"Lu...? Apa maksud lu?" Sean menatap Joe dengan alis yang terangkat. "Sorry, Joe. Tapi gue beneran nggak paham apa maksud lu." Sean menggeleng.
Joe berdecak kesal. "Bukannya lu jago masalah cinta-cintaan? Masa yang kayak gitu aja lu nggak tau?" tanyanya.
Joe menyandarkan punggung pada sandaran sofa, mendongak dan memejamkan mata. Membayangkan sentuhan tangannya dengan Sana yang terjadi tadi siang. Joe bergidik. Dia masih bisa merasakan sengatan listrik itu di ujung jarinya, mengalir sampai ke seluruh tubuh dan membuat semua bulu di tubuhnya kembali berdiri. Joe membuka mata, mengangkat lengan untuk memastikan apa yang tadi dirasakannya. Meringis ketika melihat dia kembali merinding.
Sean yang melihatnya langsung melempar bantal sofa ke arah Joe. Tepat mengenai wajah Joe yang masih saja meringis.
"Lu kira setan apa?" Sean membelalak kesal menatap Joe.
Joe langsung menegakkan punggung, mengembalikan bantal pada Sean dengan kekuatan yang sama. Namun tak tepat sasaran, Sean sudah lebih dulu menghindar.
"Apaan sih lu? Yang ngatain lu setan siapa, Bambang?" balas Joe tak kalah kesal. "Atau lu emang ngerasa setan?"
"Astaga! Mulut lu emang minta di ledakin deh kayaknya!" Sean menatap Joe tajam. Matanya memicing.
Joe hanya menanggapinya dengan mengangkat bahu. Dia tidak peduli. Ancaman Sean tidak menakutkan baginya. Tidak Semenakutkan kalau Sana tiba-tiba menjauhinya atau memintanya menjauh. Joe menggeleng kuat.
"Ngapain lu tadi ngeliatin tangan? Pake merinding segala lagi!" Sean bersungut. Duduk menyandar dengan tangan yang bersedekap.
Joe melongo sesaat. Mulutnya terbuka dengan tidak elitnya. "Maksud lu apa?" tanyanya ketika sudah dapat menguasai diri.
"Bodo!" Sean semakin merengut. Wajah tampannya yang memang sudah datar semakin terlihat seperti papan.
Joe berdiri, melangkah mendekati Sean yang duduk berseberangan dengannya, duduk di sebelah pemuda itu. Joe merangkul bahunya.
"Eh, Dodol dengerin gue ya! Gue kayak gitu bukan karena ada makhluk halus, tapi karena gue ingat Sana." Joe melepaskan rangkulannya dengan kasar. Membuat tubuh Sean oleng.
Alis Sean mengernyit. "Ingat Sana?" tanyanya bingung. "Kok bisa? Emang lu kira Sana dedemit?"
Joe tertawa keras sambil menggerakkan kepala ke kanan dan ke kiri. "Nggak lah!" jawabnya. "Gue ingat pas jari kita bersentuhan. Merinding gue!"
Sean memutar bola mata kesal. Tingkah Joe kembali seperti anak-anak sekarang. Bagaimana mungkin seperti itu saja sudah senang?
"Lu tuh pengecut, tau nggak?"
Joe menatap Sean dengan mata memicing. Tidak terima dikatakan pengecut oleh sahabatnya.
"Harusnya lu nggak lari gitu aja. Lu bisa bilang maaf atau apa kek biar dia nggak salah paham!" jelas Sean tanpa menatap Joe. Sean mendongak, tatapannya lurus pada langit-langit apartemen. Langit-langit itu tampak lebih menarik di matanya daripada wajah imut Joe yang menekuk.
"Gue bingung!" sahut Joe cepat. "Nggak tau harus bilang apa. Astaga!" Joe mengacak rambutnya, tidak tahu kalau apa yang dilakukannya siang tadi adalah sebuah tindakan pengecut. "Lu kan tau kalo gue baru ngalamin yang kaya gitu."
Sean tersenyum mengejek. "Emang selama ini apa yang lu rasain?" tanyanya penasaran sambil menoleh menatap Joe. Sebenarnya dia sudah tahu apa jawaban Joe dan yakin dengan kebenaran jawaban itu. Dia hanya ingin mendengarnya langsung dari mulut Joe.
Joe mengangkat bahu sebelum bersandar dan melakukan hal yang sama dengan Sean. Mendongak dan menatap langit-langit apartemennya. Mengamati dan mengagumi desain langit-langit itu yang sungguh sangat sesuai dengan keinginannya. Joe memejamkan mata, tersenyum ketika bayangan Sana muncul di sana.
"Lu nggak perlu nanya, Sean." Lamat-lamat terdengar Joe menjawab. "Lu udah tau apa yang gue rasain, kan kita sama."
Sean diam tak menyahut untuk beberapa saat. Pikirannya berjelana kemasa lalu, masa ketika mereka masih duduk di bangku SMA. Di mana Meisya masih ada. Iya, apa yang dirasakannya sama dengan yang dirasakannya. Perasaan mereka biasa-biasa saja, tidak ad getaran atau pun sengatan listrik yang mereka rasakan saat bersentuhan dengan perempuan-perempuan itu. Semuanya terlalu biasa, karena mereka tidak memakai hati. Hati mereka tertutup dengan alasan yang berbeda. Joe hanya belum merasakannya, dan dirinya nya yang sudah tidak memiliki hati lagi. Hatinya dibawa pergi oleh Meisya dua tahun lalu.
"Penyebabnya beda, Joe," sahut Sean. Kembaki menatap langit-langit.
Joe membuka mata, menoleh ke arah Sean cepat mendengar perkataan pemuda itu. "Jadi bener lu udah jadian sama Mei, terus sampe sekarang nggak bisa move on, gitu?" tanyanya dengan alis mengerut. Tampak sekali kalau dia sangat penasaran.
Sean tak menyahut. Lambat-laun mata tajamnya terpejam, membayangkan saat-saat pertemuan terakhirnya dengan sang kakak kelas. Sean menghela napas panjang, membuangnya melalui mulut. Entah kenapa, tiba-tiba saja dia merasa sesak. Niatnya mau membantu Joe menyelesaikan masalah hatinya, malah dirinya sendiri yang tenggelam dalam kenangan.
Kepala Joe kembali pada posisinya. Keterdiaman Sean sudah merupakan jawaban, kalau sahabatnya benar seperti yang dikatakannya tadi. Joe tersenyum miris. Ternyata Sean selangkah lebih maju didepannya. Pantas saja Sean terlihat baik-baik saja saat dimintanya menjauhi Sana, Sean tidak sungguh-sungguh tertarik pada Sana, dia hanya tertarik biasa-biasa saja. Tidak seperti dirinya yang memang benar-benar tertarik pada perempuan berusia satu tahun di atasnya itu.
Eh, tertarik?
Joe membuka mata cepat, meluruskan punggung dengan cepat pula ketika kata itu melintas di pikirannya begitu saja. Benarkah dia sungguh-sungguh menyukai Sana? Apakah dia jatuh cinta pada perempuan itu? Atau hanya sekedar main-main karena dia iseng saja? Joe mengembuskan napas dari mulutnya. Panjang.
"Sean, menurut lu gue gimana sama Sana?" tanya Joe tanpa menatap Sean. "Maksud gue, gimana perasaan gue sama Sana. Gue beneran serius suka sama dia atau nggak?"
"Kok lu nanya sama gue?" Sean balas bertanya.
"Kan lu yang lebih pengalaman dari gue, Sean," jawab Joe dengan nada suara memelas.
Sean berdecak, menegakkan punggung dan memutar tubuh menghadap Joe. "Dengerin gue! Itu perasaan lu, jadi yang bisa tau cuman lu!" ucapnya. Sean menghela napas sebelum meneruskan, mengembuskannya pelan melalui mulut. "Lu mikirin dia nggak? Ingat terus sama dia nggak? Apa yang lu suka dari dia? Maksud gue ekspresinya."
"Contohnya?" potong Joe. Dia juga sudah bangun dan menghadap Sean. Memperhatikan perkataan Sean dengan serius dan sungguh-sungguh. Seolah semua yang keluar dari mulut Sean sangat penting.
"Contohnya?" ulang Sean.
Joe mengangguk cepat.
"Lu suka Sana pas dia lagi ngapain? Apa lagi marah atau lagi senyum atau lagi nangis, kayak gitu." Sean mengibaskan tangan.
Joe tersenyum. Tatapannya lurus ke depan, ke arah Sean. Namun bukan Sean yang menjadi fokusnya, pikirannya sedang tertuju kepada Sana.
"Gue suka liat dia senyum, juga pas dia cemberut atau lagi ngambek. Paling nggak suka kalo liat dia nangis. Rasanya d**a gue ikut sesak." Joe menyentuh dadanya.
Sean tertawa mendengar apa yang dikatakan sahabatnya. Sekarang dia yakin kalau Joe memang benar-benar menyukai Sana. Pilihannya sudah tepat untuk melupakan perempuan itu sebelum semuanya terlambat. Jujur saja, sejak awal melihat Sana, dia juga sudah tertarik. Meski tidak ada getaran ataupun sengatan listrik seperti yang dirasakan Joe, dia yakin kalau rasa itu akan tumbuh seiring waktu. Namun, Joe mengatakan kalau menyukai Sana juga, dan dia memutuskan untuk mundur dan mengalah sebelum rasa itu hadir. Lagipula, dia tidak akan menang kalau harus melawan Joe. Setiap mereka bersaing, selalu Joe yang menjadi pemenang.
"Itu artinya lu suka beneran sama dia, Bambang!" Sean memukul kepala Joe dengan bantal sofa yang sejak tadi berada di pangkuannya.
Joe tidak mengelak, dia hanya diam. Perkataan Sean tentang suka seolah menghipnotisnya, sehingga dia tidak bergerak dan menerima pukulan sahabatnya.
"Beneran?" tanya Joe seperti orang linglung. Mulutnya terbuka membentuk huruf O.
Lagi-lagi Sean memutar bola mata. Dia paling tidak suka saat Joe dalam mode oon seperti ini. Sangat menyebalkan menurutnya. Joe itu sangat pandai, tapi entah kenapa dalam urusan seperti ini dia menjadi orang yang sangat bodoh.
"Lu kalo nggak percaya sama gue tanya sama Mbah Google aja sana!" kesal Sean.
Joe kembali menghempaskan punggung pada sandaran sofa. Matanya menatap liar sekeliling langit-langit ruang tamu apartemennya. Apa yang dikatakan Sean tentang perasaannya membuat otak pintarnya langsung buntu. Joe tidak menyahut saat Sean pamit, juga membiarkan sahabatnya membuka pintu kemudian menghilang di balik pintu itu. Sekarang yang berada di dalam pikirannya hanya Sana dan apa yang dirasakannya terhadap perempuan itu.
***
Tergesa Sana membereskan barang-barangnya. Dia tidak ibgin terjebak macet lagi seperti tadi pagi saat dia ingin berangkat menuju toko. Saat pergi dan pulang kerja adalah saat-saat termacet di Jakarta. Para pekerja berlomba-lomba untuk segera tiba di rumah mereka dan beristirahat. Seperti halnya dirinya. Tempat yang paling dirindukan setelah seharian bekerja adalah kamarnya. Tempat tidurnya yang empuk adalah tempat ternyaman. Bagi dirinya tentu saja.
"Udah, Sa?" tanya Hannah. Dia sudah selesai merapikan diri dan barang-barangnya. Sudah siap untuk pulang. "Ayo, bareng!"
Mereka di toilet perempuan khusus pegawai, jadi tidak akan ada yang akan menggedor pintu atau antre. Mereka bebas menggunakan toilet ini. Pegawai perempuan yang satu shift dengan mereka tidak terlalu banyak, hanya empat orang, itu pun dihitung dengan mereka. Sehingga tidak akan ada yang mengganggu.
Sana sudah selesai merapikan dandanan. Dia hanya menaburkan bedak tipis dan menyemprotkan sedikit parfum. Untuk pewarna bibir Sana tidak memerlukannya. Bibirnya sudah merona alami meski tanpa pewarna bibir dan sejenisnya.
"Udah!" Sana memgangguk. "Ayo!
"Yuk!" Hannah juga mengangguk. Segera membuka pintu dan keluar lebih dulu.
Sana menyusul setelahnya. Langkah kakinya lebar-lebar, dia ingin cepat mencapai tempat parkir pusat perbelanjaan, mengambil motornya dan cepat pulang. Sungguh, dia sangat merindukan tempat tidurnya. Entah kenapa, hari ini dia lebih lelah dari biasanya. Mungkin karena beberapa kesialan yang menghampirinya sejak pagi hingga siang tadi, atau karena jarinya yang bersentuhan dengan jari Joe. Dia tahu kalau sentuhan itu tidak disengaja, tapi tetap saja hal itu mengganggunya. Dia tidak tahu apakah Joe juga merasakan seperti disengat listrik sepertinya, yang pasti sentuhan dan sengatan listrik itu rasanya masih menjalari seluruh tubuhnya.
Sana juga tidak tahu apakah dia harus bersyukur atau tidak. Dikarenakan jari mereka yang bersentuhan, Joe langsung pulang dan tidak menghubunginya sampai sekarang. Oh sungguh, dia harus bersyukur karena itu, hari-hari tenangnya kembali. Namun tetap saja dia merasa lebih lelah dari hari lainnya.
Sana dan Hannah berpisah di perempatan jalan. Sana mengambil jalan lurus agar lebih cepat sampai ke rumahnya. Sementara Hannah berbelok. Arah rumah mereka memang berbeda, tetapi mereka selalu pulang bersama. Beruntung sampai sekarang mereka selalu ditempatkan di shift yang sama. Sana tidak dapat membayangkan kalau seandainya dia terpisah dari Hannah, rasanya pasti akan sangat tidak menyenangkan.
Sana tiba di rumahnya beberapa menit lebih lambat dari biasanya. Tadi dia dan Hannah sempat terjebak di salah satu lampu merah. Untungnya hanya sekali saja, setelah itu lancar. Seperti biasa, Sana memasuki rumahnya melewati pintu yang menghubungkan garasi dengan ruang tengah rumahnya yang mungil. Ruang tengah lebih kecil dari ruang tamu dan dapur. Sana langsung menuju kamar. Meletakkan tas di atas tempat tidur, langsung menuju kamar mandi setelah melepas sepatu dan jam tangan. Dia perlu membersihkan diri sebelum berbaring dan tidur.
Tubuhnya terasa lebih segar ketika air hanga yang keluar dari kran shower membasahinya. Sana menatap jari-jari tangan kanannya. Jari-jari itu yang tadi siang bersentuhan dengan Joe. Sana kembali merinding, seolah sentuhan itu terjadi lagi dan listrik tak kasat mata kembali mengaliri tubuhnya. Sana menggeleng pelan, mengusir pikiran-pikiran aneh yang mulai memasuki kepalanya. Tangannya terulur mengambil sabun, dia ingin menyelesaikan mandinya segera agar dapat bersentuhan dengan tempat tidurnya lebih cepat.
Sepuluh menit kemudian Sana keluar dari kamar mandi, dia sudah mengenakan piyama untuk menutupi tubuhnya. Sana langsung berbaring dan memejamkan mata, tak peduli dengan rambutnya yang masih dibungkus dengan handuk. Dia belum melepasnya dan sudah ingin tidur.
Baru beberapa detik Sana terlelap, ponselnya yang diletakkan di atas nakas sudah berbunyi. Suara beep sekali yang menandakan ada pesan yang masuk dari aplikasi berkirim pesan miliknya. Dengan mata terpejam Sana berusaha mengambil ponsel. Tangannya menggapai nakas tapi tak pernah sampai. Tangan itu terkulai seiring dengan embusan napas teratur Sana. Dia menyerah dengan kantuknya dan lebih memilih untuk berkelana ke alam mimpi. Membiarkan ponselnya yang terus berbunyi beep beberapa kali lagi.
***
Sementara di tempat parkir sebuah pusat perbelanjaan, Joe terus menggerutu sejak keluar dari salah satu toko buku di sana. Dia terlambat dan tidak menemukan lagi yang dicarinya. Sana sudah pulang. Perempuan lain dengan dandanan tebal yang menggantikannya.
Sepulang Sean dari apartemennya, Joe tertidur. Baru bangun sekitar tiga puluh menit yang lalu. Setelah mencuci muka Joe langsung melakukan motornya ke toko tempat Sana bekerja. Dia ingin melihat perempuan itu dan meminta maaf seperti saran Sean. Joe sadar, dia sangat pengecut karena pergi begitu saja tanpa bicara apa pun. Seharusnya dia meminta maaf atau mengatakan sesuatu yang lain, dan sekaramg sudah terlambat. Sana sudah pulang.