Bab 1

2398 Words
Savanah Azzura masih berdiri di belakang meja kasir dengan satu pengunjung di depannya ketika pintu toko terbuka dan menampakkan beberapa pemuda tanggung memasuki toko. Sepertinya anak kuliahan. Terbukti dengan ransel yang menggantung di bahu mereka masing-masing. Itu tidak masalah baginya, pemandangan biasa. Yang menjadi masalah adalah betapa berisiknya mereka ditambah beberapa pengunjung perempuan yang saling berbisik sambil menatap ke arah segerombolan pemuda itu. Sana menghela napas lelah. Pemandangan biasa tapi kadang juga mengganggu, pikirnya. "Mbak, tau di mana letak buku hukum tata negara nggak?" Sana mengerjapkan matanya beberapa kali mendengar pertanyaan itu. Karena sungguh ia tidak tau di mana letak buku yang dimaksud. Bukan tugasnya untuk menyusun buku, itu tugas karyawan lain. Tugasnya di belakang mesin kasir. "Maaf, Mas, saya nggak tau. Mungkin Mas bisa tanya sama petugas yang di sana." Sana menunjuk seorang karyawan yang berdiri di dekat rak buku. "Kok Mbak nggak tau sih, kan Mbak kerja di sini!" Pengunjung yang merupakan salah satu dari pemuda kuliahan berisik itu memprotes. "Maaf, Mas, tapi saya memang nggak tau. Tugas saya di sini bukan nyusun buku jadi nggak tau." Sana masih mencoba ramah meskipun dalam hati gadis dua puluh tahun itu ingin sekali mencakar wajah tampan pemuda di depannya. "Tapi kan..." "Sean!" Seruan itu menghentikan ucapan pemuda berambut gelap itu. Ia menoleh ke arah temannya yang memanggil. Sana mengawasi mereka. Pemuda bernama Sean yang tadi bicara dengannya itu terlihat lebih dewasa dari temannya yang memanggilnya. Pemuda yang tidak Sana ketahui namanya itu kelihatan lebih imut. "Gue udah nemu bukunya. Berenti deh lu godain Mbak kasirnya." Sean meringis. "Sorry, Joe. Mbak kasirnya cantik sih hehe." "Ck buang-buang waktu lu, nggak penting!" Pemuda imut itu berjalan menuju kasir. Sana bersiap dengan senyum ramahnya. Semenyebalkan apa pun mereka tetap pembeli. Dan bukankah pembeli adalah raja, jadi ia harus bersikap seramah mungkin pada mereka. "Maafin temen gue, Mbak. Sean emang kayak gitu, nggak bisa liat cewek cakep." Pemuda itu tersenyum. "Mbak Sana," desisnya. "Eh?" Sana kaget. Dari mana pemuda itu tahu namanya. "Dari name tag lu, Mbak," ucap pemuda itu, seolah ia tahu yang dipikirkan Sana. Pemuda imut itu tertawa pelan sambil menunjuk nama pengenal di d**a kiri Sana. Cepat gadis itu menutupi dadanya dengan kedua tangan. Pemuda itu makin terkekeh. Gadis di depannya lucu, itu menurutnya. "Gue Joe. Temen gue yang godain lu tadi namanya Sean." Joe meletakkan buku yang tadi dibawanya di meja kasir. "Belanjaan gue." Sana segera mendekatkan buku ke mesin kasir kemudian menyebutkan harga. Berharap pemuda-pemuda itu segera berlalu setelah membayar bukunya. "Senang kenal sama lu, Mbak Sana." Joe tersenyum manis sambil menjauh. "Ehm!" Deheman yang lumayan kencang itu menginterupsi Sana dari keterpanaannya pada senyum Joe. Gadis itu menatap Hana, temannya, yang mendekat ke arahnya. "Apa?" tanya Sana bingung melihat senyum jahil bertengger manis di bibir sexy Hana. "Ciee ciee." Hana menyenggol pelan lengan Sana membuat gadis itu semakin mengernyit bingung. "Fans lu nambah lagi, San." Hana terkikik. "Maksudnya?" Kening Sana makin mengkerut. "Tu tadi. Nambah langsung dua lagi." Sana melotot. "Apaan sih? Gaje." Sana cemberut membuat Hana mencubit pipi tembem gadis berambut panjang itu. "Cute banget sih," ucapnya gemas. "Hana, apaan sih. Lepasin!" Sana menjauhkan tangan Hana dari pipinya. "Sakit tau!" Gadis itu mengusap pipinya yang memerah karena cubitan Hana. Sementara Hana hanya terkekeh sambil berjalan kembali ke counternya. Rasanya menyenangkan bisa menggoda sahabatnya yang cantik itu. Ingin ia berlama-lama menggoda Sana tapi takut ketahuan manager mereka. Berbincang saat jam kerja bukanlah hal yang disukai sang manager. . . . . . . . . . . . . . . "Lu udah kenalan sama Mbak itu, Joe?" Jovan Wijaya mengernyit bingung mendengar pertanyaan itu. Ditatapnya temannya dengan mengangkat sebelah alis berusaha mengingat Mbak yang dimaksud Sean di sini, tetapi ia tidak menemukan siapa pun yang menjadi tersangka. "Maksud lu?" Joe mengaduk minumannya sambil kembali membolak-balik buku di depannya. "Itu, si Mbak yang di toko buku. Yang tempo hari gue gangguin." Sean cengengesan. "Masa lu lupa sih?" Kening joe berkerut tajam. Ia masih belum connect, masih fokus ke buku bacaannya. "Yang mana?" Sean mendengus kesal. "Mbak kasir di toko buku kemaren." Joe manggut-manggut walau belum tahu siapa yang dimaksud Sean. "Yang pas kita beli buku hukum tatanegara..." "Ooh iya gue ingat!" sambar Joe cepat. Pasti Sana, pikir pemuda itu. "Kenapa emang?" "Lu udah kenalan belum?" "Yaaa kenapa emang kalo gue udah kenal atau belum?" "Ck!" "Kepo lu!" Joe terbahak. "Gue suka sama dia." Lamat-lamat Joe mendengarnya dan membuat tawanya berhenti. "Nggak boleh!" sentaknya cepat. "Sana milik gue."Joe melayangkan death glare gratis ke arah pemuda tampan di depannya. Sean melongo mengerjapkan mata bingung. "Maksud lu apaan?" tanya pemuda itu polos. Joe menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia kelepasan menyebut nama Sana. Sean kan tidak tahu. Ralat, masih belum tahu kalau nama gadis yang ditanyakannya tadi adalah Sana. "Pokoknya dia milik gue!" Joe kembali kesifat aslinya. "Lu jangan ganggu!" "Ya nggaklah! Ngapain gue ganggu cewek lu." Joe tersenyum. "Bagus. Jadi mulai sekarang lu jauhin dia dan buang jauh-jauh pikiran lu buat ngegebet dia." Sean manggut-manggut tanda mengerti. "Lu juga nggak boleh ke toko buku tanpa gue. Ntar yang ada lu godain dia lagi." Sean terkejut mendengar kalimat terakhir Joe. Apa maksud teman imutnya ini? Kenapa ia tidak boleh ke toko buku sendirian? Kan kalau berdua Joe jadi kurang asyik. Nanti yang ada rencananya untuk mendekati Mbak kasir cantik itu gagal lagi. Atau jangan-jangan gadis yang dimaksud Joe pacarnya adalah Mbak kasir itu? Sean menggeleng pelan. Tidak lucu kalau mereka memiliki gebetan yang sama. Ia pasti akan kalah. Gadis-gadis lebih memilih Joe daripada dirinya. Padahal ia juga ganteng, menurutnya. Tajir, juga. Tongkrongan Lamborghini. Joe apa coba, cuma motor doang. Emang ninja sih, tapi kan jauh lebih keren Lambh. Sean berdecak kesal. "Ngelamun jorok lu pasti." Kekehan Joe menyadarkan Sean dari pikirannya yang berkecamuk. Ditatapnya sahabatnya itu cepat. "Nggak!" Joe makin terbahak melihat wajah memerah Sean. "Awas mimisan," sambung Joe sambil melemparkan bola-bola tissue ke arah Sean. Tawanya masih belum berhenti. "Joe, s**t!" maki Sean kesal. Ditangkisnya bola-bola tissue gratis itu dengan buku di depan Joe. "Ogah gue ngelamun jorok, mending praktek langsung." Sean juga tertawa. Tanpa sadar kalau kelakuan mereka perang bola tissue menjadi pusat perhatian pengunjung cafe. "Lu perlu Melanie ntar malem." Joe masih terkekeh. "s**t! Gila lo, Joe. Bangun kan jadinya gue." Tawa Joe kembali pecah mendengar keluhan lirih itu. "Perasaan lu emang udah bangun dari tadi." "Damn!" Sean memaki kesekian kalinya. "Batalkan gue mau ngedate sama mbak kasir..." Ucapan Sean terhenti karena kepalanya kena timpukan sendok yang berasal dari Joe. "Joe! Apaan sih? Sakit bego!" Joe menatap Sean tajam. "Gue udah bilang kan sama lu tadi jauhin dia. Lu budeg apa?" Suara dingin itu mengagetkan Sean. Secepat itu emosi Joe berubah. Sean bergidik. Semua yang berteman dengan Joe kenal sifat pemuda itu, dan mereka tidak ingin mencari masalah dengannya kalau tidak ingin berakhir di rumah sakit. "Gue nggak deketin cewek lu, bro." "Terus ngapain lu mau ngedate sama dia?" Masih dingin. Sean melongo mendengarnya. Ia tadi tidak mengatakan akan berkencan dengan gadis Joe kan? Ia mau mengajak gebetannya. Atau jangan-jangan... Tidak, tidak boleh! Sean menggeleng lagi menepis pikirannya yang tadi. "Gue nggak ngajak cewek lu, bro." Sean membela diri. "Gue ngajak gebetan gue." Joe mendengus kasar. Dasar Sean telmi, makinya dalam hati. "Lu bilang tadi mau ngedate sama Mbak kasir yang lu goda tempo hari kan?" Sean mengangguk polos. "Dia milik gue!" Sean melotot. Nggak mungkin, batinnya. "Dia Sana. Milik gue!" Sean lemas di kursinya. Ternyata yang dikhawatirkannya jadi kenyataan. Gebetannya dan Joe sama, lagi. . . . . . . . . . . Rumah megah bergaya Eropa itu menjulang di tengah gelapnya malam. Tak ada yang berubah, pikir Joe. Memarkirkan motor di garasi, Joe segera memasuki rumah setelah itu. Pemuda sembilan belas tahun itu dikejutkan dengan suara baritone yang menegurnya di ruang tamu. "Selalu seperti ini!" Joe melanjutkan langkah, menghiraukan Tristan Wijaya, Abangnya yang menatapnya dengan tatapan membunuh. "Kapan kamu dewasa, Jovan Wijaya?" Pertanyaan mengguntur itu sukses membuat langkah Joe terhenti. Urung menaiki tangga, Joe membalas tatapan Tristan dengan tangan bersedekap. Tristan melangkah, mendekati Joe perlahan yang berdiri di ujung tangga. "Terus keluyuran tanpa tujuan hidup, kamu pikir ini yang orang tua kita mau?" Mata cokelat Joe memicing, menantang Tristan. Okey, mungkin dari segi tinggi Joe kalah. Tristan lebih tinggi darinya. Tubuh Tristan juga lebih besar dari tubuhnya yang terlihat lebih ramping. Tapi dari segi otak, mereka sebanding. "Kalo lu pikir gue cuma numpang hidup sama lu, lu salah!" Suara Joe bergetar menahan emosi. "Gue bakalan ganti semuanya kalo gue udah lulus! Gue nggak pernah bolos asal lu tau." Joe berbalik, bersiap menaiki tangga, dan kembali menoleh pada Tristan saat kakinya menginjak anak tangga kelima. "Otak kita sebanding, Bang! Jadi lu jangan khawatir, gue pasti lulus tepat waktu dengan nilai terbaik! Jadi lu nggak usah ikut campur urusan gue. Urusin aja kerjaan lu yang banyak itu!" Joe menghilang di tikungan di lantai atas. Meninggalkan Tristan yang masih menatap punggungnya sampai ia tak terlihat lagi. Pria muda itu mendengus kesal, memasuki ruang kerjanya yang berada di ruang keluarga. Tristan tertegun di depan pintu ruang kerja. Berbalik, matanya menangkap foto-foto yang terpajang rapi di dinding ruang keluarga. Foto-foto kebersamaan keluarganya, saat kedua orang tuanya dan Joe masih hidup. Tangan pria dua puluh tujuh tahun itu mengepal. Sungguh ia merindukan masa-masa itu. Masa-masa di mana semuanya baik-baik saja. Masa di mana masih Papa yang memimpin keluarga mereka, dan Mama yang menjadi pelindung mereka. Masa di mana Joe masih menjadi adik yang sangat manis. Entah kapan semua itu akan terulang. Sekarang semuanya berbeda. Joe yang manis dan manja berubah drastis sejak kecelakaan yang merenggut nyawa orang tua mereka. Joe menyalahkan dirinya sendiri karena menjadi korban selamat satu-satunya kecelakaan maut yang terjadi enam tahun yang lalu itu. Tak ada lagi adik manisnya yang penurut. Yang ada sekarang hanyalah adik yang selalu memberontak dan melawan apa pun perkataannya. Tidak tahu siapa yang harus disalahkan, dari hari ke hari hubungannya dengan Joe semakin renggang. Joe semakin menjauh dan tak terkendali. Sementara dirinya makin menyibukkan diri dengan pekerjaan. Lalu, semua ini salah siapa? Tristan memijit pelipis sebelum memasuki ruang kerja dan berkutat di sana sampai pagi. Ia perlu bekerja untuk melupakan perasaan ini. *** Ranjang berukuran king size itu melesak ke dalam ketika pemiliknya merebahkan tubuh dengan kasar. Joe mengepal, menampar udara kesal. Pertemuan dengan Tristan yang sangat jarang terjadi meskipun mereka tinggal dalam satu rumah yang sama membuat moodnya memburuk. Cukup Sean saja yang menghancurkan kesenangannya hari ini, jangan ditambah Tristan yang sungguh sangat tidak diinginkan bertemu, karena hanya akan menambah luka yang berusaha dikeringkannya. Bukan salah Tristan hubungan mereka merenggang, tetapi juga bukan salahnya. Seharusnya Tristan memeluk dan merangkulnya selaku Abang setelah peristiwa tragis yang menimpa keluarga mereka beberapa tahun yang lalu, bukan meninggalkannya dalam keterpurukan seorang diri. Dengan alasan ingin melupakan kejadian buruk itu dengan menenggelamkan diri pada pekerjaan yang seharusnya jadi tanggung jawab almarhum Papi. Sekali lagi Joe meninju udara. Namun dengan senyum yang kali ini tersungging di bibirnya. Wajah manis Sana dengan pipi gembilnya yang memerah tampak di sana. Gadis itu jengah dengan godaan yang ia lemparkan hari ini. Joe tidak tahu apa yang dirasakannya pada gadis itu. Cinta atau hanya rasa suka sesaat seperti yang sudah-sudah. Yang pasti ia tidak akan membiarkan Sean atau siapa pun mendekati gadisnya. Eh, gadisnya? Joe mengangkat bahu cuek. Bangun dan melenggang ke kamar mandi, pemuda itu memulai ritual membersihkan dirinya sebelum tidur. Ia tidak akan bisa memejamkan mata kalau belum mandi. *** Sana kembali memejamkan mata. Sungguh kantuk sudah menyerangnya dari beberapa jam yang lalu, tapi entah kenapa ia masih belum juga bisa menggapai alam mimpi. Biasanya ia bisa dengan cepat tertidur, apalagi setelah bekerja seharian. Karena lelah tentu saja. Namun beberapa hari ini tidak seperti itu, ia selalu tidur lewat tengah malam. Bayangan Joe berkelebat. Sepasang mata cokelat itu kembali terbuka. Sana berdecak kesal. Ia perlu tidur, besok ia harus bekerja lagi. Pemuda yang sialnya tampan itu memang b******k. Tak cukupkah Joe mengganggunya di tempat kerja? Sana melempar guling ke lantai saking kesalnya. Tak sengaja matanya menangkap layar ponselnya yang menyala, menandakan ada panggilan atau pesan yang masuk. Sana sengaja me-nonaktifkan dering kalau malam hari, terlalu mengganggu baginya yang ingin beristirahat secara penuh. Segera Sana mengambil ponsel dari nakas. Ada sebuah chat dari nomor tak dikenal. Penasaran, Sana membuka aplikasi chat tersebut. Good night, mbak Sana. Met istirahat. Mimpi indah ya. Kalo perlu mimpiin gue biar tidur lu lebih barokah ? Astaga! Seandainya ia orang kaya yang bisa berganti ponsel dengan mudah, dapat dipastikan alat komunikasi yang satu itu sudah melayang dan terkapar di lantai sekarang. Sayangnya ia orang tak punya, yang harus menabung terlebih dahulu untuk mendapatkan barang yang diinginkan. Sana menggigit-gigit bantal untuk melampiaskan kekesalannya. Pasti pesan itu dari Joe. Masih kurang kah pemuda itu mengganggunya saat ia bekerja? Dari pagi sampai malam, ponselnya penuh dengan pesan-pesan dari pemuda itu. Mulai dari menyapanya saat bangun pagi sampai mengucapkan selamat tidur seperti sekarang. Entah dari mana Joe mendapatkan nomor ponselnya. Yang pasti setelah pertemuan pertama mereka di toko buku tempat ia bekerja beberapa minggu yang lalu, beberapa hari setelahnya Joe tak pernah absen menelepon atau pun mengiriminya pesan. Sana sampai bosan dengan banyaknya pesan yang masuk ke ponselnya. Sana bingung, apa Joe tidak mempunyai pekerjaan lain selain mengiriminya pesan. Apa Joe tidak bosan? Kan ia tidak pernah membalas setiap pesan yang dikirim pemuda itu. . . . . . . . . . . . . Met makan siang , mbak Sana. Sebelum makan jangan lupa baca doa dulu ya ? Sana menggeliat jijik membaca pesan itu. Gerakan yang mengundang Hana untuk mendekatinya. "Kenapa?" tanya Hana dengan alis berkerut. "Liat!" Sana mengangsurkan ponselnya pada Hana, meminta sahabatnya itu untuk juga membaca pesan yang ia yakin dari Joe. Hana terkikik setelah membacanya. Perempuan itu menutup mulutnya menggunakan tangan kiri. Sementara tangan kanannya digunakan untuk memegangi ponsel Sana. "Joe sweet banget sih," komentarnya sambil menaik-turunkan alisnya menggoda. Alis Sana berkerut. Bingung. Dari mana Hana tahu kalau ini dari Joe? Atau jangan-jangan... "Kamu yang ngasih tau Joe nomor aku?" Hana mengangguk manis. Senyum menggoda menggelayut di bibir tipisnya. "Nggak tega liat dia mohon-mohon." Sana cemberut. "Alasan apa itu?" omelnya kesal. "Harusnya kan kamu tanya aku dulu. Dia ganggu banget tau nggak sih!" Sana menghentakkan kaki. "Siapa yang ganggu? Gue?" Kedua perempuan cantik itu menoleh ke sumber suara dan mendapati pemuda yang menjadi biang masalah berdiri tak jauh dari mereka. Sebuah buku menggantung di tangannya. "Hai, Joe!" Hana melambai heboh, meminta Joe mendekat. Sana memutar mata jengah. Dimulai lagi rutinitas barunya yang penuh ketidaknyamanan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD