Dua malam, Naya, Aim, dan Uma harus begadang menjaga panci di atas kasur. Pasalnya, mereka tak bisa tidur tenang ketika aliran bak air terjun dari genteng, kian malam kian deras. Seiring dengan derasnya air hujan di luar sana.
"Ibuk, jadi ke Pak Somad? Kayaknya gentengnya udah bukan pecah lagi, Buk. Tapi berlobang. Siang juga kadang mendung, kadang panas. Aim sama Uma sampe capek bolak-balik angkut kasur, takut kehujanan."
Ya. Jika hari sebelumnya hujan, maka pekerjaan keesokan harinya bertambah. Menjemur kasur, buku, baju, dan segala barang yang basah, gara-gara terkena bocor.
"Nanti, Ibuk pagi-pagi coba mampir, ya? Kita tanya dulu berapa. Sisa uang Ibuk cuma 100 ribu, udah kemarin bayar pesantren kilat Aim."
Naya tersenyum teduh. Tak ingin anak-anaknya yang sedang menikmati nasi goreng gila sisa kemarin, menduga jika Naya menyayangkan uang yang telah ia keluarkan untuk pendidikan anak-anaknya.
Segalanya akan Naya usahakan, agar Aim dan Uma mendapat kesempatan belajar di tempat terbaik.
Menjadi orang yang lebih hebat dari Naya dan almarhum suami.
Menjadi kebanggaan umat.
Anak sholeh dan sholehah, tabungan kebaikan Naya dan suami kelak di akhirat.
"Aim aja yang naik, Ibuk. Aim bisa, kok. Jadi kita bisa tabung 100 ribunya sampai Ibuk gajian lagi."
Naya menggeleng. Naya tak butuh menabung uang banyak-banyak. Asalkan mereka bisa makan tiap hari, tidur nyenyak, anak-anak bisa bersekolah, Naya tak butuh apapun lagi.
"Aim Uma nanti temenin Ibuk aja, ya? Semoga Pak Somad bisa bantu."
---------
"Banyak nggak lubangnya?"
"Lumayan, Pak. Ada 10 titik tetes-tetes kemarin."
Pak Somad membelalak kaget. "Sebanyak itu? Itu harus dibongkar semua, Mbak Naya. Satu titik belum tentu satu genteng. Bisa dua atau tiga."
Naya menggeleng. Ia menutupi kesedihan yang hadir di hatinya tiba-tiba. Naya tak punya jumlah genteng sebanyak yang Pak Somad sebutkan.
"Tolong seadanya aja, Pak. Saya ada 36, kemarin beli."
Pak Somad menghela napas. Bagai seorang tukang bangunan profesional, Pak Somad langsung mengambil pena, mencoret-coret sebentar, lantas memberi kertas kecil tersebut ke tangan Naya. Naya pikir mereka hanya butuh genteng saja. Ini kenapa sampai harus membeli cat pelapis anti bocor? Mana harganya 47 ribu pula. Belum tulisan karpet pelapis genteng yang bersimbol tanda tanya. Pak Somad mungkin lupa harganya.
"Beli ini sekalian ya, kalo gitu. Yang 1 kg aja dulu. Nanti kabari saya kalo udah beli. Hari Minggu saya kerjain."
Naya mengangguk ragu.
"Kalau jasa pasangnya berapa, Pak?"
"Jasa pasang sama uang rokok udah 100 ribu aja Mbak, nggak apa-apa."
"Emang Pak Somad nggak puasa? Kok, ngerokok?" celetuk Aim cepat. Sampai-sampai Naya terlambat menutup mulut anak lelakinya.
Pak Somad menggaruk canggung. "Kan, saya buka puasanya pake rokok, Im."
Kini giliran Uma yang tak kalah membuat ibuknya makin tak enak dengan Pak Somad.
"Bukannya berbuka itu harus dengan yang manis, ya, Buk?" tarik Uma di tunik hitam yang Naya pakai. "Emang rokok rasanya manis, ya, Pak?"
Naya menunduk, memberi hormat untuk segera pamit menggandeng dua anak pintarnya menjauh. Meninggalkan Pak Somad yang menggeleng pasrah dikritik dua bocah.
-------------------------
Telah menjadi kebiasaan bagi Laksa dan Bu Sukma sarapan roti tawar dengan berbagai selai tersedia di atas meja sejak Bapak Latif masih hidup. Begitu pula masih berjalan selama delapan bulan ini, Naya bekerja di rumah mewah itu.
Selama Ramadhan, Bu Sukma masih menerima masakan sederhana yang Rustini hidangkan untuknya sebagai menu sahur. Rustini menjadi satu dari tiga asisten rumah tangga yang menginap di rumah Bu Sukma. Namun, ia adalah perempuan satu-satunya. Dua lainnya adalah seorang satpam dan seorang tukang kebun yang merangkap tugas sebagai partner satpam berjaga malam.
Berbeda dengan Bu Sukma, Laksa masih rutin sarapan di jam tujuh tepat. Dua tangkup roti isi selai strawberry, juga segelas s**u, mengawali kegiatan pagi sang tuan muda sebelum mendengar laporan karyawan sales penjualan lima titik perumahan.
"Mbak, tolong nanti ceklekin nasinya aja dulu. Sama bantu irisin bumbu. Siangin sayurannya. Maaf banget rumah saya udah basah terus kehujanan. Alhamdulillah Ibu Sukma sudah bolehin."
Rustini menghela napas berat. Mau tak mau ia harus saling membantu sebagai sesama asisten rumah tangga. Ia ingin sekali mengurangi kerepotan kawan jandanya ini, tetapi bagaimana? Laksa tak ingin memakan masakan selain yang Naya masak. Tuan muda itu berkata bahwa lidahnya sudah terlalu cocok dengan bumbu takaran Naya.
"Yo. Tapi cepet! Aku nggak mau disemprot sama Tuan gara-gara makan siangnya telat lagi."
"Iya, Mbak. Satu jam aja. InsyaAllah."
"Yo wis." Senyum semringah Naya terbit seiring ia mulai berlari ke rumah, yang berjarak sekitar 10 menit jalan kaki.
Naya memutuskan untuk memanjat sendiri, mengesampingkan ketakutan ketinggian yang ia punya, demi berhemat.
Ini, sih, bukan berhemat lagi, tetapi karena uang Naya tak cukup. Ia lebih memilih mempergunakan sisa uang untuk membeli cat waterproof yang Pak Somad sarankan. Berbekal pinjaman tangga dari tetangga kontrakan, Naya naik dengan tangan Aim membantu memegangi tangga.
"Hati-hati, Ibuk!" teriak Uma.
Ibuk satu ini tidak habis akal. Ia telah mengikatkan seutas tali yang terhubung dengan kaleng cat di bawah. Saat ia tiba di atas, ia akan menarik perlahan kaleng cat tersebut. Naya tak mau mengambil risiko, menjinjingnya ketika naik tangga.
Hal yang sama ia lakukan dengan genteng yang Aim masukkan ke dalam ember, sebagai transportasi naik-turun.
"Kamar dulu, Ibuk!" teriak mandor kecil di bawah.
Tak cukup cekatan, Naya mengganti genteng satu per satu. Benar kata Pak Somad. Bahkan di satu titik pun, Naya sudah mengganti 4 genteng sekaligus.
Satu resep agar Naya tak pusing tiba-tiba di atas, adalah jangan melihat ke bawah. Saat debaran melanda, Naya menengadah kepalanya melihat hamparan langit tertutup kabut abu. Sebentar lagi, mau hujan lagi.
Sepertinya satu jam terlewat cepat. Masih ada tiga titik di teras yang belum Naya sempat sentuh. Ia memutuskan menyudahi aktivitas, demi agar tak mengingkari janji pada Rustini. Naas, sepertinya ia akan ingkar janji. Saat kakinya hampir berpijak di anak tangga ketiga, Naya tergelincir. Ia jatuh ke tanah. Disusul tangga bambu yang turut menjatuhinya.
"Awww!!"
Inilah yang disebut sudah jatuh tertimpa tangga ... dalam artian sebenarnya.
"Ibukkk!"
Dua anak Naya yang sedang merapikan genteng rusak, berlari menghampiri sang Ibuk. Menyingkirkan tangga dari atas tubuh Naya.
"Kepala Ibuk berdarah!" tunjuk Uma dalam tangisan.
Naya tak ambil pusing. Ia memegang kepalanya. Hanya lecet dan sedikit robek. Pasti sembuh. Hanya satu hal yang Naya pikirkan sekarang.
Ia tak bisa bangun dari jatuhnya.
-------------