Di dalam bathtub, air yang tadinya hangat semakin lama semakin naik, perlahan-lahan membanjiri d**a Seira, membuat jantungnya berdegup lebih cepat dari sebelumnya. Air yang semula memberi rasa nyaman kini berubah menjadi ancaman yang memicu rasa cemas di benaknya. Seira merasakan detik-detik berlalu dengan lambat, seakan waktu berkonspirasi untuk menahan napasnya lebih lama di bawah permukaan air.
“Tahan dirimu, Ervan, tahan....”
Di sudut lain bathtub, Ervan mencoba bertahan dalam situasi yang semakin membuatnya tenggelam dalam ketegangan. Air dingin mulai meresap ke seluruh tubuhnya, menciptakan rasa dingin yang tiba-tiba menusuk hingga ke tulang. Setiap gerakan yang ia lakukan terasa berat, seolah air yang mengelilinginya ikut menekan tubuhnya dengan beban yang tak tertahankan. Ia merasakan mulutnya penuh dengan air dingin yang membuatnya ingin segera menarik napas, namun sesuatu dalam dirinya menahan, seolah mencoba untuk bertahan di tengah badai emosi yang berkecamuk di dalam hatinya.
“Kamu adalah manusia yang punya moral, jangan lakukan ini.”
Dia menggelengkan kepala, mencoba mengusir rasa pusing yang mulai menghantuinya. Dengan sisa tenaga yang ada, Ervan melepaskan genggamannya dari dinding bathtub, merasa semakin lemah dan tak berdaya. Dia menyandarkan dirinya di dinding di belakang Seira, mencari sedikit dukungan dari sesuatu yang padat di tengah perasaan hampa yang semakin merasuki dirinya. Nafasnya kini berat, hampir terengah-engah, seakan paru-parunya menolak untuk bekerja dengan normal. Matanya yang merah dipenuhi dengan air mata yang belum sempat jatuh, sementara keringat yang membanjiri keningnya membuat rambut panjangnya yang berantakan menempel di wajahnya, menambah kesan putus asa yang tak tertahankan.
Dalam sekejap, Seira merasakan sesuatu yang berbeda. Seolah tertarik oleh aura keputusasaan yang memancar dari Ervan, dia mengulurkan tangannya, mencoba menyibakkan rambut dari kening pria itu. Ada sesuatu dalam dirinya yang memaksa untuk menyentuh, untuk merasakan, seakan menyentuh Ervan bisa mengubah sesuatu yang tak terlihat dalam dirinya. Tatapannya yang kabur dan berkabut memperlihatkan campuran rasa penasaran dan ketertarikan yang mendalam. Siapa dia sebenarnya? Kenapa pria ini, yang baru saja muncul dalam hidupnya, bisa mengguncang dunia kecil yang sudah ia kenal dengan baik?
Seira menatap pria di depannya dengan pandangan yang lebih dalam, lebih penuh dengan keingintahuan yang hampir menyesakkan. Dalam keheningan yang membeku, dia menyadari bahwa pria ini bukan hanya tampan, tapi ada sesuatu yang lebih, sesuatu yang tak bisa ia deskripsikan dengan kata-kata. Wajahnya yang tampan dan ekspresinya yang penuh kesakitan membuatnya semakin tak bisa berpaling. Seperti terhipnotis, matanya beralih dari mata Ervan yang dalam dan penuh teka-teki, ke bibirnya yang terlihat begitu menggoda, dan akhirnya ke jakunnya yang bergerak perlahan saat pria itu menelan air liurnya dengan sulit.
Dengan perasaan yang tak bisa ia jelaskan, Seira mengulurkan tangannya, dengan perlahan dan hati-hati, menyentuh jakun Ervan. Sentuhan itu seakan memberikan kejutan listrik, membuat tubuhnya merespons dengan sensasi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dia maju sedikit, tubuhnya mendekat dengan Ervan, niat untuk mencium pria itu semakin kuat. Namun, tepat saat bibirnya hampir menyentuh kulitnya, Ervan menangkap tangannya dengan cepat, dorongan tiba-tiba yang membuat Seira terhuyung sedikit ke samping.
“Seira, hentikan ... sadarlah!”
Mata Ervan menatap Seira dengan campuran emosi yang tak terdefinisikan. Keinginan untuk menyatukan diri dengan Seira begitu kuat, hampir tak tertahankan, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang menahannya. Dia tahu, dalam kondisi tubuhnya yang hampir meledak karena nafsu, satu sentuhan lagi mungkin akan membuatnya kehilangan kendali sepenuhnya. Bagian bawah tubuhnya sudah begitu sakit, membengkak dengan rasa yang sulit dijelaskan, mendesaknya untuk segera menemukan pelampiasan. Tapi, ada sesuatu yang lebih kuat dari nafsu yang menahannya.
“Jangan Ervan ... jangan. Tahan diri ... tahan....”
Ervan menatap dalam mata Seira, menyadari sesuatu yang membuat hatinya hancur. Gadis ini, seindah apapun dia, masih begitu murni. Dia belum berpengalaman, dan cara dia mencoba untuk mencium tadi menunjukkan betapa dia menjaga kesuciannya dengan begitu ketat. Perasaan itu menyengat dalam hati Ervan, menciptakan perasaan bersalah yang tiba-tiba menghantamnya. Bukan gaya Ervan untuk mengambil keuntungan dari orang yang lemah, apalagi seseorang yang begitu tidak berdaya seperti Seira saat ini.
Dengan perjuangan yang hebat, Ervan mengumpulkan sisa-sisa rasionalitasnya yang hampir hilang sepenuhnya. Tangannya bergerak dengan cepat namun lembut, memukul bagian belakang leher Seira dengan keahlian yang hanya dimiliki oleh seseorang yang pernah dilatih untuk melindungi. Seira tidak punya kesempatan untuk bereaksi, dan dia pingsan dengan diam, seperti bintang jatuh yang tiba-tiba kehilangan cahayanya di langit malam.
Ervan menghela napas panjang, mencoba meredakan detak jantungnya yang begitu cepat. Dalam kesunyian yang mendadak, dia mengangkat Seira dari air dengan hati-hati, seolah takut dia akan hancur jika disentuh terlalu keras. Dia membaringkannya di tempat tidur, membungkusnya dengan selimut, memberikan kehangatan yang dibutuhkan gadis itu setelah tubuhnya hampir beku di dalam bathtub. Tapi Ervan tahu dia tidak bisa tinggal di sana lebih lama lagi.
“Sial!”
Dia berlari cepat ke kamar mandi, tubuhnya yang kaku kembali menyentuh air dingin di bathtub. Air yang dulu terasa dingin kini terasa seperti jarum yang menusuk, tapi dia tetap berendam, mencoba menenangkan badai yang berkecamuk di dalam dirinya. Malam itu terasa begitu panjang, penuh dengan penyiksaan yang tidak hanya dirasakan oleh tubuh, tapi juga oleh hati yang bergejolak.
Ketika Seira terbangun, hari sudah berganti, dan jam di kamar menunjukkan pukul enam pagi. Di mana dia? Pertanyaan itu terus berulang dalam benaknya yang masih kacau. Dia duduk, mencoba menggelengkan kepala untuk mengusir kebingungan yang masih menyelimuti pikirannya. Ingatan-ingatan tentang malam sebelumnya mulai membanjiri pikirannya, satu per satu, seperti potongan-potongan teka-teki yang perlahan-lahan mulai membentuk gambar yang utuh.
'Ya Allah, apa yang sudah aku lakukan?!' Pikiran itu berteriak di dalam kepalanya. 'Apa aku benar-benar kehilangan keperawananku?!' Tangannya gemetar saat dia mengangkat selimut, memperhatikan tubuhnya dengan perasaan takut yang mendalam. Pakaiannya... semuanya hilang. Dia telanjang bulat di bawah selimut yang tebal itu, dan kenyataan itu menghantamnya seperti gelombang pasang yang tak terduga.
Rasa malu yang mendalam mulai merayap di dalam dirinya, membuatnya ingin bersembunyi dari dunia, ingin melarikan diri dari kenyataan yang begitu kejam. Dengan perasaan yang campur aduk antara ketakutan, malu, dan penyesalan, dia berusaha untuk tidak mengingat detail apapun dari apa yang terjadi tadi malam. Ingatan-ingatan itu terlalu menyakitkan untuk dihadapi.
Seira mulai melihat sekeliling kamar dengan cemas. Di mana Ervan? Apakah dia masih di sini? Apakah dia menyaksikan semua ini? Dengan hati yang penuh kegelisahan, Seira turun dari tempat tidur, tubuhnya masih dibungkus selimut yang terasa dingin di kulitnya. Dia melangkah pelan, setiap langkah terasa berat, seolah dunia ini tidak lagi berpihak padanya.
‘Apa Mas Ervan ....’ pikiran Seira terputus.
Saat itulah dia melihat Ervan, terkulai di sofa dengan wajah yang terlihat begitu muram. Rambutnya yang panjang masih menutupi sebagian besar wajahnya, memberikan kesan pria yang tenggelam dalam dunia kelamnya sendiri. Seira merasakan dorongan kuat untuk mendekatinya, mungkin untuk berbicara, untuk mencari penjelasan, tapi dia ragu. Akhirnya, setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, dia memutuskan untuk tidak membangunkannya.
Dengan hati yang berat, Seira mengenakan pakaiannya dari kemarin, merasakan perasaan bersalah yang tak tertahankan. Dia bergerak diam-diam, hampir tidak bersuara, dan meninggalkan hotel dengan langkah yang cepat namun goyah. Yang tidak dia ketahui adalah bahwa begitu dia melangkah keluar dari kamar, Ervan membuka matanya, menatap pintu yang perlahan tertutup di belakangnya.
***
Seira pulang ke rumah dengan pikiran yang kacau balau. Setiap sudut rumah terasa begitu kosong, mencerminkan kekosongan yang ia rasakan di dalam hatinya. Ketika dia duduk di sofa, bayangan ayahnya yang masih terbaring di rumah sakit kembali menghantui pikirannya. Perasaan tak berdaya dan putus asa membuat tubuhnya terasa lemas, seakan semua tenaga dihisap keluar oleh situasi yang begitu rumit.
Di tengah lautan perasaan itu, ponselnya tiba-tiba bergetar, memecah keheningan yang begitu menyakitkan. Dia meraih ponsel dengan tangan yang masih gemetar. Sebuah pesan teks masuk, membuatnya sejenak teralihkan dari perasaan kacau yang merasukinya. Saat melihat nama pengirim pesan itu, dadanya terasa semakin sesak. Itu dari Reygan! Seira membuka pesan itu dengan perasaan campur aduk antara harapan dan kecemasan yang begitu mendalam.
Namun, saat dia melihat isi pesan itu, harapannya langsung hancur. Apa yang dia lihat hanyalah angka yang begitu kecil, hampir tak masuk akal: seratus ribu?!
Kepalanya seakan berputar. "Gila, seratus ribu?!" batinnya berteriak tak percaya. Seolah tubuhnya bergerak dengan sendirinya, Seira langsung menekan nomor Reygan, tak peduli lagi dengan apapun yang akan terjadi. Dia menempelkan ponsel di telinganya, menunggu dengan napas tertahan, hingga suara di ujung telepon menjawab.
“Reygan!” Seira langsung berteriak, suaranya penuh dengan kemarahan dan rasa dikhianati. “Maksud kamu apa?! Aku udah ngelakuin apa yang kamu minta. Kamu mau ingkar janji? Kenapa kamu main-main sama aku?!”
Namun, bukannya Reygan yang menjawab, suara lain yang muncul di ujung telepon, dingin dan penuh dengan ejekan. Itu suara Anggun, salah satu teman dekat Reygan. “Seira, kamu beneran pikir kamu layak dapat seratus juta? Karena uang kamu jadi jalang yang menjajakan diri ke om-om nggak dikenal? Kamu murahan dan mengangkang untuk sembarang laki-laki, bahkan sangat bernafsu. Seratus ribu semalam udah cukup buat orang kayak kamu!”
Kata-kata itu seperti pisau yang menancap langsung di hatinya. Seira tak mampu berkata apa-apa lagi saat telepon di ujung sana dimatikan dengan kasar. Suara "tut!" yang keras itu seakan menjadi tanda betapa tidak berharganya dia di mata mereka. Telepon terlepas dari genggamannya, jatuh ke lantai tanpa perlawanan.
Seira menatap kosong ke depan, air mata yang sejak tadi ia tahan mulai mengalir deras tanpa bisa dihentikan. Segala rasa sakit, malu, dan kehancuran yang ia rasakan malam itu akhirnya meledak keluar. Tangannya menutupi wajahnya, mencoba menahan tangis yang semakin keras. Namun, tangisan itu tak bisa ia hentikan, keluar begitu saja, memenuhi ruangan yang sunyi dengan suara penuh kepedihan.
“Nggak ... nggak ... gimana ini?”
Hatinya benar-benar hancur. Segala usaha dan pengorbanan yang ia lakukan semalam untuk menyelamatkan ayahnya ternyata sia-sia. Dia sudah benar-benar terperosok, dan sekarang, tak ada lagi yang tersisa. Bahkan martabatnya sebagai seorang wanita kini hilang, diambil begitu saja oleh orang-orang yang mempermainkannya dengan kejam.
“Ayah ... sekarang Seira harus gimana, Yah?”
-TBC-