan, itu kemarin Mbak muntahnya udah darah loh, masih perlu di observasi atau apasih saya tidak paham kalimatnya.”
Maruna, perlahan membuka mangkuk kaca sarapannya itu, “Saya nggaknakan beraktivitas berat kok, hanya ingin keliling kota ini sekalian cari pekerjaan.”
Dian menatap miris pada Maruna, “Mbak, tapi mbak itu belum sehat,di tunda saja dong Mbak, ya ampun… saya kalau lihat beginian suka tidak tega. Saya ingat keluarga atau adik-adik saya di perantauan, sendirian, tidak ada keluarga, kalautidak bekerja ya tidak bisa bayar kontrakan dan makan.”
Maruna mengulas senyuman, “Ah iya mbak Dian tahu itu, mungkinpun saya seperti itu.”
Walau nyatanya tidak, Maruna jauh lebih baik, tabungannya masih cukup walau dia setahun tidak bekerja, apa lagi pemberian sang mertua.
“Mama… “ Maruna menahan tawa, sudah dua hari dia tidak memberi kabar kepada sang mertua, sebab ponselnya rusak, entah seperti apa khawatirnya orang tua itu saat ini mencarinya.
•••
Siang hari Maruna merasa dirinya jauh lebih baik,dan dia pun sudah beberapa kali meminum obatnya, sepulang Mbak Dian kembali kekediaman Langit, Maruna memutuskan turundari tempatnya menginap.
Ia ingin berkeliling di seputaran tempat tinggalnya yang memang merupakan di bagian tengah kota, di kelilingi beberapa pusat perbelanjaan, tempat hiburan, juga perhotelan.
Ini adalah kawasan Nagoya, sebuah tempat yang begitu ramai dan sangat sibuk, tidak kenal siang atau malam, tempat ini selalu saja ramai oleh penduduk lokal maupun wisatawan negara dari tetangga untuk berlibur atau berbelanj. Ya,katanya tempat ini surganya Shopping dengan harga yang lumayan miring.
Melewati jalur perjalanan kaki dan membawa sebuah peta wisatawan yang ia temukan di kamarnya, Maruna memulai berkeliling disana, melihat pada gedung-gedung tinggi, deretan toko-toko penjualan tas berbagai macam fashion branded hingga barang KW.
Hari lumayan panas dan terik, hingga Maruna pun memutuskan berhenti di sebuah Mall disana, sepertinya tempat ini yang paling dekat, tidak ragu Maruna pun memutuskan segera masuk kedalam mungkin saja menemukan beberapa barang yang ia butuhkan seperti ponselnya.
Namanya Mall tidak ada bedanya dengan yang lain, ia pun segera mengunjungi sebuah outlet ponsel dengan logo brand ternama yang saat ia masuk sudah terlihat jelas olehnya disana.
Maruna mulai melirik-lirik, gawai dengan type terbaru dan yangpasti terbaik.
Pernah tidak merasa sendiri padahal di tempat yang ramai, mungkinitulah yang saat ini Maruna rasakan.
Ini bukan di luar negri namun untuk dia yang terbilang tidak pernah jauh dari lingkungan keluarganya walau hanya Bandung-Jakarta yang setiap minggu ia bisa datangi, ini cukup jauh baginya.
Hal-hal seperti ini membuatnya sering berkaca-kaca ingin menangis, rindu rasanya bersama keluarga, kedua orang tua dan sanak saudaranya.
Kini bahkan dia pergi tanpa orang tua dan sanak keluarganya tahu, apa lagi mengenai telah hancurnya rumah tangga yang ia bangun.
Lagi pula Maruna masih enggan menjelaskan, enggan membahas tentang apapun itu mengenai perpisahannya dengan Kandra yang dia yakin akan menjadi pembahasan besar di keluarganya, jika tahu ini semua.
Maruna tengah memilih sebuah gawai yang ada didepannya bersama seorang spg di tempat itu, seketika ia melihat kedepan.
Sial...
Ada Langit disana, bersama tiga orang lelaki berperawakan bule-bule tampak membahas sebuah barang berbentuk komputer datar terbaru disana.
Seperti yang pernah Marun lihat, rapih, klimis, pakaiannya jauh dari kata lusuh atau ada bekas lipatan, sudah di yakini aroma maskulinnya seperti apa, pasti seperti kamar miliknya yang tidak sengaja Maruna masuki.
Tempat ini memang terkenal, tidak mustahil mereka bertemu, Maruna tahu itu walaupun dia pendatang, ya....dia tidak harus bersikap apapun hanya perlu bersikap biasa saja seolah tidak mengenal karena memang tidak mengenal. Dia cukup memilih, membayar lalu pergi.
Sebuah benda berwarna silver dengan type terbaru menjadi pilihan Marun, ia pun meminta pembayarannya di proses cepat enggan berpas-pasan dengan Langit.
“Hey!” Seseorang memukul pundak Maruna yang terus menunduk. Hanya sekilas melihat Maruna sudah lihat itu adalah Marcel.
“Hemm, Marcel… kau disini?” Maruna berpura-pura tidak tahu, walau secara logika sudah jelas ada Langit pasti ada dia.
“Kau kenapa disini?” Tanya Marcel kembali.
“Beli Cilok! Pakai ditanya lagi!” Ketus Maruna.
“Bagaimana keadaanmu, bukannya kata Dokter kau tidak boleh kemana-mana, kemarin muntah darah dan lambung mu mengalami iritasi?”
"Cel?"
Tiba-tiba tampak Langit mencari Marcel, Maruna dan Langit pun tidak sengaja saling melihat membuat Langit terkesiap Maruna ada disana.
“Tuh, Bos Kamu panggil, urusi saja bayi besar kamu itu bukan aku!”
Marcel pun terbahak-bahak, “Bayi besar! Aku datang!” Marcel pun menghampiriLangit, membuat Maruna berlalu kesisi lain pula.
Maruna kembali menunggu proses p********n belanjaannya, menatap pada etalase gawai-gawai disana, sesekali melihat ke sisi luar keramaian orang-orang disana.
“AWWW!!” Tiba-tiba saja cekalan kuat terasa menyakiti lengan Maruna, membuat wanita itu mengaduh sakit Mata Maruna lalu membola ternyata pelakunya ada Langit.
“Kau sudah bosan hidup?” ucap laki-laki itu.
“Kau sakit Jiwa? Kenapa kau menarik tangan ku! Lepas!” Hempas Maruna tangan Langit yang memegang erat itu,
“Kau lihat!” Langit menaikan ponsel miliknya memperlihatkan tampilan layar denga tulisan Dokter Hanung. “Kalau mau mati cari tempat lain jangan di rumahku sebagai tempatnya, dia menghubungi ku, dia akan memeriksa keadaanmu disana karena muntah darahmh kemarin. Menurutnya bisa saja ada masalah lain di lambungmu! Aku sudah meminta orang-orang disana membawanya ke tempat mu dan bagaimana bisa kau ada disini, kau sangat menyusahkan!” langitmenggeleng.
Tatapan Maruna sengit, “Biasa aja kali! Nggak pakai nyolot lalu tarik-tarik juga!”
“Kau siapa? Aku tidak tahu kau siapa? Tapi dari kemarin pagi,siang, sore, malam sampai ke siang ini, masih saja ada pekerjaanku yang terganggu kerenamu! Benar-benar memuakkan!”
Deghh....
Sakit sekali di katakan memuakkan, sungguh semua lelaki itu sama saja ya, berengseknya, Maruna sedikit tersayat, orang yang ia tidak kenalpun mengucapkan itu untuknya.
“Memuakkan? Memuakkan katamu, kau fikir aku tidak muak melihatmu! Kesombongan mu! Kau fikir kau siapa? Kau siapa berani sekali mengurusiku, aku pun mati pilih-pilih tempat,sangat tidak sudi mati di tempat sialanmu itu.”
“Terserah, ayo kembali ketempatmu! Kau sedang di tunggu disana!”Langit lalu menarik paksa Maruna.
“Lepaskan! Tadi pagi Dian ketempatku, dia tidak mengatakan apapun!”
“Mana aku tahu, kau fikir aku mau dihubungi untuk keperluan mu!”
Maruna mengulas senyuman pedihnya, setiap kata apapun yang menjurus kepada mengecam atau mengasarinya ia cepat sekali terbawa perasaan dan merasakansakit, setrauma itu dia sejak perpisahannya dengan Kandra.
“Lepas…!” Teriak Marun, “Kau dengar baik-baik Bapak Langit yang terhormat! Sekarang atau kapanpun, apapun lagi yang terjadi padaku di luar tempat tinggalmu bukan urusan mu lagi. Entah aku mati, kritis atau apalah, aku bisa mengurus diriku sendiri, kembali ke tempat mu, aku tidak butuh apapun darimu, kau bukan siapa-siapa dan tidak harus menjadi apa-apa dalam urusan hidupku, kau ingat itu!” Maruna menepis kasar, membuat tangan Langit terlepas dan ia pun berlalu.
Langit menarik nafasnya kesal menatap pada punggung Maruna yang berlalu.
Bukan 1 kali atau dua kali Dokter Hanung menghubungi Langit namun berpuluh kali, sebab harusnya Maruna tidak pergi tapi di rawat di rumah sakit lalu melakukan pemeriksaan yang lebih detail dan di rawat intensif. Kini Langit merasa sangat terbebani oleh dokter keluarganya itu yang mencari Maruna dan secara profesional sangat bertanggungjawab kepada pasiennya atau yang berkaitan dengan keluarga Rainadjaya.
“MARCEL ANGKAT PAKSA WANITA ITU!” Pekik Langit dengan nafasnya yang memburu dan tatapan kesalnya pada Maruna yang melangkah jauh.
“Stop! Jika kalian berani sentuh aku sedikit saja! Aku akan teriak, aku akan katakan kalian sedang melecehkanku! Menjauh Marcel! Menjauh kataku!” ancam Maruna menunjukwajah Marcel.
“Tidak! Aku tidak melakukan apapun!” Marcel mengangkat tanganya. “Tenanglah!”
“MARCEL! Kenapa kau takut?” Langit menghela nafasnya berat. “Lakukan tugas mu!"
“Anda berani bos? Kenapa tidak anda saja!” Marcel mengusap kepalanya terkekeh pada sepupunya itu, gila saja diteriakin pelecehan setelah itu dia akan di gebukin satu Mall. “Silahkan Bos! Aku mau pipis!”
“Marcel! Sialan!”
Seseorang tampak memberikan sebuah paper bag pada Maruna, membuat Maruna lengah saat mengambil paper bag ponselnya itu. Kemudian tanpa menunggu Langit pun mendekat lalu mengangkat tubuh kecil Maruna seketika ala-ala bridal style dan mebawanya pergi dari sana.
“HEY APA-APAAN INI? BERENGSEK TURUNKAN AKU, TURUNKAN AKU!”
“Ayo bang lakukan! Semangat!!” teriak Marcel sebelum menghilang dari pandangan Langit.